Pengantar
Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan segera menyelesaikan masa jabatannya sebagai presiden kedua periode pada tahun 2024. Namun, Jokowi tidak tinggal diam dan sudah menyiapkan rencana politiknya untuk memastikan kelangsungan proyek-proyek strategis yang telah ia luncurkan selama memimpin Indonesia.
Salah satu rencana politik Jokowi adalah mendukung calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang dianggap mampu melanjutkan visi dan misinya.
Namun, rencana politik Jokowi tidak berjalan mulus dan menghadapi berbagai tantangan dan hambatan. Salah satu tantangan terbesar adalah hubungan Jokowi dengan partai politik yang mengusungnya, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan ketua umumnya, Megawati Soekarnoputri. Hubungan Jokowi dengan PDIP dan Megawati dikabarkan mengalami keretakan akibat perbedaan pandangan dan kepentingan politik menjelang Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2024.
Dalam artikel ini, saya akan mengulas perjalanan panjang Jokowi dalam menyiapkan capres dan cawapres yang didukungnya dalam melanjutkan proyek strategis walaupun harus berpisah dengan PDIP dan Megawati. Juga akan diulas dinamika politik yang terjadi di sekitar Jokowi, termasuk peran lembaga-lembaga negara seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Jokowi dan Prabowo: Dari Lawan Menjadi Sekutu
Sebelum penetapan secara defenitif oleh KPU, salah satu capres yang disodorkan oleh Jokowi adalah Prabowo Subianto, mantan panglima komando strategis angkatan darat (pangkostrad) yang sekaligus menjabst sebagai ketua umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).
Uniknya, Prabowo adalah lawan politik Jokowi dalam dua kali Pilpres, yaitu pada tahun 2014 dan 2019. Namun, setelah Pilpres 2019, Prabowo dan Jokowi berdamai dan Prabowo bergabung dalam pemerintahan Jokowi sebagai menteri pertahanan.
Jokowi pernah menyatakan bahwa Prabowo memiliki peluang besar untuk menjadi presiden berikutnya dalam beberapa kesempatan. Salah satunya adalah saat menghadiri acara ulang tahun Partai Perindo pada 7 November 2022, di mana Jokowi bercanda bahwa setelah dia dua kali menang pilpres, kini giliran Prabowo yang akan menang. Sebelumnya Jokowi juga pernah menyatakan hal yang sama saat menghadiri acara Indo Defence Expo and Forum 2022 di JIExpo Kemayoran, Jakarta, pada 2 November 2022.
Beberapa pengamat politik menilai bahwa Jokowi mendukung Prabowo untuk mengamankan masa depan politiknya dan keluarganya setelah tidak menjabat lagi sebagai presiden.
Namun, Jokowi tidak hanya mendukung Prabowo sebagai capres, tetapi juga ingin memasangkan Prabowo dengan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai cawapres. Gibran adalah wali kota Solo yang terpilih pada tahun 2020, dan merupakan putra pertama Jokowi dari pernikahannya dengan Iriana.
Sepertinya Jokowi berharap bahwa, dengan menjadi Cawapres Prabowo, Gibran dapat melanjutkan proyek-proyek strategis yang telah ia luncurkan, seperti pembangunan infrastruktur, reformasi birokrasi, dan digitalisasi ekonomi.
Prabowo menyadari bahwa Jokowi masih memiliki popularitas dan pengaruh yang besar di kalangan rakyat. Dengan memasangkan diri dengan Gibran, Prabowo berharap dapat merangkul basis pemilih Jokowi yang loyal dan moderat. Prabowo juga ingin menunjukkan sikap rekonsiliasi dan kerjasama dengan Jokowi, yang merupakan lawan politiknya di dua pilpres sebelumnya.
Prabowo berpikir bahwa dengan mendapat restu dari Jokowi, ia akan lebih mudah menghadapi tantangan dan hambatan dalam pilpres, baik dari pihak lawan maupun dari aparat negara. Hitung-hitungan Prabowo ternyata tidak salah, karena berdasarkan lembaga Quick Count dan Real Count si Rekap KPU, memenangkan 02 sebagai peraih suara terbanyak dari tiga Paslon Capres dan Cawapres dengan angka signifikan, yaitu di angka sekitar 58%.
