Pengantar
Tayangan  Sirekap KPU tidak menampilkan data rekapitulasi sejak kemarin sampai sekarang. Saya mencoba mengakses tadi malam jam 10 dan sekarang saya coba lagi pada jam 13.20 dan hasilnya masih tetap sama. Berita tersebut ternyata telah viral di beberapa platform medsos dan juga beberapa kanal di YouTube.
Ternyata saat ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengubah kebijakan tampilan data rekapitulasi pada situs Sirekap. Sejak tanggal 5 Maret 2024, KPU tidak lagi menampilkan grafik data perolehan suara Pilpres dan Pileg. Kini, mereka hanya menampilkan bukti otentik atau data dari TPS berupa foto formulir model C hasil plano.
Ketua Divisi Teknis KPU RI, Idham Holik, menjelaskan bahwa kebijakan ini diambil karena fungsi utama Sirekap adalah untuk publikasi foto dan formulir model C hasil plano, yang merupakan bukti otentik perolehan suara. Hal ini juga bertujuan untuk menghindari polemik dan prasangka publik terkait akurasi data yang ditampilkan.
Jadi, jika Anda mencoba mengakses data numerik perolehan suara sementara melalui Sirekap, informasi tersebut memang tidak akan tersedia. KPU kini fokus pada tampilan foto formulir model C1 hasil saja. Informasi ini telah menjadi topik yang banyak dibicarakan di media sosial dan YouTube, sebagaimana Anda sebutkan.
Tentu saja di tengah hiruk-pikuk pemilu dan kontrovesri yang sedang berlangsung, masyarakat Indonesia akan terkejut dan jengkel dengan keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menghentikan penayangan rekapitulasi suara melalui Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap).
Keputusan ini memicu kontroversi dan spekulasi yang semakin meningkat di kalangan masyarakat dan peserta pemilu, yang mengharapkan transparansi dan akurasi dalam proses demokrasi.
Demo menuntun Pemilu Curang akan mendapat tambahan bahan bakar, dan Hak Angket akan didorong semanik kuat untuk diadakan.
Kronologi Kontroversi
Kontroversi Sirekap sebenarnya telah muncul sejak tahap awal penanganan pada hari pelaksanaan pemilu, yakni 14 Februari 2024. Hal ini dipicu oleh ketidaksesuaian beberapa angka yang ditampilkan dengan Form C1 yang diunggah, bahkan terdapat angka yang melampaui batas maksimum hak pilih yang hanya berjumlah 300 suara.
Upaya penyelesaian yang dilakukan oleh KPU tidak berhasil meredam kontroversi ini. Pengamat data hasil rekapan menemukan pergerakan data yang tidak wajar, seolah-olah disesuaikan melalui algoritma tertentu. Ketika satu Tempat Pemungutan Suara (TPS) diperbaiki, kesalahan data berpindah secara acak ke TPS lain tanpa sepengetahuan operator KPU.
Imajinasikanlah seberapa rumitnya proses penginputan data di lebih dari 800.000 TPS di seluruh Indonesia. Operator KPU dan pihak partai mengalami kesulitan dan kelelahan yang tidak perlu akibat dari perilaku Sirekap KPU ini. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kontroversi tidak mereda, bahkan semakin meningkat, menciptakan ketegangan dan meningkatkan suhu demo, yang berpotensi membahayakan stabilitas dan keamanan Bangsa Indonesia.
Kontroversi ini semakin meruncing setelah KPU menghentikan penayangan data Sirekap. Alasannya adalah untuk menghindari kesalahpahaman publik terkait ketidaksesuaian data dengan hasil di TPS. Namun, keputusan ini malah menimbulkan kekhawatiran baru terkait kepercayaan publik terhadap proses pemilu.
Penghentian penayangan data ini menimbulkan banyak pertanyaan dari pengamat dan tim ahli IT karena Sirekap dibangun bersama mitra perguruan tinggi terkemuka di Indonesia, yaitu ITB. Permasalahan muncul karena Sirekap telah menayangkan hasil rekapitulasi sejak hari pertama rekapitulasi dari ratusan ribu TPS di Indonesia.
Pertanyaan netizen terkait penghentian tayangan grafik Sirekap juga menjadi perhatian, seolah-olah grafik tersebut tiba-tiba menghilang. Penghentian tayangan oleh KPU tidak hanya menimbulkan pertanyaan, tetapi juga kekhawatiran tentang dampaknya terhadap reputasi ITB sebagai mitra pengembang Sirekap.
Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati, mengkritik keputusan ini karena menghilangkan kemampuan publik untuk melihat gambaran utuh perolehan suara Pilpres dan Pileg 2024 yang sebelumnya dapat diakses melalui grafik Sirekap.
Pengembangan Sirekap oleh ITB yang dimulai pada tahun 2020 dengan dana sebesar Rp 3,5 miliar, memunculkan pertanyaan ketika grafik dan data digitalnya tiba-tiba dihilangkan. Hal ini menjadi sumber kontroversi yang semakin kompleks terkait transparansi dan keandalan proses pemilu di Indonesia.
Reaksi ITB Terhadap Sirekap
Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) adalah aplikasi yang dikembangkan oleh Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai alat rekapitulasi suara pemilu. Aplikasi ini seharusnya menjadi alat yang membantu KPU dalam menghitung dan menampilkan data rekapitulasi suara secara cepat dan akurat. Namun, aplikasi ini justru menuai kontroversi karena dianggap tidak akurat dan menimbulkan kecurigaan publik. Bahkan, KPU sendiri menghentikan penayangan rekapitulasi suara melalui Sirekap karena tingginya tingkat kekeliruan pembacaan oleh Sirekap. Namun, sikap ITB, yang merupakan kontraktor pengembang Sirekap, masih belum jelas. Mengapa ITB tidak bereaksi terhadap kontroversi yang diakibatkan Sirekap, ada apa di balik itu?
Ada beberapa kemungkinan alasan mengapa ITB tidak bereaksi terhadap kontroversi yang diakibatkan Sirekap. Pertama, mungkin Sirekap belum selesai dan terpaksa digunakan karena permintaan KPU, dan hal ini dapat mempengaruhi kinerja aplikasi tersebut.
Menurut Roy Suryo, seorang ahli IT, Sirekap mengalami perubahan yang bukan tidak mungkin terjadi kesalahan secara terstruktur, sistematis, dan masif dalam penghitungan suara.
Kedua, mungkin ITB berlepas diri dari Sirekap karena adanya risiko reputasi dan hukum yang dihadapi oleh ITB akibat kontroversi Sirekap. Roy Suryo juga mengatakan bahwa ITB dapat dianggap tidak transparan dan tidak profesional karena tidak memberikan penjelasan tentang proses dan hasil pengembangan aplikasi Sirekap.
Ketiga, mungkin ITB sedang menunggu hasil audit atau investigasi yang lebih menyeluruh terhadap aplikasi Sirekap sebelum memberikan komentar resmi. Hal ini mungkin terjadi karena ITB ingin memberikan penjelasan yang lebih komprehensif dan memadai untuk menjawab pertanyaan publik.
Sikap ITB yang belum memberikan komentar resmi terkait dengan Sirekap dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap ITB sebagai lembaga pendidikan dan penelitian yang terkemuka. ITB memiliki tanggung jawab untuk menjelaskan proses dan hasil pengembangan aplikasi Sirekap, yang merupakan alat rekapitulasi suara pemilu. Dengan tidak memberikan penjelasan, ITB dapat dianggap tidak transparan dan tidak profesional.
Sikap ITB yang belum memberikan komentar resmi terkait dengan Sirekap juga dapat memperburuk situasi kontroversi pemilu dan menimbulkan spekulasi dan gesekan di masyarakat. Masyarakat dapat meragukan akurasi dan integritas data rekapitulasi suara yang ditampilkan oleh Sirekap, yang dapat mempengaruhi hasil pemilu. Masyarakat juga dapat menuduh ITB berpihak atau berkonspirasi dengan salah satu kandidat atau pihak tertentu. Roy Suryo bahkan mengklaim bahwa Sirekap bukan di-hack atau diretas, melainkan dimatikan untuk memasukkan program colongan yang dapat menguntungkan salah satu pasangan calon3.
Sikap ITB yang belum memberikan komentar resmi terkait dengan Sirekap juga dapat mengganggu proses pemilu yang transparan dan adil. Sirekap seharusnya menjadi alat yang membantu KPU dalam menghitung dan menampilkan data rekapitulasi suara secara cepat dan akurat. Namun, dengan adanya kontroversi dan kecurigaan terhadap Sirekap, proses pemilu dapat terhambat atau bahkan terancam.
