Di sebuah kampung kecil yang jauh dari keramaian kota, hiduplah seorang gadis yang bernama Jelita. Sejak kecil Jelita memiliki impian besar untuk melanjutkan pendidikan di universitas terbaik yang ada di kota. Ia sering membayangkan dirinya berjalan di kampus yang megah, dikelilingi teman-teman yang memiliki wawasan yang luas dan berprestasi. Saat lulus dari sekolah menengah atas, Jelita berniat untuk mendaftarkan dirinya ke universitas yang sejak lama ia impikan. Jelita pun menyiapkan segala hal persyaratan dan mengumpulkan berkas-berkas yang dibutuhkan. Setelah semuanya sudah terkumpul, Jelita mendaftarkan dirinya melalui gawai yang dimilikinya. Dua minggu berlalu, akhirnya pengumuman pun tiba. Dengan detak jantung yang berdebar tidak seperti biasanya, rasa penasaran dan harap cemas bercampur aduk dirasakan olehnya. Jelita mulai membuka gawai dan mengakses situs web pengumuman seleksi kemudian mengetik nomor pendaftaran dan meng-klik enter. Jelita menatap kosong gawai yang memperlihatkan pengumuman seleksi universitas tersebut. Matanya kabur, seolah-olah dunia di sekitarnya berputar dalam kecepatan yang tak dapat ia ikuti. Ya, hasil pengumuman itu mengatakan bahwa Jelita tidak lulus di universitas yang menjadi impiannya.
      Meski hatinya terasa hancur, Jelita bertekad untuk tidak menyerah dan terus berusaha. Ia mendaftar ke universitas yang ia inginkan melalui seleksi yang lainnya. Beberapa kali mencoba, lagi dan lagi ia tetap menerima hasil yang sama. Selama bertahun-tahun ia berusaha, mengorbankan waktu dan tenaga, namun hasilnya tak seperti yang diharapkannya. "Kenapa? Kenapa tidak bisa?" gumamnya pelan, terisak. Ia merasa seperti mimpi yang selama ini digenggamnya kini hilang begitu saja.
      Jelita, seorang gadis yang memiliki mimpi besar untuk belajar di universitas ternama di kota, selalu percaya bahwa pendidikan adalah jalan menuju kehidupan yang lebih baik. Namun, kenyataan berkata lain. Di usianya yang menginjak 20 tahun, Jelita terpaksa menerima kenyataan bahwa mimpinya harus terkubur. "Mungkin ini jalan terbaik", kata ibunya dengan suara yang lembut, mencoba memberi penghiburan. Tetapi bagi Jelita, itu bukanlah jalan terbaik. Bukan jalan yang ia impikan.
      Setelah gagal beberapa kali, Jelita akhirnya memilih untuk kuliah di universitas yang ada di kampungnya, tempat yang jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota. Jelita juga berpikiran untuk bekerja paruh waktu di sebuah toko kelontong milik tetangganya, agar membantu meringankan beban orang tua. Tak ada pilihan lain, ia tetap merasakan kepedihan yang mendalam. Teman-temannya yang lulus di universitas yang sangat berbeda dengannya, seakan hidup mereka sudah bergerak maju, sedangkan ia terperangkap di titik ini di tempat yang sama, dengan suasana yang tak banyak berubah. Ia merasa seperti mimpi yang hilang, hilang begitu saja tanpa ada yang peduli.
      Di kampus barunya, Jelita merasa terasing. Di antara teman-teman yang lebih memilih untuk menjalani kehidupan biasa, dia merasa seperti seorang pengembara yang tidak tahu arah. Namun, ada satu sosok yang selalu tampak berbeda dari yang lain: Alif, teman sekelas yang sepertinya juga memiliki mimpi yang besar. Alif adalah tipe orang yang selalu tampak tenang dan penuh perhitungan, tak seperti dirinya yang sering kali terbawa perasaan. Walaupun begitu, Jelita merasa ada sesuatu yang menghubungkan mereka, sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
      Suatu hari, setelah kuliah selesai, Jelita dan Alif duduk berdua di taman kampus. Hening. Hanya angin yang terdengar sesekali berdesir. Akhirnya, Jelita memecahkan keheningan itu. "Alif, kenapa kamu memilih untuk kuliah di sini?" tanyanya, mencoba memahami keputusan teman sekelasnya yang tampak begitu serius dan penuh komitmen terhadap kuliah ini.
      Alif tersenyum tipis, matanya tampak jauh, seolah-olah sedang memikirkan sesuatu yang sangat penting. "Kadang, mimpi yang kita kejar tidak selalu datang dengan cara yang kita inginkan, Jelita," jawabnya pelan. "Aku juga pernah merasakan hal yang sama, terjebak dalam harapan yang besar. Tapi hidup ini tentang menerima kenyataan, bukan hanya mengejar sesuatu yang tak pasti. Yang terpenting adalah kita berusaha, lalu mencari arti dari setiap langkah yang kita ambil."
      Jelita terdiam mendengar kata-kata itu. Sesuatu dalam dirinya tergerak. Apakah ia telah salah menilai semua yang telah terjadi? Apakah benar bahwa jalan yang ia pilih, meskipun tak sesuai dengan mimpinya adalah yang terbaik? Namun, dalam hati Jelita, ada sebuah perasaan yang tak bisa ia abaikan-perasaan kosong yang terus menerus menghantuinya, perasaan bahwa mimpinya telah hilang begitu saja.
