Akhir-akhir ini hal terkait dengan rencana pemerintah untuk pengenaan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap sembako, sedang ramai di perbincangkan oleh seluruh kalangan masyarakat Indonesia, dan tentu saja hal ini mendapatkan kritik dan penolakan dari berbagai pihak. Â
Rencana Pengenaan tarif PPN terhadap sembako ini telah tercantum dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).Â
Lalu bahan pokok apa saja yang akan dikenakan tarif PPN ?
Besaran Pajak Pertambahan Nilai saat ini 10 persen, sedangkan dalam perencanan pemerintah tentang pengenaan Pajak Pertamabahan Nilai menjadi  sebesar 12 persen
Berdasarkan peraturan menteri keuangan, ada 12 bahan pokok yang akan dikenai PPN, bahan pokok tersebut meliputi beras, gabah, telur, gula, sagu, kedelai, daging, jagung, sayur-sayuran, buah-buahan, susu, garam.
Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai ini menjadi beban untuk masyarakat sebagai konsumen barang pokok sembako dan juga bisa menjadi ancaman terhadap pasokan pangan bahan pokok untuk masyarakat.
Latar belakang rencana pemerintah dengan di adakannya pengenaan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap bahan pokok dilatarbelakangi oleh beberapa hal. Neilmardrin Noor, Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jendral Pajak (DJP) menjelaskan adanya PPN ini terjadi karena adanya distorsi ekonomi yang terjadi karena tax incidenece sehingga tidak dapat bersaing harga produk  dalam negeri dengan produk impor.
Kedua, Pemungatan pajak pada saat ini dalam pemberian fasilatas selama ini memerlukan Surat Keterangan Bebas Pajak (SKB) dan Surat Keterangan Tidak Dipungut (SKTD) yang menimbulkan biaya administrasi yang dinilai tidak efisien.
Selanjutnya dalam kurangnya rasa keadilan terhadap pengecualian pengenaan PPN yang berlaku pada saat ini yang sama-sama dikecualikan dari pengenaan PPN atas objek pajak yang sama dikonsumsi oleh golongan pengahasilan yang berbeda-beda.
Kemampuan membayar pajak dan mempertimbangkan golongan yang mempunyai ability to pay akan dikenakan multitarif PPN yaitu dikenai tarif lebih tinggi.
Neilmardrin Noor mengatakan harus ada pembeda atas kebijakan kebutuhan BKP dan JKP yang dibutuhan oleh masyarakat umum akan diberi tarif PPN lebih rendah sedangkan untuk yang dikonsumsi oleh kelompok tertentu yang tergolong premium akan lebih ekslusif dan dikenai tarif lebih tinggi, Â untuk keadilan karena penghasilannya yang berbeda.
Tarif PPN negara Organsation for Economic Co-Operation and Development yaitu 19% dan negara BRICS tarifnya sebesar 17 persen . Dan untuk tarif PPN di Indonesia tergolong rendah yaitu sebesar10 persen  jika dibandingkan dengan negara lain.
PPN yang ada di Indonesia pada saat ini,sebesar 60 persen  yang terkait dengan c-efficiency sebesar 0,6 persen dari total PPN yang seharusnya bisa dipungut. Hal in c-efficiency Indonesia lebih rendah dari negara yang c-efficiencynya mencapai 80 persen yaitu negara Thailand. Singapura dan Vietnam.
Maka dari itu, dengan perubahan ketentuan Pajak Pertambahan Nilai ini menjadi bahan untuk diskusi pemerintah dalam memperbaiki sisi adminsitrasi, dan keadilan untuk PPN dengan penerapan fasilitas yang sama dengan negara lain.
Alasan Pemerintah dalam perencangan pengenaan PPN, Â pemerintah membutuhkan uang untuk pendapatan negara, yang akibat terdampak pandemi, sehingga belanja negara meningkat. Maka dari itu pemerintah membuat kebijakan untuk menjamin di masa depan.
Perencanaan Pengenaan pajak pertambahan nilai terhadap barang kebutuhan pokok, dikhawatirkan akan  berdampak negatif pada perekonomian saat ini yang belum stabil akibat covid-19, dengan pengenaan PPN sembako maka harga sembako akan naik dan mengancam kebutuhan bahan pangan sehingga dampak PPN ini akan berpengaruh terhadap kenaikan harga menjadi tinggi dan berdampak pula pada kenaikan inflasi karena bahan pokok makanan merupakan penyumbang utama dari inflasi. Apabila inflasi tinggi, dan kenaikan untuk gaji tidak ada, maka pendapatan rill masyarakat akan menurun dan daya beli masyarakatpun menurun, hal ini bisa menyebabkan kesenjangan sosial tinggi dan meningkatnya kemiskinan. Angka kemiskinanan yang berasal dari kurangnya bahan makanan tercatat sebanayak 73 persen, apabila harga bahan pokok naik, maka angka kemiskinanpun akan semakin bertambah.
Ekonom Centerof Reform on Economics, Piter Abdullah menilai, Untuk penerapan Pajak Pertambahan Nilai bahan pokok pemerintah harus memperhatikan waktu yang tepat, karena saat ini Indonesia masih belum pulih dari dampak pandemi. Pemerintah harus melakukan reformasi perpajakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai akan membuat ekonomi tidak stabil, dan berdampak pada penjualan akibat sektor barang dan jasa menurun dan berpengaruh terhadap kurangnya tenaga kerja yang disebabkan oleh produktivitas yang menurun. Artinya pendapatan masyarakan dan konsumsi masyarakat menurun, pemulihan ekonomi akibat pandemi belum optimal. Dalam situasi pada saat ini, pemerintah seharusnya memberikan perlindungan sosial ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H