Namun, keputusan Prabowo ini menimbulkan risiko dan tantangan tersendiri.Prabowo juga harus menghadapi kemarahan dan kekecewaan Megawati dan PDIP, yang merasa dikhianati oleh Jokowi dan Gibran. Prabowo juga harus membuktikan bahwa Gibran bukan sekadar boneka politik Jokowi, tetapi memiliki kapasitas dan kompetensi yang memadai untuk menjadi cawapres.
Jokowi dan Megawati: Dari Guru Menjadi Lawan
Salah satu partai politik yang tidak setuju dengan rencana Jokowi untuk mendukung Prabowo dan Gibran adalah PDIP, partai politik yang mengusung Jokowi dalam dua kali Pilpres. PDIP dan ketua umumnya, Megawati Soekarnoputri, menentang rencana Jokowi dengan alasan bahwa Prabowo dan Gibran tidak layak menjadi capres-cawapres, karena Prabowo memiliki catatan buruk dalam hak asasi manusia, dan Gibran belum memiliki pengalaman dan prestasi yang memadai.
PDIP dan Megawati lebih memilih untuk mengusung kader-kader mereka sendiri sebagai capres-cawapres, yaitu Ganjar Pranowo dan memasangkan dengan Mahfud MD . Ganjar adalah gubernur Jawa Tengah yang terpilih dua kali, dan merupakan salah satu kader PDIP yang paling populer dan berprestasi. Mahfud adalah mantan ketua MK dan menteri koordinator bidang politik, hukum, dan keamanan, dan merupakan salah satu tokoh nasional yang dihormati dan disegani.
Hubungan Jokowi dengan PDIP dan Megawati dikabarkan mengalami keretakan akibat perbedaan pandangan dan kepentingan politik tersebut. Jokowi dan Megawati pernah berseteru dalam beberapa kesempatan, seperti saat Megawati menyindir Jokowi dan Prabowo dalam pidatonya, dan menuding adanya manipulasi hukum dalam proses gugatan di MK. Jokowi dan Megawati juga pernah berselisih dalam hal penunjukan menteri-menteri dari PDIP, seperti menteri dalam negeri dan menteri sosial.
Jokowi dan Mahkamah Konstitusi
Salah satu lembaga negara yang berperan penting dalam rencana politik Jokowi adalah MK, lembaga tertinggi negara yang memiliki fungsi mengubah dan menetapkan undang-undang dasar, serta melantik presiden dan wakil presiden. MK juga memiliki fungsi menguji konstitusionalitas undang-undang, termasuk undang-undang pemilu, dan menyelesaikan sengketa hasil pemilu.
Jokowi dikabarkan memiliki pengaruh atau campur tangan dalam proses seleksi dan pengambilan keputusan MK, melalui pernikahan adik perempuannya dengan ketua MK, Anwar Usman. Anwar menikah dengan Idayati, adik perempuan Jokowi, pada tahun 2022, sekitar dua tahun setelah istri Anwar meninggal dunia. Pernikahan tersebut dihadiri oleh sejumlah pejabat tinggi negara, termasuk wapres Ma'ruf Amin, menhan Prabowo Subianto, dan gubernur Jateng Ganjar Pranowo.
Jokowi diduga menggunakan pengaruhnya terhadap Anwar untuk mengabulkan gugatan yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru, seorang mahasiswa Universitas Negeri Sebelas Maret, pada September 2023. Almas mengajukan gugatan terhadap Pasal 169 huruf q UU Pemilu, yang mengatur batas usia minimal capres-cawapres 40 tahun. Almas menambahkan syarat bahwa calon presiden dan wakil presiden minimal 35 tahun, harus pernah menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah. Almas mengaku sebagai pengagum Gibran, dan ingin Gibran bisa mencalonkan diri sebagai cawapres Prabowo.
MK mengabulkan sebagian gugatan Almas pada 16 Oktober 2023, sehari sebelum batas akhir pendaftaran capres-cawapres. MK menyatakan bahwa batas usia minimal 40 tahun untuk capres-cawapres bertentangan dengan UUD 1945, namun seseorang berusia di bawah 40 tahun bisa mencalonkan diri jika pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu, termasuk pemilihan kepala daerah. Keputusan MK ini memungkinkan Gibran untuk mendaftar sebagai cawapres Prabowo.
