Sumber: Dokumentasi Penulis
Daerah Bandung Barat menjadi saksi dari aksi protes yang dilakukan oleh para buruh yang menuntut kenaikan upah. Aksi ini bukan yang pertama kalinya terjadi, blokade jalan-jalan utama, termasuk jalan tol Padalarang, telah menjadi pemandangan umum dalam demonstrasi ini. Para buruh, dengan suara lantang, mengusulkan peningkatan upah minimum sebesar 10-15 persen, dengan alasan bahwa kenaikan sebesar 3,57 persen tidak cukup memadai untuk mengimbangi di tengah kenaikan harga pokok hidup yang terus meningkat.
Argumen utama yang salah satu buruh sampaikan mencerminkan keinginan akan keadilan ekonomi yang lebih baik. Mereka menilai bahwa angka kenaikan yang buruh ajukan bukanlah angka yang sewenang-wenang, melainkan refleksi dari kenyataan sulit yang mereka hadapi sehari-hari. Harga pokok hidup yang terus melambung tinggi menjadi dasar utama tuntutan ini, dan para buruh merasa bahwa hak mereka untuk mendapatkan upah yang setara dengan biaya hidup yang meningkat harus diakui.
Dalam menghubungkan argumen ini dengan konteks lebih luas, terdapat elemen penting yang tidak bisa diabaikan, yaitu UU Cipta Kerja. Meskipun para buruh mengakui bahwa dampak langsung dari UU ini belum dirasakan secara signifikan, mereka memiliki harapan bahwa UU Cipta Kerja dapat memberikan landasan untuk menyamaratakan keadilan dalam dunia kerja. Harapan ini mencerminkan aspirasi yang muncul dari dorongan untuk mencapai kondisi ekonomi yang lebih adil dan merata.
Dalam menyampaikan argumen mereka, para buruh juga tidak menutup mata terhadap dampak yang dihasilkan dari tindakan protes mereka. Aksi blokade jalan tol, terutama di Padalarang, telah menyebabkan kemacetan lalu lintas yang signifikan dan menjalar menuju Kota Cimahi hingga ke pusat Kota Bandung yang tentunya mengganggu aktivitas masyarakat yang tidak terlibat dalam protes tersebut.Â
Dalam hal ini, para buruh tidak segan-segan menyampaikan permintaan maaf mereka kepada masyarakat yang mungkin terganggu akibat tindakan tersebut. Ini adalah bukti bahwa mereka menyadari konsekuensi dari tindakan protes mereka dan berusaha memelihara hubungan dengan masyarakat, Meskipun banyak masyarakat protes ketika aksi tersebut, akan tetapi para Buruh Konsisten berkumpul dan mengaspirasikan dan menuntut keadilan atas hak Upah mereka. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Namun, dalam memahami tindakan protes ini, kita juga perlu melihatnya sebagai bentuk ekspresi dari ketidakpuasan yang mendalam terhadap kebijakan pemerintah, khususnya terkait UU Cipta Kerja. Para buruh merasa bahwa aksi demo dan tuntutan kenaikan gaji mereka bukanlah semata-mata sebuah gejolak, tetapi bentuk konkret dari kekesalan mereka terhadap kebijakan yang dianggap tidak memadai untuk melindungi hak-hak mereka.
Dalam konteks peristiwa ini, blokade jalan tol bukan hanya sebagai tindakan protes, tetapi juga sebagai bentuk penyampaian pesan bahwa buruh merasa terpinggirkan oleh kebijakan pemerintah. Mereka ingin agar suara mereka didengar dan diresapi oleh para wakil rakyat yang memegang peranan penting dalam membentuk regulasi dan kebijakan ekonomi meskipun dengan cara menutup akses jalan tol.
Sejauh ini, blokade jalan tol di Padalarang dan Pasteur, serta aksi protes lainnya, menjadi puncak dari serangkaian demonstrasi yang telah terjadi di Bandung Barat. Pada tanggal 30 November 2023, ribuan buruh dari berbagai daerah di Jawa Barat berkumpul untuk memblokade jalan tol Padalarang sebagai bentuk protes terhadap kondisi ekonomi yang sulit dan tuntutan kenaikan upah sebesar 15 persen. Sebelumnya, pada 28 November 2023, buruh juga memblokade jalan tol Pasteur di Kota Bandung, Lalu mengadakan aksi protes tersebut di Depan Gedung Sate. Selain itu, pada 6 November 2023, ratusan buruh dari lima serikat pekerja di Kabupaten Bandung Barat memblokade Jalan Raya Padalarang di depan Kantor DPRD.Â
Aksi protes ini bukan hanya gejolak semata, melainkan juga representasi dari keinginan untuk memperjuangkan hak-hak buruh dalam sistem demokrasi. Buruh menyatakan bahwa aspirasi mereka untuk kenaikan upah sebesar 15 persen bukanlah sesuatu yang keluar dari batas kewajaran, melainkan respons terhadap kondisi ekonomi yang semakin sulit dihadapi oleh mereka sehari-hari. Argumentasi ini mencuatkan pertanyaan yang mendasar: Sejauh mana sistem demokrasi kita mampu mendengar dan merespons tuntutan rakyat, terutama dalam hal kebijakan ekonomi?