Etika Simpanse dan Kacaunya Moralitas Manusia Modern
Dalam buku Shadows of Forgotten Ancestors karya Carl Sagan dan Ann Druyan, terdapat pengamatan menarik tentang kehidupan simpanse, yang mengungkapkan adanya aturan sosial alami di antara mereka. Simpanse memiliki hierarki, menghormati pejantan dominan, menyayangi induk mereka, melindungi kelompok dari ancaman luar, dan bahkan mengharamkan incest. Semua ini terjadi tanpa panduan kitab suci ataupun hukum tertulis. Perilaku ini memunculkan pertanyaan penting, jika simpanse tanpa sistem hukum formal mampu menjaga struktur sosial yang stabil, mengapa masyarakat manusia yang dibekali hukum, agama, dan ideologi sering terjebak dalam kekacauan moral dan sosial, terutama di era modern yang didominasi oleh liberalisme?
Sistem Sosial Simpanse
Simpanse hidup dalam kelompok yang memiliki keteraturan. Hierarki sosial menjadi landasan yang diikuti oleh setiap anggota. Pejantan alfa memegang peran dominan, bukan hanya melalui kekuatan fisik tetapi juga kemampuan untuk merawat dan melindungi kelompok. Interaksi antaranggota kelompok memperlihatkan nilai-nilai kebersamaan, seperti berbagi makanan dan perawatan anak.
Patriotisme sederhana juga terlihat ketika simpanse mempertahankan kelompok mereka dari ancaman luar. Mereka tidak memiliki agama atau institusi formal, tetapi norma-norma ini diwariskan melalui insting dan pembelajaran sosial, menciptakan harmoni yang membuat kelompok tetap bertahan.
Masyarakat Manusia
Manusia, di sisi lain, memiliki berbagai perangkat aturan, mulai dari hukum negara hingga norma agama, untuk menciptakan keteraturan. Namun, alih-alih harmoni, masyarakat manusia justru sering terjebak dalam konflik, ketimpangan, dan kekacauan moral. Faktor utama yang membedakan manusia dari simpanse adalah kesadaran, ideologi, dan kebebasan memilih.
Sejak munculnya liberalisme, kebebasan individu sering kali didewakan. Liberalisme mendorong manusia untuk memprioritaskan keinginan pribadi di atas kepentingan kelompok, sebuah konsep yang bertolak belakang dengan etika simpanse. Dalam masyarakat liberal, aturan moral dan norma sosial menjadi kabur. Segala sesuatu dapat dinegosiasikan atas nama kebebasan individu, yang pada akhirnya melemahkan struktur sosial yang dulu diikat oleh norma bersama.
Agama dan Aturan Moral
Agama pernah menjadi fondasi moralitas masyarakat manusia. Kitab suci menyediakan panduan etis yang serupa dengan norma-norma sosial di kalangan simpanse, tetapi dengan legitimasi yang dianggap datang dari kekuatan ilahi. Aturan seperti larangan incest, kewajiban berbagi, dan hierarki sosial tercermin dalam hampir semua tradisi agama besar.
Namun, dengan modernisasi dan sekularisasi, peran agama sebagai penentu moralitas mulai memudar. Banyak masyarakat kini memandang agama sebagai sesuatu yang membatasi kebebasan individu. Dalam konteks ini, agama sering dilihat sebagai representasi dari sistem feodal yang mengekang kreativitas dan inovasi, meskipun pada kenyataannya agama pernah menjadi perekat yang menyatukan masyarakat di masa lalu.
Kapitalisme: Sistem Feodal Modern?
Kapitalisme modern, yang tumbuh seiring dengan liberalisme, menghadirkan kontradiksi. Di satu sisi, kapitalisme menjanjikan kebebasan ekonomi, di sisi lain, ia menciptakan hierarki baru yang menyerupai feodalisme. Korporasi besar dan para miliarder memainkan peran seperti "pejantan alfa" dalam masyarakat simpanse, tetapi tanpa kewajiban moral untuk melindungi anggota kelompok mereka. Ketimpangan ekonomi yang ekstrem, eksploitasi sumber daya, dan minimnya solidaritas sosial menjadi ciri khas sistem ini.
Dalam masyarakat kapitalis, berbagi tidak lagi menjadi norma. Sebaliknya, individu didorong untuk mengejar keuntungan pribadi, bahkan jika itu merugikan kelompok. Hal ini sangat berbeda dari perilaku simpanse, yang memiliki nilai kebersamaan alami meskipun tidak mengenal uang atau pasar.