Mohon tunggu...
Auliya Ahda Wannura
Auliya Ahda Wannura Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Seorang Penulis freelance dan solo traveler.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mongolia: Negeri Nomaden di Tengah Gurun Pasir dan Langit Biru

25 Oktober 2024   13:33 Diperbarui: 25 Oktober 2024   13:40 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pin.it/3dXjlP3Hl

Mongolia: Negeri Nomaden di Tengah Gurun Pasir dan Langit Biru

Ketertarikan terhadap Mongolia mungkin terasa unik bagi sebagian orang, namun bagi saya, ini adalah hasil dari cerita epik dalam novel karya Jin Yong, seperti "Kisah Pedang Langit dan Golok Pembunuh Naga" dan "Legenda Pendekar Pemanah Rajawali".

Cerita-cerita ini menggambarkan Mongolia sebagai tanah luas dengan padang rumput yang tak berujung, langit biru nan bersih, dan kehidupan nomaden yang seolah memanggil petualang di dalam diri kita. Dunia Mongolia yang digambarkan oleh Jin Yong ini membuat saya penasaran pada kehidupan nomaden, yang jauh berbeda dari kehidupan kita sehari-hari yang dipenuhi rutinitas dan tembok-tembok bangunan.

Kehidupan Nomaden di Mongolia: Hidup Menyatu dengan Alam

Masyarakat Mongolia terkenal dengan gaya hidup nomaden yang telah diwariskan selama ribuan tahun. Gaya hidup ini dipengaruhi oleh alam yang keras dan luasnya lahan padang rumput atau stepa yang membentang sejauh mata memandang. Sebagian besar orang Mongolia tinggal di tenda-tenda tradisional yang disebut "Ger" atau "Yurt", yang dapat dengan mudah dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain.

"Ger" ini dibuat dengan kerangka kayu dan dilapisi kain yang kuat untuk menahan cuaca ekstrem di gurun Gobi. Sistem ini memungkinkan keluarga Mongolia berpindah-pindah dengan mudah untuk mencari padang rumput baru yang cocok bagi ternak mereka.

Gaya hidup nomaden ini bukan tanpa alasan. Mongolia adalah negara dengan iklim yang ekstrem; suhu di musim panas bisa mencapai 40C, sementara di musim dingin turun hingga -40C. Padang rumput pun berubah sepanjang tahun, tergantung pada curah hujan dan kondisi cuaca.

Hal ini menyebabkan orang Mongolia terus bergerak untuk memastikan ternak mereka, yang meliputi sapi, kuda, unta, dan domba, mendapatkan pasokan makanan yang cukup. Selain itu, hidup nomaden dianggap sebagai cara terbaik untuk memanfaatkan sumber daya alam Mongolia yang luas namun jarang.

Budaya Berburu dan Hubungan dengan Alam

Meskipun saat ini perburuan telah diatur dengan ketat oleh pemerintah, masyarakat Mongolia masih mewarisi tradisi berburu yang berakar dari nenek moyang mereka. Bagi mereka, berburu bukan hanya sekadar aktivitas, tetapi bagian dari hubungan spiritual dengan alam.

Salah satu tradisi yang terkenal adalah berburu menggunakan elang, yang terutama dilakukan oleh suku Kazakh di Mongolia barat. Tradisi ini melibatkan latihan yang panjang dan kesabaran tinggi untuk membina hubungan dengan burung pemangsa, yang dianggap sebagai bentuk kehormatan dan kebanggaan bagi seorang pemburu.

Fakta Menarik tentang Penduduk Mongolia


Mongolia memiliki populasi sekitar 3,3 juta jiwa, dengan hampir separuhnya tinggal di ibu kota Ulaanbaatar. Meskipun wilayahnya sangat luas, kepadatan penduduk di Mongolia termasuk yang paling rendah di dunia. Bahasa resmi yang digunakan adalah bahasa Mongolia, dengan tulisan Sirilik yang dipinjam dari Rusia. Namun, bahasa Mongolia tradisional juga menggunakan aksara Mongolia yang unik, yang ditulis secara vertikal dari atas ke bawah.

Dalam hal kuliner, Mongolia terkenal dengan hidangan yang sederhana namun padat energi, seperti "buuz" (pangsit daging yang dikukus), "khuushuur" (pangsit goreng), dan "airag" atau susu kuda yang difermentasi.

Minuman ini mengandung alkohol rendah dan dipercaya memiliki banyak manfaat kesehatan, terutama bagi masyarakat Mongolia yang harus menghadapi cuaca ekstrem. Kebiasaan minum alkohol ini mungkin juga dipengaruhi oleh kebutuhan akan energi tambahan dan untuk menjaga suhu tubuh di iklim yang dingin.

Selain kuliner, Mongolia juga memiliki tradisi musik yang khas. Salah satu bentuk musik paling terkenal adalah "khoomei", atau "nyanyian tenggorokan".

Teknik ini melibatkan dua nada yang dihasilkan secara bersamaan, satu nada rendah dan satu nada tinggi, menciptakan efek yang menyerupai gema alam. Musik "khoomei" sering dianggap sebagai representasi dari angin yang menderu di padang rumput Mongolia.

Agama Tengrisme: Hubungan Spiritual dengan Langit dan Alam

Sebelum pengaruh agama-agama besar seperti Budhisme dan Islam, masyarakat Mongolia telah menganut agama asli mereka, yakni Tengrisme. Agama ini mengajarkan penghormatan terhadap "Tengri", yang diyakini sebagai roh tertinggi atau dewa langit.

Tengri bukanlah sosok yang diwujudkan secara fisik, melainkan dianggap sebagai kekuatan ilahi yang mempengaruhi alam semesta, cuaca, dan kehidupan manusia.

Tengrisme tidak memiliki kitab suci atau bangunan ibadah formal, tetapi upacara dan ritual dilakukan untuk menghormati alam, gunung, dan air, yang dianggap sebagai tempat-tempat keramat.

Kepercayaan ini masih terjaga dalam beberapa tradisi Mongolia dan dipegang oleh para pemimpin besar Mongolia, seperti Genghis Khan. Pemimpin legendaris ini diketahui menganut Tengrisme dan menjalani hidup sesuai dengan prinsip-prinsip spiritual yang mengutamakan keberanian, loyalitas, dan kehormatan.

Mengapa Mongolia Tertinggal dari Cina dan Rusia?

Walaupun Mongolia pernah menjadi pusat kekaisaran terbesar di dunia pada masa Genghis Khan, kini Mongolia terbilang lebih tertinggal dibandingkan tetangganya, Cina dan Rusia. Ada beberapa alasan yang mendasari hal ini.

Pertama, Mongolia tidak memiliki akses langsung ke laut, sehingga ekonomi mereka sangat bergantung pada dua negara tetangga tersebut. Tanpa pelabuhan, Mongolia sulit berkembang dalam perdagangan internasional dan lebih terbatas pada sumber daya yang ada di dalam negeri.

Kedua, meskipun Mongolia terletak di jalur sutra, posisinya dalam rute perdagangan modern semakin terabaikan seiring perkembangan teknologi transportasi.

Cina dan Rusia yang lebih maju dalam industrialisasi menjadi lebih berpengaruh dalam perdagangan global, sementara Mongolia yang bergantung pada ekspor sumber daya alam, terutama mineral, menjadi kurang kompetitif dalam pasar dunia yang semakin maju.

Selain itu, perubahan ekonomi yang cepat di Cina dan Rusia membuat Mongolia mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri.

 Ketergantungan ekonomi dan sejarah konflik yang panjang dengan negara-negara besar ini juga membuat Mongolia mengambil sikap hati-hati dalam kebijakan ekonomi dan politik luar negerinya. Namun, Mongolia tetap mempertahankan budaya nomaden mereka, yang kini menjadi daya tarik pariwisata bagi banyak orang di seluruh dunia.

Kehidupan nomaden Mongolia tetap terjaga meskipun dunia modern semakin maju. Masyarakat Mongolia masih mempertahankan nilai-nilai kebebasan, kemandirian, dan hubungan kuat dengan alam yang sudah diwariskan sejak zaman nenek moyang.

Kehidupan mereka yang sederhana dan dekat dengan alam seolah menjadi oase di tengah arus globalisasi. Dalam keterbatasan dan tantangan alam yang keras, mereka menemukan kebahagiaan, ketenangan, dan kehormatan dalam hidup yang sederhana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun