Mohon tunggu...
Muliyaty_arief Djide
Muliyaty_arief Djide Mohon Tunggu... Administrasi - beralamat di jl. Rappokalling Timur No.6 Makassar

Anak ke-2 dari 7 bersaudara. Profesional Kehutanan, Owner Mulya Olshop Makassar Salam Hijau! Semangat Yuk!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lenggak-lenggok Dara

10 Desember 2016   13:48 Diperbarui: 10 Desember 2016   16:36 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bergegas Dara mencari loper koran, saban hari di pelataran lampu merah. Kalender telah menunjukkan jadwal penerimaan pegawai yang terbilang rutin dilaksanakan. Tak terkecuali Dara yang tak pernah habis bermimpi untuk menjadi salah satu peserta tes yang berharap kelak akan lulus. Pengalaman kegagalan demi kegagalan tak memberi efek jera untuk berhenti  berharap menembus pertarungan seleksi. Sampai akhirnya amarah tak terbendung oleh Dara dengan melakukan demo tanpa anarkis dan tanpa massa, demontrasi solo olehnya, sendiri.

Menapaki kota dari pintu ke pintu ke pintu pun dilakoni Dara di masa awal memasuki dunia kerja. Tak menjadi asing pekerjaan sebagai salesman yang cukup dihindari para pencari kerja. Keterbukaan peluang-peluang kerja yang tersedia tidak membuat Dara berhasil memperoleh pekerjaan sesuai impian. Menjadi pemanis diantara kumbang-kumbang menjajakan dagangan keliling kota di tengah hirup pikuk kendaraan. Berseliweran warung-warung pinggir jalan, sejenak untuk singgah  melepaskan lelah oleh panas terik yang seakan menusuk sampai tulang.

“Bagaimana kerjaan kamu, Dara?” Tanya Ibu

Maaf Ibu, hari ini  Dara Cuma bisa dapat 5000 perak, terus uangnya Dara pakai  untuk beli nasi bungkus,” Jawab Dara

“Dara, kalau untuk makan sehari-hari, kamu bisa minta uangnya sama Ibu kan, Nak?” Ibu mengingatkan.

“Tapi Ibu, Dara tidak bisa. Itu adalah hasil Ibu menjahit, Dara tidak tega, “ Dara menerangkan.

“Dara, kamu kenapa, Nak?” Maafkan Ibu ya, Nak.

Harusnya Ibu yang bekerja mencari nafkah untuk kamu, tapi semua terbalik semenjak Ibu sakit, Ibu hanya bisa merepotkan kamu saja,” Seru Ibu memelas.

“Ibu, kenapa bicara seperti itu?” Selama ini Dara tidak merasa direpotin sama Ibu,” Sanggah Dara.

Dara termotivasi menaklukkan Kota Daeng, memasuki dunia kerja di kota tempat bermukimnya. Kompetisi pun tidak ringan, ketat dalam merebut kesempatan kerja yang lebih kurang banyak di bandingkan usia produktif bekerja. Informasi demi informasi berupa lowongan kerja sedapat mungkin diketahui olehnya namun akhirnya lebih banyak luput akhirnya. Ketidakmampuan Dara lebur dalam kemajuan Infomasi teknologi (IT), tertinggal jauh untuk ikut serta terlibat di era kekinian. Tanpa siapa-siapa, tidak membangun jaringan kerja (network) pula semakin mempersulit diri untuk bekerja.

Tak terbersit keinginan untuk merantau, ikatan emosional yang kuat pada kampung halaman  seringkali pemicu semangat yang menggebu-gebu mencapai puncak keberhasilan, akhirnya. Dara, tak urung jua menyerah yang menyisakan jejak langkah pengadu nasib,   Hilir mudik di perkotaan, Tetap semangat, Harapan?, Map, ditangan akan terlepas!, Menggelinding tak ke pelepah bulan, arus yang deras, di muara tak memelas. Dunia kerja olehnya bak dunia mimpi yang masih dalam khayalan belaka tanpa mendapatkan pundi-pundi pun. Sejenak dan sejenak, ibarat persinggahan semata dalam meniti pekerjaan yang dilakoni tanpa karier yang menjanjikan.

