Karena menyandang status layanan eksekutif, perjalanan KA Bandara tentu akan menjadi prioritas. Sehingga pasti akan mengganggu perjalanan KRL Commuter Line.
Masalahnya kita tidak bisa meremehkan Commuter Line. Meskipun berstatus kereta komuter, jaringan Commuter Line merupakan tersibuk di Asia Tenggara, satu peringkat dibawah MRT Singapura! Jumlah penumpangnya bahkan melebihi semua jaringan antara LRT+MRT+KTM Komuter di Kuala Lumpur (sumber: thestar.com.my).
Meskipun situasi jaringan kereta Kuala Lumpur tidak sesibuk Jakarta, Kereta Bandara di sana memiliki jalur yang terpisah. Padahal, Kuala Lumpur sudah memiliki layanan tersebut sejak tahun 2002.
Heathrow Express dan Heathrow Connect memiliki konsep yang sama seperti kereta bandara di Kuala Lumpur. Jenis keretanya semi cepat dan memiliki jalur yang terpisah dengan jalur kereta metro.
Sementara London Underground layaknya sistem kereta metro, sama seperti bandara Changi di Singapura yang aksesnya hanya dengan MRT.
Jika kita lihat konsep kereta bandara Jakarta memiliki kesamaan dengan Kuala Lumpur dan London, lalu kenapa tidak membangun jalur rel yang terpisah?
Jika tidak ingin membangun jalur khusus, maka sebaiknya cukup dilayani dengan Commuter Line seperti bandara Changi agar tidak mengganggu produktivitas warga Tangerang. Walaupun ini bukan opsi yang efisien.
Apakah saat mengkaji pembangunan KA Bandara tidak dipikirkan secara matang bahwa akan menimbulkan masalah seperti ini?
Kini keresahan itupun terjadi. Untuk menjaga interval keberangkatan KA Bandara agar lebih banyak, Commuter Line menghapus 10 jadwal perjalanan. Akibatnya, jeda tunggu Commuter Line menjadi sangat lama yang menyebabkan penumpukan penumpang.
Alih-alih menambah kualitas pelayanan, Kebijakan yang dibuat justru mengorbankan kepentingan orang banyak. Padahal okupansi KA Bandara tidak mencapai 30% tiap keberangkatannya. Tidak sedikit orang yang kesal dengan kebijakan tersebut, karena untuk apa mengoperasikan kereta kosong?