Alif menatapnya dengan tatapan yang penuh arti. "Aku tahu kamu akan datang," jawabnya tenang. "Mimpi yang hilang itu tidak benar-benar hilang, Jelita. Terkadang kita harus berani melangkah kembali, bahkan ketika jalan itu terlihat sulit. Dan kamu telah mengambil langkah pertama dengan datang ke sini."
Jelita terdiam, kebingungannya semakin menjadi-jadi. "Tapi... kamu juga sudah berada di kampus itu, mengapa kamu tidak memilih untuk pergi ke tempat yang lebih besar?" tanyanya dengan suara yang bergetar.
Alif tersenyum, senyum yang penuh makna. "Karena aku tahu, suatu hari nanti, jalan yang benar akan terbuka untuk kita semua. Kamu akan menemukan mimpi yang lebih besar dari yang pernah kamu bayangkan, Jelita. Dan saat itu tiba, kamu akan siap."
Tanpa ia sadari, Jelita merasakan sebuah perubahan yang perlahan mengalir dalam dirinya. Seperti sebuah pencerahan, ia mulai memahami bahwa mimpinya bukan hanya tentang universitas tertentu, melainkan tentang perjalanan hidup yang lebih besar, tentang menerima setiap langkah yang ia ambil dengan ikhlas.
Beberapa bulan setelah malam itu, Jelita akhirnya menemukan sebuah jalan baru, sebuah kesempatan yang lebih besar dari apa yang ia bayangkan. Dosen yang ada di universitas tempat ia kuliah sekarang mengajak Jelita untuk mengikuti lomba karya tulis tingkat nasional. Dosen tersebut melihat potensi dalam diri Jelita dan yakin bahwa ia bisa bersaing dengan mahasiswa dari universitas lain. Ia tidak pernah membayangkan kesempatan seperti itu datang kepadanya. Lomba karya tulis tingkat nasional? Bagi Jelita, itu terasa seperti sebuah peluang besar yang bisa membawa dirinya keluar dari kehidupan monoton di kampungnya. Namun, keraguan sempat muncul. Apakah ia benar-benar siap? Ia tidak memiliki pengalaman dalam menulis karya ilmiah yang serius. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang mendorongnya untuk mencoba, untuk melihat sejauh mana ia bisa berkembang. Jelita menerima ajakan itu dengan penuh semangat. Jelita mulai mempersiapkan tulisannya. Setiap malam, setelah bekerja di toko kelontong, ia meluangkan waktu untuk membaca, menulis dan menyempurnakan karyanya. Alif, yang mengetahui bahwa Jelita sedang bekerja keras untuk lomba tersebut, memberikan dukungan penuh. Ia sering mengingatkan Jelita untuk tidak takut gagal, dan lebih penting lagi untuk menikmati setiap proses yang ada.
Akhirnya, hari yang ditunggu pun tiba. Jelita mengirimkan karya tulisnya, namun ia tetap merasa cemas. Ada banyak pesaing dari universitas besar yang ada di kota dan ia merasa dirinya tak lebih dari seorang pemula. Namun, yang diajarkan oleh Alif, ia tidak boleh terhenti hanya karena ketakutan. Mimpi tidak datang dengan mudah, tetapi usaha dan keberanian adalah kunci.
Beberapa minggu kemudian, hasil lomba diumumkan. Dengan tangan gemetar, Jelita membuka situs pengumuman. Matanya memindai kata-kata yang tertulis di layar, dan untuk sesaat, dunia terasa seperti berhenti. Nama Jelita terdaftar sebagai juara pertama lomba karya tulis tingkat nasional. Ia hampir tidak bisa mempercayainya. Air mata kebahagiaan mengalir di pipinya. Semua usaha, segala pengorbanan, dan ketekunan yang ia lakukan selama ini akhirnya membuahkan hasil. Ia merasa seolah-olah mimpi yang sempat terkubur kini terlahir kembali, lebih hidup dan nyata dari sebelumnya.
Alif yang mendengar kabar bahwa Jelita meraih juara pertama dalam lomba karya tulis itu pun datang menemuinya untuk memberikan selamat. "Aku tahu kamu bisa, Jelita. Mimpi itu bukan tentang tempat, tetapi tentang apa yang kamu lakukan dengan kesempatan yang ada," kata Alif dengan senyuman yang penuh makna.
Jelita tersenyum. "Terima kasih, Alif. Karena kamu aku mulai memahami bahwa mimpi itu bukan hanya tentang apa yang kita inginkan, tetapi tentang bagaimana kita menerima setiap kesempatan yang datang, bahkan ketika itu tak sesuai dengan harapan."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H