Keputusan MK yang kontroversial itu menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk PDIP dan PKS, yang mewacanakan hak angket terhadap MK. Mereka menilai bahwa keputusan MK tidak memiliki dasar hukum yang kuat, dan diduga ada rekayasa politik di baliknya. Anwar Usman juga dituding melakukan pelanggaran etik beratbdalam pengambilan keputusan tersebut. Anwar diadili oleh Majelis Kehormatan MK (MKMK) dan dinyatakan bersalah karena melanggar beberapa prinsip kode etik dan perilaku hakim konstitusi, seperti prinsip ketakberpihakan, prinsip integritas, prinsip kecakapan dan kesetaraan, prinsip independensi, dan prinsip kepantasan dan kesopanan. Anwar kemudian diberhentikan dari jabatannya sebagai ketua MK pada 7 November 2023.Â
Selain MK, lembaga negara lain yang terlibat dalam rencana politik Jokowi adalah KPU dan Bawaslu, lembaga yang bertugas menyelenggarakan dan mengawasi pemilu. KPU dan Bawaslu juga dikabarkan memiliki kedekatan, ketergantungan, atau kepentingan dengan Jokowi, sehingga dianggap tidak netral, independen, profesional, atau jujur dalam menjalankan tugas dan fungsi mereka.
Jokowi dan Rekayasa Pemilihan Ketua KPU dan Bawaslu
Salah satu faktor yang mempengaruhi rencana politik Jokowi adalah pemilihan ketua KPU dan Bawaslu, lembaga yang bertugas menyelenggarakan dan mengawasi pemilu. Pemilihan ketua KPU dan Bawaslu dilakukan melalui proses seleksi yang melibatkan berbagai pihak, seperti Presiden RI, DPR, dan tim seleksi yang terdiri dari unsur pemerintah, akademisi, dan masyarakat sipil.
Jokowi diduga melakukan rekayasa pemilihan ketua KPU dan Bawaslu dengan cara mempengaruhi proses seleksi dan penunjukan tim seleksi, serta memilih orang-orang yang dekat atau loyal dengan dirinya sebagai ketua KPU dan Bawaslu. Tujuan Jokowi melakukan rekayasa ini adalah untuk memastikan bahwa KPU dan Bawaslu dapat mendukung pencalonan Prabowo dan Gibran sebagai capres-cawapres, serta menangani sengketa hasil pemilu yang mungkin terjadi.
Rekayasa pemilihan ketua KPU dan Bawaslu yang diduga dilakukan oleh Jokowi dapat dilihat dari beberapa indikasi, antara lain:
- Jokowi memilih Juri Ardiantoro sebagai ketua tim seleksi KPU dan Bawaslu. Juri adalah staf khusus presiden bidang hukum dan hak asasi manusia, serta mantan wakil direktur hukum dan advokasi tim kampanye nasional Jokowi-Ma'ruf Amin pada Pilpres 2019. Juri juga pernah menjadi anggota tim seleksi KPU dan Bawaslu periode 2017-2022. Juri dinilai memiliki konflik kepentingan dan tidak netral dalam menjalankan tugasnya sebagai ketua tim seleksi.
- Jokowi memilih Hasyim Asy'ari sebagai ketua KPU. Hasyim adalah komisioner KPU periode 2017-2022 yang pernah menjabat sebagai ketua divisi hukum dan pengawasan. Hasyim juga pernah menjadi anggota tim hukum Jokowi-JK pada Pilpres 2014. Hasyim dinilai memiliki kedekatan dan ketergantungan dengan Jokowi, serta tidak profesional dan jujur dalam menyelenggarakan pemilu. Hasyim pernah dijatuhi sanksi peringatan keras dan yang terakhir oleh DKPP karena melanggar kode etik dalam menerima pendaftaran Gibran sebagai cawapres Prabowo.
- Jokowi mengusulkan Ahmad Bagja sebagai anggota Bawaslu yang kemudian dipilih menjadi ketua. Dari lima pimpinan terlantik Rahmat Bagja yang merupakan lulusan Utrecht University, Belanda ini adalah pimpinan Bawaslu periode 2017-2022. Lalu, Puadi lulusan program Doktoral Ilmu Politik di Universitas Nasional sebelumnya adalah anggota Bawaslu DKI Jakarta sejak 2017.
