Mohon tunggu...
Aulia
Aulia Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Andalas

Menulis untuk kesenangan dan berbagi

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Goodbye Anies Baswedan, Lain Waktu Saja

30 Agustus 2024   11:42 Diperbarui: 30 Agustus 2024   11:43 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anies Baswedan telah menjadi sosok yang menonjol dalam politik Indonesia, terutama setelah masa kepemimpinannya di DKI Jakarta. Selama menjabat sebagai gubernur, Anies dikenal karena kebijakannya yang didasarkan pada kajian mendalam dan kepatuhan terhadap hukum, yang membuatnya sulit untuk dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu.


Langkah-langkah tegas seperti penghentian reklamasi Teluk Jakarta menunjukkan komitmen Anies untuk melindungi kepentingan publik, meskipun menghadapi tekanan besar dari berbagai pihak, termasuk pemerintah pusat.

Namun, kekalahan Anies dalam Pilpres 2024 dari Prabowo Subianto, yang didukung penuh oleh Presiden Jokowi, menandai titik balik dalam karier politiknya. Pasca kekalahan tersebut, tampak adanya upaya untuk menyingkirkan Anies dari panggung politik nasional. Bahkan, partai-partai yang sebelumnya mendukungnya di Pilpres, tidak ada satupun yang memberikan dukungan untuk pencalonannya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Upaya Partai Buruh untuk mengajukan Anies pun gagal karena kurangnya suara.

Dalam situasi ini, muncul harapan dari masyarakat Jakarta agar Anies tetap maju sebagai calon gubernur. Namun, kenyataan politik menunjukkan bahwa potensi dukungan sudah tidak memungkinkan. PDIP, yang sempat memberi harapan bagi Anies untuk maju di Jakarta, kemudian mengusulkan agar Anies mencalonkan diri di Jawa Barat.

Tawaran ini dianggap oleh banyak pihak, termasuk Anies sendiri, sebagai langkah yang kurang tepat, mengingat basis dukungan Anies yang kuat berada di Jakarta, bukan di Jawa Barat. Tawaran ini bahkan bisa dianggap sebagai sebuah "hiburan" yang tidak sesuai, seolah memperlakukan Anies seperti anak-anak yang diberi pilihan yang tidak diinginkan setelah pilihan utama dibatalkan.

Dalam menghadapi situasi yang penuh dengan ketidakpastian ini, keputusan Anies untuk tidak melanjutkan pencalonan di Jawa Barat tampak bijak. Menghindari potensi "prank" politik yang serupa dengan apa yang dialami Mahfud MD pada tahun 2019, ketika ia dipersiapkan untuk menjadi cawapres namun akhirnya yang dipilih adalah Ma'ruf Amin, menunjukkan kecerdasan politik Anies.

Istirahat sejenak dari dunia politik dan kembali ke dunia profesional mungkin menjadi pilihan terbaik untuk Anies saat ini. Dengan pengalaman dan reputasi internasional yang telah ia bangun, Anies memiliki peluang besar untuk memperluas pengaruhnya di kancah global, sekaligus mempersiapkan diri untuk peran yang mungkin lebih besar di masa depan.

Namun, jika kita melihat dari sisi ketokohan, pola pikir, dan kebijakan yang telah diambil oleh Anies, akan sangat merugikan rakyat Indonesia jika peran politiknya dihabisi oleh partai-partai politik. Anies dikenal karena kesederhanaannya, kebebasannya dari jerat korupsi, dan keteguhannya dalam menghadapi berbagai isu. Kepribadian dan integritasnya ini menjadikan Anies sebagai figur yang sulit dijatuhkan, meski di tengah tekanan politik yang intens.

Sangat disayangkan jika potensi besar seorang pemimpin seperti Anies diabaikan hanya karena kepentingan politik kekuasaan yang sempit. Terkesan bahwa partai-partai politik lebih mementingkan kepentingan jangka pendek daripada memanfaatkan potensi luar biasa dari seorang anak bangsa yang memiliki visi dan kemampuan untuk membawa perubahan positif bagi Indonesia.

Memang, dalam konteks Pilkada, partai yang berorientasi pada kekuasaan harus mempertimbangkan strategi yang kompleks. Mengingat Indonesia memiliki lebih dari 300 kepala daerah yang akan dipilih, termasuk gubernur, bupati, dan walikota, partai politik harus berhitung dengan cermat dalam menempatkan calon-calon mereka di berbagai daerah. Dalam hal ini,

Jakarta hanyalah salah satu dari sekian banyak daerah yang harus diperhatikan. Ini sangat berbeda dengan Pilpres, di mana hanya ada 2-5 pasangan calon yang bersaing, sehingga fokus partai dapat lebih terarah. Oleh karena itu, partai politik sering kali harus membuat keputusan yang pragmatis dan strategis dalam menentukan dukungan mereka di Pilkada, meskipun hal ini mungkin tampak mengecewakan bagi masyarakat yang mendukung tokoh tertentu seperti Anies.

Apa yang terjadi pada Anies sebenarnya juga terjadi di beberapa tempat lain di Indonesia. Sikap pragmatis partai-partai politik dalam meraih atau mempertahankan kekuasaan telah menjadi 'aliran utama' dalam perpolitikan Indonesia.

Seperti yang pernah disampaikan oleh Prabowo Subianto, berada di luar lingkaran kekuasaan itu sangat berat. Sebaliknya, berada di dalam lingkaran kekuasaan setidaknya memberikan rasa aman, menjaga bisnis tetap stabil, dan bahkan membuka peluang untuk diangkat menjadi 'pejabat' di lingkungan BUMN.

Pragmatisme ini mungkin efektif dari sudut pandang kekuasaan, namun sering kali tidak patut dan mengabaikan potensi besar individu yang mampu membawa perubahan positif.

Mengamati posisi Anies saat ini, ingatan saya kembali pada masa awal reformasi ketika B.J. Habibie, seorang tokoh yang cerdas dan sangat berpotensi membawa Indonesia ke arah yang lebih baik, memilih untuk tidak mengikuti kontestasi pemilihan presiden setelah laporan pertanggung jawabannya ditolak dalam sidang MPR.

Keputusan ini akhirnya membuka jalan bagi Abdurrahman Wahid untuk menjadi presiden. Meskipun ada perbedaan situasi, ada kemiripan dalam bagaimana tokoh-tokoh berkualitas seperti Habibie dan Anies tidak terpakai atau disingkirkan dari panggung politik, meskipun memiliki potensi besar untuk memajukan bangsa.

Meskipun demikian, Anies perlu merenungkan kembali apakah ia akan melanjutkan karier politiknya tanpa partai, hanya mengandalkan ketokohannya, atau bergabung dengan partai yang sudah ada.

Membentuk partai baru, seperti "Partai Perubahan," bisa saja menjadi pilihan, namun ini mungkin bukan langkah yang paling bijak. Mengingat jumlah partai yang sudah terlalu banyak di Indonesia, dengan beberapa di antaranya tampak ada hanya sekadar untuk memenuhi kuota partai, bergabung dengan partai yang platformnya paling dekat dengan visi dan nilai-nilai Anies mungkin lebih strategis. Ini akan memberikan Anies landasan yang kuat untuk terus berkontribusi dalam politik, tanpa menambah kerumitan dalam sistem yang sudah kompleks.

Anies Baswedan memiliki berbagai opsi untuk masa depannya, baik di dunia politik maupun profesional. Keputusan yang bijak dan tepat waktu akan menentukan seberapa besar pengaruhnya di masa depan, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Sebagai tokoh politik, akademisi, dan pengamat, kita harus melihat langkah-langkah Anies ini sebagai bagian dari dinamika politik Indonesia yang terus berkembang, sambil terus mengawasi bagaimana pengaruhnya dapat membawa perubahan positif bagi bangsa. Di tengah semua ini, jangan sampai potensi besar seorang Anies Baswedan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun