Kali itu beraliran deras. Kali Ciliwung demikian orang mengenalnya. Di sekelilingnya dipenuhi hutan-hutan bambu. Suasananya mencekam. Sunyi. Sepi. Bantaran kirinya sangat curam dan terjal, nyaris tak bisa dilalui manusia. Ada sampai ketinggian kurang lebih 20m. Bantaran kanan masih bisa dilalui meski tak kurang terjalnya. Bayangan peristiwa itu, kembali hadir dibenakku. Tak mungkin bisa kulupa. Berbagai perasaan berkecamuk jadi satu. Tragis. Sedih. Pilu. Perasan bersalah. Semua memenuhi pikiranku saat itu.
Aku masih ingat betul, saat itu malam natal, 24 Desember 2010. Kejadian berawal pada saat aku menghadiri pengajian, disalah satu rumah sahabatku di Lenteng Agung. Saat itu aku membawa serta anak bungsuku. Faiz namanya, usianya genap 6 tahun. Dia penyandang autis. Masih non verbal.
Ketika kakiku baru menginjak rumah temanku, aku yang terbiasa dengan pengamanan berlapis menjaga anakku, segera menutup semua akses berbahaya baginya. Hal ini dimungkinkan, mengingat semua teman sudah mafhum dengan kondisi anakku. Gerbangpun dikunci. Akses menuju tangga di tutup. Mengingat dia pernah beberapa kali kerap nyaris jatuh, dengan cara memanjat pembatas lantai atas rumah seorang temanku yang lain. Beberapa kali juga menyelinap keluar rumah saat aku lengah, nyaris belum paham sama sekali akan bahaya. Sesuatu yang selalu membuatku jantungan dibuatnya.
Singkat cerita semua akses berbahaya sudah kujaga. Sepanjang acarapun tak henti aku bolak balik melihatnya bermain di teras bersama beberapa anak dari temanku. Itupun belum bisa membuatku tenang dan duduk manis. Otak dan fikiranku terus tertuju pada anakku. Seperti radar yang terprogram. Aku mengingatnya bahkan hampir setiap waktu.
Acara dimulai bada ashar sampai jelang magrib. Tibalah sampai azan maghrib berkumandang. Semua bersiap untuk sholat maghrib. Seketika semua anak diteras masuk ke dalam rumah, tiba-tiba seorang anak temanku bicara pada ibunya, memberitahu kalau dia tidak melihat faiz lagi, dia berkata sempat melihat anakku memanjat tembok pagar depan. Pagar yang sesungguhnya sangat tinggi untuk ukuran anakku, bahkan tanpa ada pijakan untuk naik sedikitpun. Benar-benar diluar dugaanku.
Seketika kami semua berlarian keluar rumah mencarinya. Cemas, takut, mengingat hari sudah gelap, dan akupun tak tahu kemana harus mencari, mengingat lingkungan yang masih asing buatku. Cuma satu yang terbayang, ada kali beraliran deras dibelakang rumah temanku, ditambah lagi anakku sangat interest dengan air. Bayangan burukpun menguasaiku, membuat seluruh badanku lemas seketika. Karena ini bukan kali pertama aku kehilangannya. Belum lama berselang akupun kehilangannya, nyaris 1 jam untuk menemukannya. Saat itu, ia ditemukan didalam got dekat dengan galian gorong-gorong. Disamping kuburan yang sepi. Kurang lebih 1 km dr rumahku. Ya Allah..mengapa aku harus mengalaminya lagi...
Melihat aku yang lemas terjatuh, warga sekitar yang tengah bubaran sholat maghrib dimasjid terdekatpun berhamburan, mereka bertanya apa yang terjadi. Seketika berlarianlah mereka membantu mencari anakku, menuju kali tentunya, daerah yang sangat berbahaya untuk anak sekecil anakku.
Serasa tak bernyawa...kurasakan begitu lama waktu berjalan, menanti kabar anakku ditemukan. Bukan waktu yang sebentar. Begitu sulit menemukannya, mengingat hari sudah beranjak senja. Hanya doa yang terus terucap di sela derai airmata, berharap Allah menyelamatkan anakku. Tubuhku tak lagi mampu berpijak untuk ikut mencarinya. Aku benar-benar tersungkur dalam kepasrahan.
Alkisah...berceritalah orang yang menemukan dan menolong anakku. Ia bertutur, sebenarnya pertama kali anakku terlihat oleh warga berlari menuju bantaran kali. Orang yang melihat hanya menghalau anakku sambil lalu saja, menyuruh anakku pulang karena hari itu sudah maghrib. Ini terjadi, karena secara fisik anakku tak tampak seperti anak berkebutuhan khusus yang belum bisa bicara dan mengerti bahaya. Hingga ia luput diselamatkan lebih awal. Hingga 1 jam lebih setelahnya, anakku ditemukan ada diseberang kali 400m dari tempat pertama ia dilihat warga. Saat itu dikegelapan hutan bambu, ada yang mendengar jeritan suaranya. Mereka menduga dari arah kali. Hingga mereka berkesimpulan, anakku sempat terseret dan terbawa derasnya arus kali sejauh 400m.
