Dampak Psikologis dan Finansial
Pada awalnya, belanja memang bisa memberikan "hadiah" sementara. Ketika kamu membeli sesuatu, otak merilis dopamin, zat kimia yang membuatmu merasa senang. Namun, perasaan ini hanya sementara.
Setelah efek itu hilang, kecemasan finansial yang kamu rasakan sering kali kembali lebih buruk, apalagi jika belanja tersebut dilakukan secara impulsif tanpa mempertimbangkan keuangan yang ada.
Dampak finansial dari doom spending tidak bisa dianggap enteng. Misalnya, banyak orang yang menggunakan kartu kredit untuk membiayai kebiasaan belanja mereka, tanpa memperhatikan kemampuan untuk melunasi tagihan di kemudian hari.
Akibatnya, utang menumpuk, bunga bertambah, dan ini hanya memperparah kecemasan yang awalnya ingin dihilangkan.
Dampak jangka panjang dari doom spending tidak hanya berdampak pada kesehatan mental, tetapi juga kesejahteraan finansial. Sebuah laporan dari World Bank pada tahun 2022 menunjukkan bahwa sekitar 17% dari populasi kelas menengah di Indonesia mengalami kesulitan dalam mempertahankan stabilitas finansial setelah melakukan belanja berlebihan di masa pandemi.
Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga menunjukkan bahwa terjadi peningkatan signifikan dalam jumlah utang konsumen di Indonesia selama dua tahun terakhir. Utang kartu kredit, khususnya, meningkat sebesar 12% pada tahun 2022, dengan sebagian besar peminjam berada di kelompok usia di bawah 35 tahun.
Ini menunjukkan adanya ketergantungan yang tinggi pada kredit dalam memenuhi gaya hidup, yang jika tidak dikontrol dapat membawa masalah serius bagi stabilitas ekonomi individu.
Contoh Kasus
Salah satu contoh nyata dari doom spending bisa kita lihat pada kasus masyarakat di masa pandemi COVID-19. Ketika pembatasan sosial diberlakukan, banyak orang mengalami tekanan psikologis dan kecemasan terkait masa depan.
Laporan dari The Jakarta Post menyebutkan bahwa penjualan barang-barang seperti pakaian, peralatan elektronik, dan bahkan perlengkapan rumah tangga mengalami lonjakan, meski situasi ekonomi sedang lesu. Banyak dari pembelian ini dilakukan sebagai bentuk "hiburan" di tengah ketidakpastian.
Namun, setelah pandemi berakhir, banyak orang yang akhirnya merasa menyesal karena telah membeli barang-barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan. Mereka harus berhadapan dengan kenyataan bahwa kondisi keuangan mereka tidak sebaik yang dipikirkan, dan mereka terjebak dalam siklus utang yang sulit untuk diputus.