Doe, Dekkeng, Dalle dan Doa (4D), bahasa lokal, bahasa setempat, kota asal Dara yang berarti Uang, Rekomendasi, Rejeki dan Doa. Keempat syarat yang wajib dimiliki oleh seseorang demi meraih kesuksesan, demikian ungkapan yang  tergiang oleh Dara. Bisik-bisik pun terdengar sekiranya berkeinginan melangkah mengikuti seleksi perebutan kursi di dunia kerja. Tak ayal Dara pun di tengah rasa keoptimisan terselip pesimis yang sulit disembunyikan olehnya. Pundi-pundi uang menjadi yang diagung-agungkan dalam memenangkan kompetisi ibarat  pungli mengakar yang sulit tercabut.

“Dara mau pergi ke mana?” Tanya Ibu

“Ibu tak perlu tahu,” Jawab Dara

“Tapi, Dara!” kamu masih tanggung jawab Ibu, Nak!” Kata Ibu

‘’Iya, Bu!” Maafkan Dara yang selama ini khilaf dan merasa sudah mampu mandiri tanpa Ibu.

‘’Dara ingin berangkat kembali ke pulau seberang, Tenggara’’, Kata Dara akhirnya.

Harapan bak bintang di langit yang terlihat oleh Dara di tengah lautan menuju kota impian baru, untuk berpijak. Motivasi-motivasi menggapai langit di kota yang kurang lebih sedikit memberi kompetisi dalam bekerja membuat Dara angkat kaki sejenak dari Kota Makassar tercinta. Dara jatuh hati dengan kota seberang pulau, kota yang memanggil-manggil sampai berulang-ulang kali. Kota Daeng Tana’ Mangkasara sejenak tertinggal menuju ke kota seberang pulau, Tenggara Olehnya tanpa disadari ketergantungan terlihat, kecewa tak terbendung dan harapan hanya tinggal harapan. Keberhasilan belum mendekat, kegagalan yang menghampiri Dara tak menuai panen hasil dari mengikuti gelombang-gelombang seleksi penerimaan tenaga kerja.

Segepok uang, pundi-pundi tak berada di tangan Dara, sebagai jaminan prasyarat demi kelulusan setelah mengikuti tes. Telah menjadi rahasia umum praktek yang membuka celah, jalan melajukan, memuluskan, langkah peserta tes. Pandangan umum perihal pekerjaan sebagai pegawai negeri sebagai profesi yang bergengsi, daya tarik luar biasa untuk meraihnya. Tak peduli ribuan peminat, jarak tempuh lokasi tes dan rumor-rumor atau isu-isu yang berkembang di tengah melakoni usaha-usaha menembus kompetisi tersebut. Tergiang puisi oleh Dara, Jejak langkah panutan,  sosok sederhana, perangai spontan, tumpuan keluarga, seragam membanggakan, di kantong seragam itu tiba-tiba bersarang tikus, bunyi cicitnya melengking ke sangkar jeruji.

Bergegas, pagi dini hari, Dara bersiap menuju   lokasi kantor sebagai pusat penyimpanan berkas-berkas yang masuk ketika penerimaan seleksi berkas. Dara pun sigap menemui panitia seleksi yang duduk di belakang meja sembari menikmati tumpukan berkas. Satu persatu Dara melakukan pencarian berkas atas nama Dara tertera, lengkapnya Dara Bugis Selatan.

Nah ini Dia!” Ini Map atas nama Aku”, Kata Dara sigap

Olehnya map merah terikat tali rafia biru diraihnya, kemudian melepaskan ikatan map  dan selanjutnya beraksi bak pragawati berlenggak lenggok. Papan tes yang dipergunakan melekatkan map yang berisi berkas lamaran diangkat setinggi-tingginya lalu melakukan aksi demo berkeliling kantor. Beberapa kali berputar selanjutnya memperlihatkan tulisan di balik papan tes yang berbunyi ‘Masa Depanku adalah Milikku Sendiri’, Wahai … Pengikat Map-Map, Lepaslah Ikatan itu, Janganlah Kau Ikat, Bebaskan Map-map itu.

-Selamat Membaca-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun