Pada beberapa bulan terakhir ini, Bea Cukai menahan barang impor dan mengenakan biaya tinggi yang memberatkan masyarakat.
Kebijakan ini dinilai tidak adil dan diskriminatif, terutama bagi pengusaha kecil dan menengah yang bergantung pada impor untuk menjalankan bisnis mereka.
Tekanan publik yang masif melalui media sosial mendorong Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) untuk meninjau kembali kebijakannya. DJBC akhirnya melakukan revisi kebijakan dan mempermudah proses impor, termasuk pengurangan biaya dan penyederhanaan prosedur, terutama untuk barang milik pribadi. Hal ini merupakan kemenangan bagi masyarakat yang telah menyuarakan kritik mereka melalui NoViralNoJustice.
UKT PTN
Kebijakan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di beberapa PTN pada tahun 2023 memicu gelombang protes di media sosial. Netizen dan anggota dewan menggunakan tagar NoViralNoJustice untuk mengkritik kebijakan yang dinilai memberatkan mahasiswa dan keluarga mereka.
Tekanan publik yang masif mendorong Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim untuk meninjau kembali kebijakan tersebut. Nadiem akhirnya mengumumkan penundaan kenaikan UKT dan berjanji untuk melibatkan lebih banyak pihak dalam proses pengambilan keputusan.
Dampak NoViralNoJustice
NoViralNoJustice bukan hanya sekadar fenomena viral di media sosial. Gerakan ini telah menunjukkan kekuatan kolektif masyarakat dalam mendorong perubahan kebijakan publik yang dianggap tidak adil dan tidak berpihak pada rakyat.
Kasus Bea Cukai dan UKT PTN menunjukkan bahwa NoViralNoJustice dapat menjadi alat yang efektif untuk memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Namun, penting untuk diingat bahwa gerakan ini harus dilakukan dengan bertanggung jawab dan konstruktif.
Fenomena NoViralNoJustice dan Kekuatan Media Sosial
Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa media sosial memiliki kekuatan besar dalam mendorong akuntabilitas dan responsivitas pemerintah. Masyarakat kini memiliki platform untuk menyuarakan pendapat dan kritik mereka terhadap kebijakan yang dianggap tidak adil. Keberhasilan NoViralNoJustice menunjukkan bahwa kesadaran publik akan hak-hak mereka semakin tinggi. Masyarakat tidak lagi diam ketika mereka merasa dirugikan oleh kebijakan pemerintah.
Namun, penggunaan hashtag #NoViralNoJustice juga memiliki tantangan. Hashtag ini dapat memicu polarisasi dan ujaran kebencian jika tidak digunakan dengan bijak. Penting untuk mendorong dialog konstruktif dan solusi yang positif dalam menyuarakan kritik terhadap kebijakan publik. Pemerintah pun perlu menunjukkan keterbukaan dan kesediaan untuk berdialog dengan masyarakat, serta mendengarkan aspirasi mereka. Hanya dengan kerjasama dan komunikasi yang terbuka, kebijakan publik yang adil dan berpihak pada rakyat dapat terwujud.
Tekanan publik yang masif melalui NoViralNoJustice mendorong pemerintah untuk meninjau kembali dan mengubah kebijakan yang dianggap tidak adil atau tidak berpihak pada rakyat. Contohnya, revisi kebijakan Bea Cukai dan penundaan kenaikan UKT PTN. Pemerintah didorong untuk lebih transparan dalam proses pembuatan dan implementasi kebijakan, menghindari misinformasi dan membangun kepercayaan publik.
Tuntutan NoViralNoJustice untuk penyelesaian kasus yang cepat dan adil memberikan tekanan besar kepada kepolisian. Hal ini dapat menjadi tantangan bagi mereka karena proses investigasi dan penyelesaian kasus membutuhkan waktu dan bukti yang kuat. Kepolisian didorong untuk lebih akuntabel dalam menjalankan tugasnya dan memberikan informasi yang jelas kepada publik tentang perkembangan kasus.