Faktor Risiko Depresi dan Bunuh Diri pada Remaja: Apa Saja yang Perlu Diketahui Orang Tua?
Fenomena depresi dan bunuh diri di kalangan remaja semakin memprihatinkan, terutama di Indonesia. Keterbukaan akses terhadap informasi dan tekanan sosial yang semakin tinggi membuat remaja semakin rentan terhadap masalah kesehatan mental. Orang tua memiliki peran kunci dalam memahami, mendeteksi, dan mencegah depresi serta risiko bunuh diri pada anak-anak mereka. Artikel ini akan membahas penyebab utama depresi dan bunuh diri yang terjadi di kalangan remaja serta langkah-langkah pencegahan yang dapat diambil oleh orang tua.
Pengertian Remaja dan Batas Umur Menurut WHO
Menurut World Health Organization (WHO), remaja adalah individu yang berusia antara 10 hingga 19 tahun. Masa ini merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang ditandai dengan perubahan fisik, emosional, dan psikologis yang signifikan. Namun, dalam kehidupan modern, banyak remaja yang tetap menghadapi tantangan mental hingga usia dua puluhan atau dikenal sebagai masa "quarter life crisis," yaitu periode ketika individu berusia 20 hingga 30 tahun mulai mempertanyakan identitas, tujuan hidup, dan ekspektasi sosial.
Remaja di usia belasan tahun cenderung mengalami depresi karena perubahan hormonal dan tantangan psikososial, seperti tekanan dari teman sebaya dan sekolah. Sementara itu, remaja yang berada di masa quarter life crisis lebih rentan terhadap tekanan pekerjaan, hubungan interpersonal, dan harapan sukses yang terlalu tinggi.
Penyebab Depresi dan Bunuh Diri pada Remaja
Beberapa faktor utama yang dapat memicu depresi dan meningkatkan risiko bunuh diri pada remaja adalah:
1. Toxic Parenting
Peran orang tua sangat krusial dalam membentuk kesehatan mental anak. Sayangnya, pola asuh yang keliru atau toxic parenting bisa menjadi salah satu pemicu utama depresi pada remaja. Toxic parenting merujuk pada pola asuh yang merugikan perkembangan emosional anak, seperti kritik berlebihan, penghinaan, atau ekspektasi yang tidak realistis. Orang tua yang sering memaksakan kehendak tanpa memahami keinginan anak atau terlalu mengontrol dapat membuat anak merasa tidak berharga, terisolasi, dan tertekan.
Komunikasi yang buruk antara orang tua dan anak dapat memperburuk situasi, terutama jika anak merasa tidak didengar atau dipahami. Akibatnya, remaja mungkin mencari pelarian dari perasaan negatif mereka melalui tindakan yang lebih ekstrem, termasuk bunuh diri.
2. Kurangnya Pendidikan Agama dan Pengendalian Diri
Pendidikan agama memiliki peran penting dalam membentuk moral dan pengendalian diri anak. Kurangnya pemahaman mengenai nilai-nilai spiritual dan minimnya dukungan dalam pengelolaan emosi dapat membuat remaja kesulitan mengatasi stres. Anak yang tidak diajarkan cara mengelola emosi seperti marah, kecewa, atau sedih dapat dengan mudah terjerumus dalam perilaku merusak diri sendiri.