"Turunkan aku! Kumohon menepilah! Kita bisa lanjut bermain besok."
Mana mungkin dia mengerti apa yang kukatakan. Aku makin frustasi, bokongku rasanya pegal. Aku kembali mnegarahkannya ke gubuk, berharap dia menurut.
"Aku harus pulang sekarang! Orang tuaku akan mencariku dan aku lapar, aku mau makan!"
Si kuda mendengkus lagi, tapi kali ini dia tampak lebih tenang, itu membuatku mengernyit heran. Apa kuda ini ...
"Kau mau makan? Kau mengerti ucapanku?"
Kuda itu mendengus lagi.
Saat itu aku bangga karena merasa bisa berkomunikasi dengan kuda. Aku dengan polosnya menganggap ada ikatan batin di antara kami. Berbekal pemikiran sederhana itulah akhirnya aku memutuskan untuk membawa kuda hitam itu pulang ke rumah, seingatku ada sisa tumpukan jerami di belakang gudang.
Tentu saja tidak akan berjalan sesuai yang kuharapkan. Baru mencapai halaman rumah, ayah sudah menarikku hingga terjatuh dari kuda, tak hanya itu, aku juga dimarahi habis-habisan.
"Kuda ini punya tali kekang! Dia punya orang lain! Kembalikan!"
Aku yang menangis sesenggukan hanya bisa mengangguk patuh dan melaksanakan perintah ayah. Maaf, kuda. Kau harus kukembalikan sebelum kuberi makan.Â
Tiba di samping lapangan, kedua mataku menyipit. Berulang kali meyakinkan bahwa aku tak salah lihat. Ada sekelompok pria dewasa berkumpul di samping lapangan, tepatnya di dekat gubuk. Mereka terlihat marah dan kelelahan, selain itu ada yang membawa beberapa benda tajam. Mataku menyoroti salah satu pedang dengan tetesan darah di ujungnya. Sontak tubuhku gemetar.