Aku selalu merasa canggung dan cemas saat keluar rumah. Seperti tak tahu apa yang ingin kucari. Mungkin memang tak ada. Tapi selalu ada rasa ganjal dalam diriku. Seperti takut untuk terjerembab atau barangkali terpeleset. Lalu tak ada satu pun yang menolong. Tak peduli karena aku bukan siapa-siapa, apalagi siapa-siapa mereka.
Ibuku selalu bilang, "Tak apa-apa. Pelan-pelan. Memang tidak perlu terburu-buru. Biarkan dirimu terbiasa dulu, barulah berlari. Lagi-lagi, Sayang, jangan berlari terlalu kencang. Takut ada batu atau sandalmu putus. Bisa repot," kebijaksanaannya selalu terbalut gurau. Tawanya yang lirih laksana air terjun di surga terindah.
"Tapi aku tak tahu harus berlari untuk apa, Bu. Lariku semakin pelan dan aku malah menangis."
"Kau begitu haus ketenangan, Sayang. Jika memang begitu, tak perlu berlari pun tak apa-apa. Kau perempuan Ibu yang kuat," Ibu memelukku.
Aku memejamkan mataku dan tertidur dalam dekapannya. Tak lama, aku menangis lagi.
"Kenapa orang-orang membenciku, Ibu?"
Tangannya membelai rambutku. Yang satunya mengelus punggungku.
"Kau salah, Sayang. Itu hanya karena kau tak mencoba bertanya pada mereka. Memang begitulah orang-orang."
"Tidak, Bu. Mereka tak mau menolongku saat aku terpeleset di selokan. Tidakkah mereka ingin menjadi orang baik untukku?"
"Sekali lagi, Sayang. Cobalah tanya mereka. Jika memang mereka tak ingin mengenalmu, maka kaulah yang harus mengenal mereka."
"Malas... mereka saja tidak peduli denganku."
Ibu melepas dekapannya. Senyum itu tak ada lagi di wajahnya.
"Itulah manusia sekarang. Apa kau ingin ikut-ikutan seperti mereka? Lalu terus-terusan merasa sendirian? Sungguh, Sayang, Ibu senang saat kau bilang hanya Ibu yang kau miliki. Tapi juga itu sangat menyakitkan. Ibu ingin melihatmu bahagia."
Aku menghapus air mataku. Ibu tak ingin menghapusnya lagi. Mungkin karena terlalu sering aku menangis. Yang ia sediakan sekarang hanya pelukan itu.
"Kau ingin tahu apa yang kau cari, kan?"
Aku mengangguk sambil terisak.
"Taklukan mereka yang menghalangimu."
Dari sela-sela jari, kulihat senyum itu terukir lagi.
"Mau teh manis?"
Aku menjawabnya setelah kembali tenang. "Mau."
Ibu tak meracik tehnya sendiri. Hanya teh celup yang biasa ada di iklan, yang dibeli dari warung. Entah bagaimana Ibu membuatnya begitu istimewa. Teh itu tak dicampur apa-apa lagi, dengan kayu manis atau daun mint. Hanya teh manis celup biasa. Tapi yang dibuat dengan tangan Ibu sama sekali beda dengan teh-teh seharga puluhan ribu yang biasa ada di kafe-kafe. Enak sekali...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H