Selama bulan Ramadan, penghuni kos kami seringkali memilih untuk tidak memasak di rumah. Kami lebih suka membeli makanan dari luar, meskipun terkadang harus berjalan kaki cukup jauh. Salah satu tempat favorit kami adalah Warung Uni Uda, sebuah warung Padang yang terletak di daerah Pekan Selasa. Lokasinya sekitar satu kilometer dari tempat tinggal kami, dan untuk mencapainya, kami harus melewati kawasan pekuburan Puncak Sekuning yang luas dan, terutama pada malam hari, terasa menyeramkan karena kurangnya penerangan.
Terkadang, saya memilih untuk berjalan di tengah-tengah kuburan yang memiliki jalur setapak, atau bahkan mengambil jalan pintas melalui pekuburan itu sendiri, yang tentunya memberikan kesan horor tersendiri. Ada juga restoran Padang lain yang terletak di jalur utama menuju kampus Sekip, yang bisa diakses dengan cara yang hampir sama jika melewati jalan pintas, namun jika melalui jalan raya, jaraknya hampir satu setengah kilometer.
Perjalanan ini, meskipun terkadang menegangkan, menjadi bagian dari kenangan kami selama masa kos. Kebersamaan dan kehangatan yang kami rasakan saat berbuka puasa bersama, setelah perjalanan mencari makanan yang lezat, selalu menjadi momen yang dinantikan setiap hari.
Namun, di balik keseruan itu, terdapat kisah-kisah menarik yang menjadi pembicaraan kami. Seperti ketika kami terlambat pulang karena terjebak hujan deras, atau ketika salah satu dari kami kehilangan arah di tengah kegelapan kuburan yang mencekam. Meskipun kadang-kadang menegangkan, pengalaman-pengalaman ini memperkuat ikatan antar kami sebagai teman kos.
Tidak hanya itu, perjalanan ke Warung Uni Uda atau restoran Padang lainnya juga menjadi waktu yang tepat untuk berbagi cerita dan kisah-kisah lucu dari sepanjang hari. Kami tertawa bersama di atas makanan yang lezat, merasakan kehangatan persahabatan di tengah bulan suci Ramadan.
Mungkin bagi sebagian orang, perjalanan kami mungkin terasa aneh atau bahkan menakutkan. Tetapi bagi kami, itu adalah bagian tak terpisahkan dari pengalaman hidup kami di masa kos. Kami belajar untuk menghargai setiap momen, baik yang penuh dengan ketegangan maupun kegembiraan, karena itulah yang membuat masa kos kami menjadi lebih berwarna dan berkesan.
*****
Kadang, dalam perjalanan menunaikan ibadah puasa, tantangan muncul dari arah yang tidak terduga. Saat langit masih gelap dan semangat masih terasa lesu di waktu sahur, rasa malas kadang datang tak terduga. Menghadapi keadaan seperti itu, terutama saat harus berjalan kaki dalam keadaan mengantuk menuju warung makan, lalu kembali ke kost dengan perut kenyang, bisa menjadi sebuah ujian tersendiri.
Dalam upaya mencari solusi praktis untuk mengatasi tantangan itu, pikiran saya melayang ke arah yang tak terduga: mie instan. Tidak, bukan mie instan biasa yang hanya direbus dengan air panas dan dimakan begitu saja. Saya terpikir untuk menambahkan telur ke dalamnya, disertai dengan segelas teh manis dan campuran susu bubuk. Saya berharap kombinasi sederhana ini tidak hanya mampu mengenyangkan perut, tetapi juga memberikan energi yang cukup untuk menjalani ibadah puasa dan aktivitas sehari-hari.
Namun, harapan saya tidak selalu sesuai dengan kenyataan yang saya alami. Meskipun dalam dua hari pertama mie instan itu memberikan cukup energi dan kenyang, pada hari ketiga, tubuh saya memberikan peringatan keras. Saya merasa lemas, kepala terasa ringan, seolah-olah melayang di awan. Itu adalah titik balik ketika saya menyadari bahwa eksperimen pribadi dengan mie instan telah gagal.
Tidak sanggup lagi melanjutkan dengan menu yang sama untuk hari keempat, saya harus mengakui bahwa saya telah salah dalam mengevaluasi nilai nutrisi dan kesehatan dari makanan yang saya pilih. Pengalaman traumatis itu mengajarkan saya sebuah pelajaran penting tentang pentingnya nutrisi yang seimbang, terutama saat menjalankan ibadah puasa.