Imajinasikanlah seberapa rumitnya proses penginputan data di lebih dari 800.000 TPS di seluruh Indonesia. Operator KPU dan pihak partai mengalami kesulitan dan kelelahan yang tidak perlu akibat dari perilaku Sirekap KPU ini. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kontroversi tidak mereda, bahkan semakin meningkat, menciptakan ketegangan dan meningkatkan suhu demo, yang berpotensi membahayakan stabilitas dan keamanan Bangsa Indonesia.
Kontroversi ini semakin meruncing setelah KPU menghentikan penayangan data Sirekap. Alasannya adalah untuk menghindari kesalahpahaman publik terkait ketidaksesuaian data dengan hasil di TPS. Namun, keputusan ini malah menimbulkan kekhawatiran baru terkait kepercayaan publik terhadap proses pemilu.
Penghentian penayangan data ini menimbulkan banyak pertanyaan dari pengamat dan tim ahli IT karena Sirekap dibangun bersama mitra perguruan tinggi terkemuka di Indonesia, yaitu ITB. Permasalahan muncul karena Sirekap telah menayangkan hasil rekapitulasi sejak hari pertama rekapitulasi dari ratusan ribu TPS di Indonesia.
Pertanyaan netizen terkait penghentian tayangan grafik Sirekap juga menjadi perhatian, seolah-olah grafik tersebut tiba-tiba menghilang. Penghentian tayangan oleh KPU tidak hanya menimbulkan pertanyaan, tetapi juga kekhawatiran tentang dampaknya terhadap reputasi ITB sebagai mitra pengembang Sirekap.
Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati, mengkritik keputusan ini karena menghilangkan kemampuan publik untuk melihat gambaran utuh perolehan suara Pilpres dan Pileg 2024 yang sebelumnya dapat diakses melalui grafik Sirekap.
Pengembangan Sirekap oleh ITB yang dimulai pada tahun 2020 dengan dana sebesar Rp 3,5 miliar, memunculkan pertanyaan ketika grafik dan data digitalnya tiba-tiba dihilangkan. Hal ini menjadi sumber kontroversi yang semakin kompleks terkait transparansi dan keandalan proses pemilu di Indonesia.
Reaksi ITB Terhadap Sirekap
Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) adalah aplikasi yang dikembangkan oleh Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai alat rekapitulasi suara pemilu. Aplikasi ini seharusnya menjadi alat yang membantu KPU dalam menghitung dan menampilkan data rekapitulasi suara secara cepat dan akurat. Namun, aplikasi ini justru menuai kontroversi karena dianggap tidak akurat dan menimbulkan kecurigaan publik. Bahkan, KPU sendiri menghentikan penayangan rekapitulasi suara melalui Sirekap karena tingginya tingkat kekeliruan pembacaan oleh Sirekap. Namun, sikap ITB, yang merupakan kontraktor pengembang Sirekap, masih belum jelas. Mengapa ITB tidak bereaksi terhadap kontroversi yang diakibatkan Sirekap, ada apa di balik itu?
Ada beberapa kemungkinan alasan mengapa ITB tidak bereaksi terhadap kontroversi yang diakibatkan Sirekap. Pertama, mungkin Sirekap belum selesai dan terpaksa digunakan karena permintaan KPU, dan hal ini dapat mempengaruhi kinerja aplikasi tersebut.
Menurut Roy Suryo, seorang ahli IT, Sirekap mengalami perubahan yang bukan tidak mungkin terjadi kesalahan secara terstruktur, sistematis, dan masif dalam penghitungan suara.
Kedua, mungkin ITB berlepas diri dari Sirekap karena adanya risiko reputasi dan hukum yang dihadapi oleh ITB akibat kontroversi Sirekap. Roy Suryo juga mengatakan bahwa ITB dapat dianggap tidak transparan dan tidak profesional karena tidak memberikan penjelasan tentang proses dan hasil pengembangan aplikasi Sirekap.