Sikap KPU dan ITB serta Dampak terhadap Kepercayaan Publik
Penghentian penayangan data rekapitulasi suara oleh KPU telah menimbulkan kekhawatiran serius terkait transparansi dan integritas pemilu. KawalPemilu.org, sebagai platform independen, menjadi salah satu sumber alternatif bagi masyarakat untuk mengakses hasil rekapitulasi. Namun, perbedaan validasi data antara sumber-sumber tersebut menambah kompleksitas dan potensi konflik di masyarakat.
Meskipun data yang ditampilkan oleh Sistem Rekapitulasi (Sirekap) mengandung kesalahan, banyak pihak tetap menganggapnya penting untuk memantau perkembangan rekapitulasi hasil pemilu.
Banyak yang melihat ini sebagai bentuk transparansi dan koreksi terhadap ketidakwajaran data yang diperoleh dari semua peserta pemilu. Meskipun mengandung kesalahan, keberadaan data tersebut masih dianggap penting.
Penghentian penayangan rekapitulasi justru meningkatkan pro dan kontra serta spekulasi. Data tersebut memungkinkan publik dan peserta pemilu untuk melakukan koreksi dan verifikasi, yang merupakan bagian penting dari proses demokrasi.
Penghentian penayangan data rekapitulasi oleh KPU telah menimbulkan berbagai reaksi. Di satu sisi, ada kekhawatiran tentang potensi kesalahan data yang dapat menyesatkan publik dan peserta pemilu.
Di sisi lain, penghentian ini dapat membatasi transparansi dan meningkatkan spekulasi serta pro dan kontra di masyarakat, serta menyiratkan bahwa kecurangan sedang terjadi secara sistemik.
Saat ini, masyarakat kehilangan pemantauan terhadap perkembangan rekapitulasi hasil pemilu. Beragam spekulasi muncul, karena penghentian tayangan dilakukan setelah kontroversi berlarut-larut. Jika penghentian ini dilakukan sejak awal, publik mungkin akan melihatnya sebagai langkah bijaksana sambil KPU memperbaiki sistem. Namun, sekarang, situasinya sudah rumit dan sulit diperbaiki.
KPU perlu mempertimbangkan kembali keputusan ini dan mencari solusi yang dapat memenuhi kebutuhan akan transparansi dan akurasi data. Mungkin dengan peningkatan teknologi atau proses verifikasi yang lebih ketat, data yang ditampilkan dapat menjadi lebih andal tanpa mengorbankan transparansi.
Keadaan semakin memanas karena setiap partai dan beberapa lembaga lain memiliki catatan data masing-masing. Dengan tingkat validasi data yang berbeda, gesekan akan semakin membesar jika tidak ada acuan data resmi dari KPU.
Masyarakat kehilangan panduan, dan kita menyaksikan perdebatan yang memanas antara pendukung Jokowi dan Prabowo dengan mereka yang menolak hasil pemilu yang dicurigai, yang ditayangkan di berbagai saluran televisi dan platform online.
Sikap ITB yang belum memberikan komentar resmi mengenai Sirekap dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap ITB sebagai lembaga pendidikan dan penelitian yang terkemuka. ITB memiliki tanggung jawab untuk menjelaskan proses dan hasil pengembangan aplikasi Sirekap, sebuah alat rekapitulasi suara dalam pemilu. Tanpa penjelasan yang memadai, ITB dapat dianggap kurang transparan dan tidak profesional.
Lebih lanjut, sikap ITB yang masih bungkam mengenai Sirekap juga berpotensi memperburuk kontroversi pemilu, menciptakan spekulasi, dan meningkatkan ketegangan di masyarakat. Keberagaman hasil yang ditampilkan oleh Sirekap bisa memicu keraguan akan akurasi dan integritas data, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi hasil pemilu.
Ada kemungkinan masyarakat menyalahkan ITB atas kecurigaan konspirasi atau dukungan terhadap pihak tertentu. Bahkan, Roy Suryo mengklaim bahwa Sirekap tidak di-hack atau diretas, melainkan dimatikan untuk memasukkan program kolusi yang menguntungkan salah satu pasangan calon.
Tidak memberikan komentar resmi terkait Sirekap juga dapat mengganggu proses pemilu yang transparan dan adil. Sebagai alat bantu KPU dalam menghitung dan menampilkan data rekapitulasi suara dengan cepat dan akurat, Sirekap seharusnya menjaga integritas pemilu.
Namun, keberadaan kontroversi dan kecurigaan terhadap Sirekap bisa menghambat atau bahkan mengancam proses pemilu secara keseluruhan. Pada kondisi sekarang saya secara pribadi, menganggap satu-satunya yang masih menampilkan hasil rekapitulasi adalah kawalpemilu.org. Angka yang ditampilkan sepertinya juga tidak jauh berbeda dari Sirekap sebelum tayangan dihentikan. Pasangan Prabowo-Gibran masih unggul di di sekitar angka 57% dan disusul oleh Anis-Muhaimin 25% dan Ganjar-Mahfud 17%.
Hak Angket sebagai Solusi
Di ruang yang berbeda di DPR, wacana hak angket sedang bergema dan diusulkan oleh tiga fraksi, meskipun hingga rapat paripurna pada tanggal 5 Maret yang lalu, belum mendapatkan kabar baik atau dibahas secara resmi.
Dengan berhentinya Sirekap dalam menayangkan hasil rekapitulasi, pentingnya pelaksanaan hak angket menjadi semakin terasa untuk menyelidiki dugaan kecurangan pemilu. Melalui hak angket, semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pemilu dapat dipanggil untuk memberikan keterangan.
Informasi dan data dari pihak yang digugat serta data dari penggugat bisa dikonfrontir untuk mencari kebenaran. Presiden, KPU, dan MK juga dapat dipanggil untuk memberikan keterangan dan pertanggungjawaban terkait dengan keputusan-keputusan yang menimbulkan kekhawatiran dan kontroversi di tengah masyarakat.
Meskipun usulan penggunaan hak angket terkait dugaan kecurangan pemilu telah disetujui oleh DPD, namun hak angket itu sendiri masih belum dibahas dan disetujui oleh DPR. Usulan hak angket diajukan oleh PKB, PKS, dan PDIP, dengan harapan dapat digunakan untuk menyelidiki dugaan kecurangan dan memastikan integritas proses pemilu.
Dukungan terhadap usulan hak angket datang dari berbagai pihak, termasuk dari ahli tata negara dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, yang melihatnya sebagai cara untuk menenangkan situasi dan mengalihkan protes jalanan ke jalur konstitusional.
Wakil Ketua DPR yang memimpin rapat paripurna pada tanggal 5 Maret 2024 kemarin harus mempertimbangkan secara bijaksana usulan hak angket ini, meskipun berbeda pandangan dengan tiga fraksi pengusul.
Jika usulan tersebut telah memenuhi semua ketentuan dan persyaratan yang berlaku, maka sebaiknya dilaksanakan saja untuk menjelaskan perselisihan dan kontroversi, serta meredam ketegangan di jalanan. Kepentingan negara harus diutamakan di atas segalanya.
Baca Juga:
1. Â Pemilu: Pelanggaran Etika Berjenjang
2. Sirekap yang Malang
3. KPU: Sirekap atau Si Mark-up
4. Orang Elektro Memahami Penyimpangan Data KPU
Penutup
Penghentian penayangan rekapitulasi suara melalui Sirekap oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menimbulkan kontroversi yang membutuhkan perhatian serius. Kehadiran sistem yang dapat dipercaya oleh semua pihak menjadi esensial untuk menjamin proses pemilu yang transparan dan adil. Oleh karena itu, usulan penggunaan hak angket oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mungkin merupakan langkah bijaksana untuk menenangkan situasi dan memastikan bahwa setiap suara dihitung dengan akurat.
Meskipun terdapat kekhawatiran tentang penghentian penayangan Sirekap, upaya sedang dilakukan untuk memastikan bahwa informasi mengenai pemilu tetap dapat diakses oleh publik. Hal ini penting untuk mengurangi spekulasi dan memastikan proses pemilu berlangsung secara transparan dan akuntabel.
Dalam menghadapi ketidakpastian ini, telah muncul usulan penggunaan hak angket oleh DPR sebagai sarana penyelidikan. Hak angket, yang merupakan hak konstitusional DPR, dapat digunakan untuk menyelidiki dugaan kecurangan serta menjamin integritas proses pemilu. Usulan ini mendapat dukungan luas dari berbagai pihak, termasuk ahli tata negara dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, yang melihatnya sebagai langkah yang tepat untuk menenangkan situasi serta memindahkan protes ke forum yang lebih konstitusional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H