Ibu melepas dekapannya. Senyum itu tak ada lagi di wajahnya.
"Itulah manusia sekarang. Apa kau ingin ikut-ikutan seperti mereka? Lalu terus-terusan merasa sendirian? Sungguh, Sayang, Ibu senang saat kau bilang hanya Ibu yang kau miliki. Tapi juga itu sangat menyakitkan. Ibu ingin melihatmu bahagia."
Aku menghapus air mataku. Ibu tak ingin menghapusnya lagi. Mungkin karena terlalu sering aku menangis. Yang ia sediakan sekarang hanya pelukan itu.
"Kau ingin tahu apa yang kau cari, kan?"
Aku mengangguk sambil terisak.
"Taklukan mereka yang menghalangimu."
Dari sela-sela jari, kulihat senyum itu terukir lagi.
"Mau teh manis?"
Aku menjawabnya setelah kembali tenang. "Mau."
Ibu tak meracik tehnya sendiri. Hanya teh celup yang biasa ada di iklan, yang dibeli dari warung. Entah bagaimana Ibu membuatnya begitu istimewa. Teh itu tak dicampur apa-apa lagi, dengan kayu manis atau daun mint. Hanya teh manis celup biasa. Tapi yang dibuat dengan tangan Ibu sama sekali beda dengan teh-teh seharga puluhan ribu yang biasa ada di kafe-kafe. Enak sekali...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H