Belum Efektif
Kita sering melihat stiker "Ayo Naik Bus, Biar Gak Macet!" di badan bus Transjakarta, atau di kota besar lain di Indonesia. Namun pesan itu seakan berlalu begitu saja, karena sampai sekarang Transjakarta masih berbagi kemacetan dengan kendaraan lain.
Bahkan pada saat jam sibuk, jalur khusus Bus Transjakarta dibuka untuk kendaraan pribadi oleh kepolisian seperti yang terjadi di jalan Jendral Sudirman.
Baca: Seandainya Bus Transjakarta Koridor 9 Tak Lewat Perempatan Mampang
Seharusnya dengan menyandang status Bus Rapid Transit (BRT), hak eksklusif Transjakarta adalah mutlak berjalan di jalur sendiri. Sebagaimana kereta api dengan relnya.
Kita bisa lihat kesuksesan Guangzhou BRT, meski hanya memiliki total panjang lintasan 23 km, mereka bisa mengakomodasi 1 juta penumpang penumpang setiap harinya (data ITDP). Sedangkan Transjakarta, semenjak 14 tahun beroperasi baru-baru ini mencapai 500 ribu penumpang per hari walaupun kita memiliki panjang layanan 230 km atau yang terpanjang di dunia.
Sehingga mau sebagus apapun sarana yang diberikan, kalau tidak didukung aturan yang tegas, ujung-ujungnya mobilisasi Transjakarta tidak efektif, walaupun kehadirannya memberikan alternatif, Belum ada rasa bangga bagi kita dalam bertransportasi publik.
Jadi, apakah artinya sia-sia membangun jaringan transportasi publik tapi tetap saja kota itu masih macet? Tentu tidak.
Adalah hal yang keliru jika tujuan kita menciptakan jaringan transportasi publik untuk memberantas kemacetan. Sebab tujuan utama dari transportasi publik adalah memberikan alternatif kepada masyarakat, Bukan memberantas kemacetan.
New York atau kota maju lain yang sudah memiliki jaringan subway seperti benang kusut pun sampai sekarang masih macet.