Mohon tunggu...
Aulia
Aulia Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Andalas

Menulis untuk kesenangan dan berbagi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Transformasi Otonomi Pengangkatan Profesor di Indonesia

19 Oktober 2024   15:38 Diperbarui: 21 Oktober 2024   09:29 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Pengangkatan Profesor. (Sumber: KOMPAS/Supriyanto)

Transformasi Otonomi Pengangkatan Profesor di Indonesia: Tantangan dan Peluang bagi Perguruan Tinggi dalam Era Global

Perguruan tinggi di Indonesia kini diberikan otonomi yang lebih besar dalam mengelola karier dosen, termasuk pengangkatan guru besar atau profesor. 

Otonomi ini diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 44 Tahun 2024 tentang Profesi, Karier, dan Penghasilan Dosen, yang bertujuan meningkatkan kualitas perguruan tinggi dan menyesuaikan dengan perkembangan zaman. 

Peraturan ini menandai perubahan penting dalam pengelolaan jabatan akademik tertinggi di perguruan tinggi, yaitu jabatan profesor, yang kini lebih fleksibel dan terikat pada kebutuhan perguruan tinggi, tidak lagi bersifat permanen seumur hidup.


Perubahan Penting dalam Pengangkatan Profesor

Sebelumnya, gelar profesor sering dianggap sebagai gelar yang melekat pada dosen seumur hidup, terlepas dari perubahan jabatan atau perpindahan institusi. 

Namun, peraturan baru ini memperkenalkan konsep bahwa profesor merupakan jabatan akademik tertinggi yang hanya dapat dimiliki selama ada kebutuhan di perguruan tinggi tempat dosen bekerja. 

Ini berarti seorang profesor di satu perguruan tinggi tidak otomatis mempertahankan jabatan tersebut ketika pindah ke perguruan tinggi lain, terutama jika institusi baru memiliki standar yang berbeda.

Hal ini memungkinkan fleksibilitas yang lebih besar dalam karier dosen dan pengelolaan kebutuhan akademik perguruan tinggi. Setiap perguruan tinggi diberikan wewenang untuk menentukan kebutuhan jabatan akademik seperti asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan profesor sesuai dengan visi, misi, dan tujuan institusi. 

Namun, meski otonomi diberikan, perguruan tinggi tetap harus mematuhi Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) yang ditetapkan oleh pemerintah. 

Perguruan tinggi dapat menetapkan standar lebih tinggi dari yang ditetapkan NSPK, yang memberikan mereka kendali lebih besar dalam mempertahankan kualitas akademik.

Pemerintah memberikan waktu hingga Agustus 2025 bagi perguruan tinggi untuk mempelajari dan mengimplementasikan peraturan ini. Dalam masa transisi ini, penting bagi perguruan tinggi untuk menyiapkan infrastruktur dan kebijakan internal yang sesuai agar dapat beradaptasi dengan perubahan yang ada.

Fleksibilitas dalam Kriteria Publikasi dan Paten

Peraturan baru ini juga memberikan fleksibilitas dalam hal publikasi ilmiah dosen. Dosen akademik yang ingin mencapai jabatan profesor harus menghasilkan publikasi di jurnal bereputasi, terutama yang terindeks di basis data internasional seperti Scopus atau Web of Science. 

Di sisi lain, dosen yang bekerja di bidang seni dan vokasi memiliki kriteria yang berbeda, yang lebih menitikberatkan pada karya implementatif seperti penciptaan karya seni atau inovasi yang menghasilkan paten. 

Dengan demikian, kebijakan ini mencoba menyesuaikan tuntutan jabatan akademik dengan keahlian spesifik dosen dan bidang yang ditekuni.

Konteks Internasional: Perbandingan dengan Malaysia dan Singapura

Jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura, kebijakan otonomi perguruan tinggi dalam pengangkatan profesor yang diterapkan di Indonesia merupakan langkah yang positif dan sejalan dengan standar internasional. 

Di Malaysia, sistem ini telah diterapkan dengan baik di universitas-universitas terkemuka, terutama di Research University yang memiliki standar tinggi dalam pengangkatan dosen. 

Proses pengangkatan profesor di Malaysia didasarkan pada prestasi nyata dalam penelitian, produktivitas publikasi ilmiah, serta kontribusi pada bidang akademik di tingkat nasional dan internasional.

Begitu pula di Singapura, yang dikenal memiliki universitas kelas dunia seperti National University of Singapore (NUS). Proses pengangkatan profesor di Singapura sangat ketat dan selektif, berfokus pada kompetensi yang sangat tinggi. 

Dokpri
Dokpri

Dosen yang ingin mencapai jabatan profesor harus menunjukkan kontribusi besar dalam penelitian yang berdampak luas pada pengembangan ilmu pengetahuan. 

Sistem meritokrasi yang diterapkan di Singapura memungkinkan pengangkatan profesor berdasarkan prestasi dan kualitas, bukan hanya pada lama bekerja atau status jabatan semata.

Tantangan Ketimpangan Standar Antarperguruan Tinggi di Indonesia

Salah satu risiko dari penerapan otonomi pengangkatan profesor di Indonesia adalah potensi munculnya ketimpangan standar antarperguruan tinggi. 

Perguruan tinggi yang lebih unggul, terutama yang berstatus Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) atau berakreditasi internasional, mungkin akan menetapkan standar yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perguruan tinggi di tingkat menengah atau bawah. 

Hal ini dapat menyebabkan kesulitan mobilitas antarperguruan tinggi, terutama bagi dosen dari institusi dengan standar lebih rendah yang ingin pindah ke perguruan tinggi yang lebih unggul.

Dalam konteks ini, penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa perguruan tinggi di seluruh Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk meningkatkan kualitas mereka. 

Perguruan tinggi di daerah yang kurang berkembang membutuhkan dukungan tambahan, baik dalam bentuk pendanaan maupun bimbingan, untuk mencapai standar yang kompetitif di tingkat nasional dan internasional.

Dampak terhadap Keuangan Perguruan Tinggi

Kebijakan ini juga membawa dampak pada aspek keuangan perguruan tinggi, terutama terkait dengan tunjangan kehormatan bagi guru besar. Pemerintah akan mengatur kuota pengangkatan profesor di setiap perguruan tinggi, yang bertujuan untuk mengontrol beban keuangan yang timbul akibat pemberian tunjangan tersebut. 

Meskipun pengangkatan profesor menjadi lebih fleksibel dan terikat pada kebutuhan institusi, tunjangan kehormatan tetap diberikan sebagai penghargaan atas prestasi akademik dan kontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan.

Namun, dengan adanya kuota ini, perguruan tinggi harus lebih selektif dalam mengangkat dosen ke jabatan profesor, mempertimbangkan tidak hanya aspek keilmuan tetapi juga dampak keuangan bagi institusi. 

Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong efisiensi dan pengelolaan sumber daya yang lebih baik di perguruan tinggi, sambil tetap menjaga kualitas akademik.

Potensi Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi Indonesia

Secara keseluruhan, kebijakan baru ini memiliki potensi besar untuk meningkatkan mutu perguruan tinggi di Indonesia. Dengan memberikan otonomi lebih besar dalam pengelolaan karier dosen, perguruan tinggi dapat menyesuaikan pengangkatan profesor dengan kebutuhan dan visi mereka, sekaligus mendorong dosen untuk mencapai standar yang lebih tinggi dalam penelitian dan publikasi ilmiah.

Namun, untuk memastikan kebijakan ini berhasil, pemerintah perlu memberikan dukungan yang memadai kepada perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Dukungan ini bisa berupa peningkatan akses terhadap pendanaan penelitian, pelatihan bagi dosen dalam meningkatkan kompetensi penelitian, serta pembinaan yang berkelanjutan untuk mencapai standar internasional.

Selain itu, kolaborasi antara perguruan tinggi dengan industri dan lembaga riset internasional juga perlu ditingkatkan. Dengan demikian, dosen di Indonesia dapat lebih aktif dalam menghasilkan penelitian yang inovatif dan relevan dengan kebutuhan industri, serta berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan di tingkat global.

Penutup

Penerapan Permendikbudristek Nomor 44 Tahun 2024 tentang Profesi, Karier, dan Penghasilan Dosen menandai langkah penting dalam pengelolaan perguruan tinggi di Indonesia. Dengan otonomi yang lebih besar, perguruan tinggi memiliki kesempatan untuk meningkatkan kualitas mereka dan lebih kompetitif di kancah internasional. Namun, tantangan ketimpangan standar antarperguruan tinggi dan dampak keuangan yang perlu diantisipasi menunjukkan bahwa dukungan dari pemerintah dan pemangku kepentingan lain sangat penting agar kebijakan ini dapat berjalan dengan efektif dan adil di seluruh Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun