Denmark dan Korea Utara sepanjang tahun 2023 hingga sekarang tampaknya semakin bersiap dan mulai menetapkan betul arah kebijakan politik nasional serta luar negerinya dengan melakukan beberapa perubahan kepada konstitusi negara. Perubahan konstitusi yang dilakukan pada masing-masing kedua negara tersebut tidak lain sebagai respon atas tercetusnya perang antar beberapa negara di dunia yang tentunya ikut melibatkan mereka, mulai dari pernyataan dukungan kepada salah satu negara yang terlibat langsung dalam perang hingga pemberian bantuan kebutuhan hidup dan persenjataan.
Dalam Bound to Lead, The Paradox of American Power (2002) karya Joseph Nye, perang atau invasi militer merupakan contoh dari hard diplomacy dan menjadi pilihan terakhir yang dilakukan oleh suatu negara kepada negara lainnya untuk mencapai kepentingannya dalam budaya diplomasi. Namun, dalam praktiknya di era modern seperti sekarang, perang atau invasi tampaknya selalu menjadi pilihan yang ”mudah” karena timbulnya beberapa faktor eksternal yang salah satunya adalah keterlibatan dari beberapa negara yang terlalu jauh terhadap urgensi politik luar negeri antar kedua negara atau regional.
Dimulai dari Denmark, sejak bertugasnya Mette Frederiksen pada tahun 2019 sebagai perdana menteri, Denmark telah mengalami banyak pasang surut dan pergolakan politik nasional yang cukup banyak menuai kontroversi. Khususnya pada tahun ini, kebijakan yang sedang dirancang dan direvisi dari pemerintahan Mette kembali mengejutkan warga Denmark utamanya bagi para remaja perempuan yang mana mereka akan diwajibkan untuk mengikuti pelatihan militer selama sebelas bulan.
Kebijakan yang rencananya akan beroperasi pada tahun 2026 ini merupakan yang pertama kalinya di Denmark sejak berakhirnya perang dingin pada awal tahun 1990an. Kebijakan ini merupakan respons atas iklim keamanan di Eropa yang semakin memanas usai Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky menyatakan bahwa Ukraina ingin bergabung dengan NATO. Pernyataan ini tentunya menimbulkan protes langsung dari Vladimir Putin sebagai Presiden Rusia yang juga kembali menjabat tahun ini. Putin menilai bahwa Ukraina seharusnya tidak bergabung kedalam NATO seperti yang sebelumnya dilakukan oleh beberapa negara Eropa Tengah dan Timur lainnya karena posisi serta beberapa wilayah Ukraina sangat berdekatan dengan Rusia. Rusia tidak ingin pertahanan dan keamanannya ikut dicampuri oleh NATO.
Dilansir dari Al-Jazeera dan Esktrabladet, Mette bersama para anggota pemerintahannya berencana untuk meningkatkan anggaran pertahanan negara sebesar 40,5 miliar Denmark Krone ($5,9 miliar) selama lima tahun ke depan. Mette juga mengatakan bahwa biaya perbelanjaan untuk pertahanan akan meningkat naik sebanyak 2,4 persen dari produk domestik bruto (PDB) tahun ini. Pada tahun 2025, pemerintahan Mette juga berambisi untuk meningkatkan anggaran pertahanan Denmark di atas target NATO sebagai negara anggota.
Tentu, kebijakan ini tidak langsung mendapat sambutan hangat. Justru sebaliknya, warga Denmark menilai bahwa pemerintahan Mette sepanjang tahun 2022 hingga kini banyak menimbulkan masalah baru utamanya terkait meningkatnya ancaman luar negeri yang mengakibatkan anggaran negara yang seharusnya untuk peningkatan pembangunan dan pelayanan publik, justru harus menjadi sumber dana terpenting dan terbesar bagi pertahanan dan keamanan Denmark serta tambahan anggaran sebagai keanggotaan NATO.
Selain itu, meskipun Denmark merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kesadaran kesetaraan gender yang tinggi, sebagian besar warga Denmark khususnya para remajanya tidak mengingkan perang. Mereka ingin hidup berdampingan dengan negara lainnya secara damai dan memberi masukkan kepada pemerintah Denmark bahwa alangkah lebih baik tidak melangkah terlalu jauh pada urusan politik termasuk pertahanan keamanan negara lainnya. Hal ini tentunya sejalan dengan terancamnya posisi Denmark yang telah lama berhasil selama bertahun-tahun menduduki peringkat teratas sebagai negara yang memiliki tingkat kebahagiaan dan kedamaian tertinggi di dunia karena tingginya mutu pelayanan publik, kualitas hidup, serta politik dalam dan luar negerinya yang relatif stabil.
Disisi lain, warga Denmark juga telah berulang kali memperingati Mette agar pemerintahnya lebih fokus membela dan menyumbangkan dana yang lebih besar dalam memberi bantuan kemanusiaan kepada warga Gaza dan Rafah serta negara lainnya yang sedang mengalami krisis dan genosida akibat ambisi serta egoisme dari politik Barat. Hal itu dinilai jauh lebih manusiawi daripada membela Ukraina yang mana tidak banyak melakukan perlawanan bersama negara anggota NATO lainnya karena Putin bersama negara sekutu Rusia lainnya, terus melakukan ancaman dan memiliki kekuatan yang berpotensi besar dapat menghancurkan pertahanan dan keamanan Eropa utamanya Denmark sebagai salah satu negara Eropa yang memiliki ukuran wilayah relatif kecil dibandingkan negara anggota NATO lainnya.
Selanjutnya, pada situasi politik luar negeri Korea Utara. Tepat pada akhir September 2023, Korea Utara menyetujui dan mengesahkan amandemen konstitusi negara yang menjadikan kekuatan nuklir sebagai hukum dasar negara. Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, menyatakan dengan tegas dihadapan parlemen bahwa sangat penting untuk mempercepat modernisasi senjata nuklir dalam upaya mempertahankan keamanan negara dan menjaga keunggulan pencegahan ancaman militer dari luar negara secara strategis.
Korea Utara mengajukan tuntutan untuk pengakuan resmi internasional sebagai negara yang bersenjata nuklir dan menegur negara manapun yang menentang atau mempertanyakan pengubahan konstitusi ini. Pengubahan konstitusi ini disinyalir kuat sebagai respons atas situasi yang semakin memanas antara Korea Selatan dan Amerika Serikat yang bersama dengan Jepang memberlakukan latihan angkatan laut pada tahun 2023 lalu. Korea Utara menganggap bahwa ketiganya telah membentuk aliansi militer “Segi Tiga NATO” di wilayah Asia Timur. Keputusan dan kemarahan Korea Utara ini tentu meningkatkan ketegangan politik dan mengancam pertahanan dan keamanan Barat terutama Amerika Serikat serta beberapa negara di Asia Timur.
Sebelumnya, Korea Utara telah menerima gagasan denuklirisasi dalam beberapa pengaturan internasional, termasuk bersama mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, telah bersama menandatangi pernyataan usai pertemuan puncak pertama mereka pada tahun 2018. Namun, tahun ini Korea Utara mencantumkan klausal mengenai penggunaan senjata nuklir yang dapat digunakan secara preventif dalam konstitusinya serta statusnya yang disebut “tidak dapat diubah.” Keputusan ini tentu datang karena Korea Utara merasa Amerika Serikat terlalu dalam mencampuri politik Asia Timur dan terprovokatif oleh hubungan kerja sama yang terus meningkat diantara Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Jepang ditengah hubungannya dengan Korea Selatan yang semakin memanas.
Langkah ini tentu saja memicu keprihatinan besar Amerika Serikat dan para sekutunya, mereka menganggap bahwa Korea Utara seperti meningkatkan unjuk kekuatan militer negara itu sendiri dihadapan internasional. Penggunaan senjata nuklir yang lebih besar diketahui telah lama menakut-nakuti setiap negara karena dapat meluluh lantahkan suatu wilayah dan mengakibatkan banyaknya korban jiwa dalam jumlah yang besar. Sementara itu, para pejabat Tiongkok terus melakukan upaya diplomasi dan meminta agar seluruh pihak dapat menahan diri sembari menekankan pada Amerika Serikat untuk terus berupaya membentuk konsesi dalam proses pemajuan denuklirisasi.
Korea Utara juga telah melakukan upaya untuk memata-matai kegiatan diplomatik Tiongkok dengan melakukan peluncuran satelit yang mengintai pada kegiatan KTT Seoul yang baru-baru ini dilakukan untuk membahas denuklirisasi semenanjung Korea yang dihadiri Tiongkok, Korea Selatan, dan Jepang. Meskipun peluncuran satelit tersebut gagal, para pengamat politik dan keamanan yang berbasis di Washington berpendapat bahwa Korea Utara tampaknya menaruh curiga kepada Tiongkok dan mengatakan bahwa ada hubungan yang telah meregang diantara keduanya. Diketahui, selama ini Tiongkok merupakan negara mitra terbesar dalam perekonomian Korea Utara dan satu-satunya negara yang beraliansi dengan negara tersebut di wilayah Asia Timur karena menganut ideologi yang sama.
Hingga saat ini, Korea Utara terus melakukan beberapa manuver seperti melakukan banyak uji coba berbagai macam senjata dan yang terbaru, Korea Utara telah menembakkan rudal-rudal balistik ke laut Jepang hingga mengirim balon-balon yang berisi sampah hingga tinja ke Korea Selatan yang mengganggu aktivitas warga. Tindakan ini tentunya mendapatkan protes keras dari sejumlah pejabat Jepang dan Korea Selatan serta kutukan keras dari Amerika Serikat. Mereka menganggap bahwa manuver yang dilakukan Korea Utara telah melanggar resolusi keamanan internasional yang terlalu jauh.
Meski Korea Utara terus menerus mengabaikan kutukan dan kecaman dari sejumlah pejabat internasional dengan melakukan serangan serta uji coba persenjataan mereka utamanya ke arah Korea Selatan dan Jepang, Kepala Sekretaris Kabinet Jepang, Yoshimasa Hayashi mengatakan bahwa Jepang akan semakin memperkuat dan meningkatkan kerja sama dengan Amerika Serikat serta Korea Selatan dalam pengumpulan dan menganalisis berbagai informasi yang diperlukan untuk memantau situasi pertahanan dan keamanan wilayah Asia Timur. Selain itu, ketiga negara tersebut terus berupaya menyiapkan berbagai strategi guna mengantisipasi kemungkinan Korea Utara menggunakan senjata nuklir yang lebih besar usai pengesahan konstitusi baru di negara tersebut.
Dari perubahan konstitusi yang dilakukan oleh Denmark dan Korea Utara kini, dapat terlihat dengan jelas bahwa pertahanan dan keamanan telah memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap kestabilan politik baik dalam maupun luar negeri suatu negara. Disisi lain, keterlibatan beberapa negara terhadap politik luar negeri suatu negara telah lama menjadi faktor pemicu ketegangan dalam skala yang lebih besar dan meluas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H