Tiga bulan berlalu sejak percakapan itu, dan Jelita perlahan mulai menerima kenyataan. Namun, ada sesuatu yang mengganggunya. Sebuah pesan misterius yang datang dari nomor yang tidak dikenal. Pesan itu hanya berisi kalimat singkat: "Ada  kesempatan kedua, tapi hanya kamu yang bisa menemukannya." Jelita tidak tahu siapa yang mengirim pesan itu, tetapi kata-katanya terasa begitu memanggil. Apakah ini sebuah harapan baru? Sebuah jalan lain menuju impian yang dulu ia kira sudah hilang?
Pada malam yang dingin itu, Jelita memutuskan untuk mengunjungi tempat yang selalu menjadi bagian dari mimpinya-universitas yang telah ia impikan sejak lama. Tidak ada rencana, hanya perasaan yang mendorongnya untuk mencari tahu lebih lanjut. Tanpa memberitahu siapa pun, ia pergi sendirian.
Di luar gerbang universitas, Jelita merasa jantungnya berdetak kencang. Tiba-tiba, ia melihat Alif yang sedang duduk di bangku taman di dekat pintu masuk. Ia terkejut, seolah-olah dunia berputar lebih cepat dari biasanya. "Alif, kenapa kamu ada di sini?" tanya Jelita, kebingungan.
Alif menatapnya dengan tatapan yang penuh arti. "Aku tahu kamu akan datang," jawabnya tenang. "Mimpi yang hilang itu tidak benar-benar hilang, Jelita. Terkadang kita harus berani melangkah kembali, bahkan ketika jalan itu terlihat sulit. Dan kamu telah mengambil langkah pertama dengan datang ke sini."
Jelita terdiam, kebingungannya semakin menjadi-jadi. "Tapi... kamu juga sudah berada di kampus itu, mengapa kamu tidak memilih untuk pergi ke tempat yang lebih besar?" tanyanya dengan suara yang bergetar.
Alif tersenyum, senyum yang penuh makna. "Karena aku tahu, suatu hari nanti, jalan yang benar akan terbuka untuk kita semua. Kamu akan menemukan mimpi yang lebih besar dari yang pernah kamu bayangkan, Jelita. Dan saat itu tiba, kamu akan siap."
Tanpa ia sadari, Jelita merasakan sebuah perubahan yang perlahan mengalir dalam dirinya. Seperti sebuah pencerahan, ia mulai memahami bahwa mimpinya bukan hanya tentang universitas tertentu, melainkan tentang perjalanan hidup yang lebih besar, tentang menerima setiap langkah yang ia ambil dengan ikhlas.
Beberapa bulan setelah malam itu, Jelita akhirnya menemukan sebuah jalan baru, sebuah kesempatan yang lebih besar dari apa yang ia bayangkan. Dosen yang ada di universitas tempat ia kuliah sekarang mengajak Jelita untuk mengikuti lomba karya tulis tingkat nasional. Dosen tersebut melihat potensi dalam diri Jelita dan yakin bahwa ia bisa bersaing dengan mahasiswa dari universitas lain. Ia tidak pernah membayangkan kesempatan seperti itu datang kepadanya. Lomba karya tulis tingkat nasional? Bagi Jelita, itu terasa seperti sebuah peluang besar yang bisa membawa dirinya keluar dari kehidupan monoton di kampungnya. Namun, keraguan sempat muncul. Apakah ia benar-benar siap? Ia tidak memiliki pengalaman dalam menulis karya ilmiah yang serius. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang mendorongnya untuk mencoba, untuk melihat sejauh mana ia bisa berkembang. Jelita menerima ajakan itu dengan penuh semangat. Jelita mulai mempersiapkan tulisannya. Setiap malam, setelah bekerja di toko kelontong, ia meluangkan waktu untuk membaca, menulis dan menyempurnakan karyanya. Alif, yang mengetahui bahwa Jelita sedang bekerja keras untuk lomba tersebut, memberikan dukungan penuh. Ia sering mengingatkan Jelita untuk tidak takut gagal, dan lebih penting lagi untuk menikmati setiap proses yang ada.
Akhirnya, hari yang ditunggu pun tiba. Jelita mengirimkan karya tulisnya, namun ia tetap merasa cemas. Ada banyak pesaing dari universitas besar yang ada di kota dan ia merasa dirinya tak lebih dari seorang pemula. Namun, yang diajarkan oleh Alif, ia tidak boleh terhenti hanya karena ketakutan. Mimpi tidak datang dengan mudah, tetapi usaha dan keberanian adalah kunci.
Beberapa minggu kemudian, hasil lomba diumumkan. Dengan tangan gemetar, Jelita membuka situs pengumuman. Matanya memindai kata-kata yang tertulis di layar, dan untuk sesaat, dunia terasa seperti berhenti. Nama Jelita terdaftar sebagai juara pertama lomba karya tulis tingkat nasional. Ia hampir tidak bisa mempercayainya. Air mata kebahagiaan mengalir di pipinya. Semua usaha, segala pengorbanan, dan ketekunan yang ia lakukan selama ini akhirnya membuahkan hasil. Ia merasa seolah-olah mimpi yang sempat terkubur kini terlahir kembali, lebih hidup dan nyata dari sebelumnya.
Alif yang mendengar kabar bahwa Jelita meraih juara pertama dalam lomba karya tulis itu pun datang menemuinya untuk memberikan selamat. "Aku tahu kamu bisa, Jelita. Mimpi itu bukan tentang tempat, tetapi tentang apa yang kamu lakukan dengan kesempatan yang ada," kata Alif dengan senyuman yang penuh makna.
Jelita tersenyum. "Terima kasih, Alif. Karena kamu aku mulai memahami bahwa mimpi itu bukan hanya tentang apa yang kita inginkan, tetapi tentang bagaimana kita menerima setiap kesempatan yang datang, bahkan ketika itu tak sesuai dengan harapan."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H