Perkiraan ia terseret arus dimungkinkan mengingat ketika ditemukan ia ada di sebrang kali. Berpegangan dan menumpu pada batang-batang bambu yang terserak di kali, yang kebetulan pada pagi harinya memang ditebangi oleh warga sekitar. Ia berdiri dipotongan-potongan bambu terkurung diderasnya arus kali yang saat itu pasang. Mungkin jeritannya adalah jeritan minta tolong karena ia kebingungan. Atau mungkin juga karena kedinginan. Entahlah, tak ada yang tahu bagaimana ia bisa sampai berdiri disana. Tak ada yang tahu bagaimana hal menakjubkan itu bisa terjadi. Dari mulut mungilnya pun jelas takkan bisa kuperoleh keterangan apapun. Satu yang pasti jeritan adalah satu-satunya cara ia berkomunikasi.
Semua upaya pertolongan dikerahkan. Diperlukan ekstra keberanian untuk mengevakuasinya dari seberang, mengingat medan yang sulit, air kali yang pasang dan sangat deras. Semua alat dikerahkan warga sekitar, mulai dari bambu, tambang, senter, ban dalam, apapun yang bisa dipakai digunakan. Karena malam itu sangat gelap. Nyaris tak ada cahaya sedikitpun, menggunakan senter pun harus dari jarak yang dekat. Kalau anakku tak berteriak mungkin belum tentu terlihat oleh mereka.
Sedihnya... aku tak ada saat orang-orang berjibaku menolong anakku. Karena saat itu, aku berada beberapa puluh meter dari TKP, hanya mampu terduduk tak berdaya dalam kecemasan menanti kabar anakku. Entah hidup atau mati, hanya itu yang terbayang. Orang-orang ini seperti dikirim Allah, menjadi malaikat penolong bagi anakku. Orang-orang berhati mulia, bahkan mereka rela mengorbankan nyawanya. Aku berhutang budi pada mereka. Rasanya tak mampu aku membalas kebaikan mereka. Semoga Allah membalasnya dengan berlipat.
Ketika ditemukan anakku sudah basah kuyup, menggigil kedinginan dengan wajah pucat dan bibir membiru. Keadaan mengenaskan yang membuat nelangsa bagi siapapun yang melihatnya. Semua yang melihat bertakbir. Tak ada yang mampu melampaui kuasaNya. Begitu banyak malaikat yang menjaganya. Ditengah sisa kelelahan, kupeluk anakku, sambil tak henti kuucap syukur. Alhamdulillah ya Allah..aku masih bisa memeluknya...
Seminggu berlalu, kejadian ini masih menjadi bahan perbincangan warga kampung sekitar. Bahkan dalam beberapa akun facebook yang dimiliki warga sekitar, mereka menyebut peristiwa itu tragedi bambon. Bambon bermakna hutan bambu. Karena dulunya tempat itu memang dipenuhi hutan bambu. Mengapa mereka menyebutnya tragedi, karena sudah banyak ditemukan mayat ditempat anakku hanyut. Jarang ada yang bisa terselamatkan, karena disana ada pusaran air, yang membuat siapapun yang hanyut sulit untuk menyelamatkan diri, apalagi bagi anak kecil seusia anakku. Hanya soal waktu untuk bisa keadaannya lebih buruk.
Meski begitu, tak kurang banyak juga orang menyalahkanku. Untuk semua kelalaianku. Banyak yang tak habis pikir, mengapa bisa anakku terlepas disaat maghrib seperti itu. Sedikitpun aku tak pernah menyalahkan mereka karenanya. Karena apapun ceritanya, memang yang orang lihat adalah kelalaian. Tak mungkin aku bercerita pada banyak orang tentang apa yang terjadi padaku. Hanya menghabiskan energiku saja. Hingga ditengah kesedihan, kutelan saja semua kata-kata orang. Meski buatku ini menyakitkan dan tak adil.
Begitupun yang terjadi pada teman-teman pengajianku. Mereka semua tercekat, menangis, larut dalam keadaan yang sangat menguras emosi. Merekalah saksi hidup dari kisahku. Merekalah yang melihat langsung betapa aku sangat menjaga anakku sepanjang acara pengajian berlangsung. Meski tak urung aku tetap kecolongan juga. Mungkin Allah berkehendak lain. Ingin memberiku sejuta hikmah. Mungkin tidak hanya bagiku, tapi juga orang-orang disekitarku. Meski begitu tak kurang pula terimakasihku pada mereka, atas support dan doa yang selalu mereka beri untukku.
Kejadian ini menyadarkanku akan tipisnya batas hidup dan mati. Mudah saja bagi Allah mengambil anakku pada saat itu. Tapi rupanya takdir berkata lain. Allah masih sangat menyayangiku. Dia masih memberiku kesempatan memiliki anak bungsuku. InsyaAllah..hingga raga memisahkanku dengannya.
Inilah sekelumit kisahku. Cuma sepenggal. Kukatakan begitu, tentu bukan tanpa alasan. Karena diluar sana, pasti masih banyak orang tua yang sama denganku. Yang juga mempunyai anak spesial. Yang mungkin kisah hidupnya boleh jadi lebih berat dan dramatis dibanding yang aku alami.
Beruntungnya aku karena diberi anugerah memiliki anak surga. Anak yang kehadirannya selalu bisa mengingatkanku akan arti syukur. Membuatku kaya hati. Membuatku jauh lebih sabar. Alhamdulillah ya Allah...
.
.
Untuk semua bunda dimanapun kalian berada...
Hati-hatilah menjaga buah hati, terutama bila dia anak spesial...Mohonlah selalu penjagaanNya...Karena kita hanya manusia yang punya sejuta keterbatasan...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H