Pelanggaran Kode Etik oleh KPU
KPU dan Bawaslu telah melanggar kode etik pedoman perilaku penyelenggara pemilu sebanyak empat kali. Pelanggaran pertama terjadi pada 2019, saat mereka tidak netral dalam menangani sengketa hasil pemilu presiden. Pelanggaran kedua terjadi pada 2020, saat mereka tidak profesional dalam menyusun peraturan KPU tentang pemilu serentak 2024. Pelanggaran ketiga terjadi pada 2021, saat mereka tidak jujur dalam menyampaikan laporan keuangan KPU. Pelanggaran keempat terjadi pada 2024, saat mereka tidak adil dalam menerima pendaftaran Gibran sebagai cawapres Prabowo.
Pelanggaran-pelanggaran oleh ketua KPU telah menyebabkan dijatuhkan sanksi oleh DKPP, yaitu peringatan keras dan yang terakhir. Sanksi ini berarti bahwa jika ketua KPU melanggar lagi maka mereka akan diberhentikan dari jabatannya. Sanksi ini juga berarti bahwa mereka harus memperbaiki kinerja dan kredibilitas mereka sebagai penyelenggara dan pengawas pemilu.
Dalam beberapa kasus, Bawaslu juga terlihat tidak tegas dan seolang melakukan pembiaran terhadap pelanggaran Pemilu dan kampanye. Hal ini telah menyebabkan gejolak dan protes dari pihak-pihak yang dirugikan seperti yang terjadi di bebrap daerah.
Keberlangsungan Legasi Jokowi
Salah satu alasan Jokowi menyiapkan Capres dan Cawapres yang didukungnya adalah untuk melanjutkan proyek-proyek strategis yang telah ia luncurkan selama menjadi Presiden. Proyek-proyek strategis tersebut meliputi pembangunan IKN, infrastruktur, reformasi birokrasi, dan digitalisasi ekonomi, yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan, kemajuan, dan kedaulatan bangsa.
Pembangunan infrastruktur adalah salah satu prioritas Jokowi dalam membangun Indonesia. Jokowi telah membangun berbagai infrastruktur, seperti jalan tol, jembatan, bandara, pelabuhan, kereta api, bendungan, dan listrik, yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di daerah-daerah terpencil dan tertinggal. Jokowi juga telah memulai proyek ibu kota baru di Kalimantan Timur, yang diharapkan dapat menjadi pusat pemerintahan, bisnis, dan inovasi yang modern dan berkelanjutan.
Reformasi birokrasi adalah salah satu agenda Jokowi dalam memperbaiki tata kelola pemerintahan. Jokowi telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas birokrasi, seperti penyederhanaan struktur organisasi, peningkatan kualitas SDM aparatur, penerapan sistem merit, pemberantasan korupsi, dan pelayanan publik yang cepat, mudah, dan murah. Jokowi juga telah mendorong partisipasi masyarakat dalam pengawasan dan pengambilan keputusan publik, melalui mekanisme seperti e-planning, e-budgeting, e-reporting, dan e-complaint.
Digitalisasi ekonomi adalah salah satu visi Jokowi dalam menghadapi era industri 4.0. Jokowi telah mengembangkan berbagai program dan kebijakan untuk mendukung transformasi digital di berbagai sektor, seperti pendidikan, kesehatan, pertanian, perdagangan, pariwisata, dan UMKM. Jokowi juga telah mencanangkan Indonesia sebagai negara digital terdepan di Asia Tenggara, dengan mendorong pertumbuhan ekosistem digital, seperti startup, unicorn, decacorn, talenta digital, dan infrastruktur digital.
Penutup
Cawe-cawe Jokowi dalam menyiapkan penerusnya sebagai Presiden Republik Indonesia sangatlah terasa, bahkan telah dilakukan jauh sebelum istilah "cawe-cawe" muncul beberapa bulan terakhir. Langkah-langkah ini mulai terlihat sejak pengajuan calon komisioner KPU dan Bawaslu untuk periode saat ini. Diperkirakan bahwa persiapan ini telah dimulai dengan cermat, mengikuti sebuah skenario yang telah dipersiapkan sebelumnya oleh Jokowi dan timnya. Langkah-langkah tersebut tampaknya telah diarahkan untuk memastikan bahwa mereka memenuhi semua persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-undang Negara walaupun menyebabkan pro dan kontra di tengah para pakar politik dan rakyat. Selain itu, keterlibatan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam proses ini juga merupakan bagian dari keseluruhan rencana yang telah dipersiapkan dengan cermat oleh pihak terkait. Langkah-langkah ini menegaskan komitmen Jokowi untuk menyiapkan penerusnya secara matang dan sesuai dengan mekanisme yang berlaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H