Pengantar
Perubahan iklim global adalah salah satu isu penting yang dihadapi oleh dunia saat ini. Perubahan iklim global disebabkan oleh peningkatan emisi gas rumah kaca akibat aktivitas manusia, yang menyebabkan kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi dan perubahan pola cuaca.
Perubahan iklim global memiliki dampak negatif bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, seperti peningkatan bencana alam, kenaikan permukaan laut, penurunan keanekaragaman hayati, penyebaran penyakit, dan konflik sosial-ekonomi.
Untuk mengatasi perubahan iklim global, diperlukan upaya bersama dari seluruh negara dan masyarakat dunia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Salah satu cara untuk mendukung upaya tersebut adalah dengan mencari dan memanfaatkan sumber dana untuk program penanggulangan perubahan iklim, baik dari dalam maupun luar negeri.
Dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan keterampilan tentang sumber, efek, dan sumber dana untuk program penanggulangan perubahan iklim global, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Andalas (Unand) menyelenggarakan sebuah acara yang sangat menarik dan bermanfaat, yaitu internasional sharing sessions dengan topik climatic change and opportunities for international grant. Acara ini diselenggarakan pada hari 21 Februari 2024, melalui tatap muka.
Prof. Fredolin Tangang
Acara ini menghadirkan seorang narasumber yang sangat kompeten dan berpengalaman di bidang perubahan iklim, yaitu Prof. Fredolin Tangang. Beliau adalah seorang profesor klimatologi dan oseanografi di Departemen Ilmu Bumi dan Lingkungan yang baru saja pensiun satu tahun yang lalu dari Fakultas Sains dan Teknologi, Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM).
Beliau juga merupakan anggota Akademi Sains Malaysia dan pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Kelompok Kerja 1 Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) PBB. Beliau telah menyelesaikan lebih dari 30 proyek penelitian dan menerbitkan lebih dari 100 makalah ilmiah di jurnal internasional.
Dalam sharing sessions ini, Prof. Fredolin Tangang membagikan pengetahuan dan pengalamannya tentang dampak perubahan iklim di kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Malaysia. Beliau juga memberikan tips dan saran tentang peluang proposal penelitian yang berkualitas dan memenuhi kriteria untuk mendapatkan hibah internasional di bidang perubahan iklim.
Beberapa hibah internasional yang ada antara lain adalah Adaptation Fund Climate Innovation Accelerator (AFCIA), ClimateWorks Foundation, dan UNDP-GEF Small Grant Program.
Peserta dan Tempat Acara
Peserta acara adalah para dosen dan mahasiswa yang berkepentingan dengan isu perubahan iklim. Peserta luring mengikuti acara ini secara tatap muka di salah satu ruang di lantai dua gedung LPPM Unand.
Ruangan ini dilengkapi dengan peralatan multimedia yang memungkinkan peserta untuk melihat dan mendengar presentasi dari Prof. Fredolin Tangang dengan jelas. Â Ruangan ini cukup luas dan nyaman dan ada meja bundar yang cukup panjang. Karena banyak peserta yang hadir dan keterbatasan kapasitas meja, maka sebagian mahasiswa duduk di kursi tambahan.
Acara berlangsung selama dua jam lebih, dari pukul 9:30.00 hingga 12.00 WIB. Acara ini dibuka oleh Ketua LPPM Unand, Prof. Marzuki. Acara ini kemudian dilanjutkan dengan presentasi dari Prof. Fredolin Tangang, dan diakhiri dengan sesi tanya jawab dari peserta. Acara berlangsung secara atraktif dan diselingi humor sehingga semua peserta terjaga terus selama kegiatan berlangsung.
Beberapa isu yang menjadi topik dalam sesi ini:
Emisi gas Rumah Kaca (GHG)
Menurut data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), emisi gas rumah kaca Indonesia pada tahun 2019 mencapai 2,19 gigaton CO2e (karbon dioksida setara), yang terdiri dari 1,32 gigaton CO2e dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan, 0,45 gigaton CO2e dari sektor energi, 0,23 gigaton CO2e dari sektor pertanian, 0,11 gigaton CO2e dari sektor limbah, dan 0,08 gigaton CO2e dari sektor proses industri dan penggunaan produk. Indonesia berada di peringkat keempat sebagai negara penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, setelah China, Amerika Serikat, dan India.
Komitmen Indonesia
Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca pada tahun 2030 sebesar 29 persen dengan upaya sendiri, dan 41 persen dengan bantuan internasional, dari skenario bisnis seperti biasa. Untuk mencapai target tersebut, pemerintah telah merencanakan dan mengimplementasikan beberapa program penanggulangan emisi gas rumah kaca, antara lain:
Pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT), seperti tenaga surya, angin, air, biomassa, dan biofuel, yang tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca. Pemerintah menargetkan bauran EBT mencapai 23 persen dari total konsumsi energi primer pada tahun 2025.
Efisiensi energi, yaitu penggunaan energi yang optimal dan hemat, tanpa mengurangi kualitas dan kuantitas pelayanan. Pemerintah menargetkan penghematan energi sebesar 17 persen dari total konsumsi energi primer pada tahun 2025.
Low carbon fuel, yaitu bahan bakar yang memiliki kandungan karbon rendah, seperti biodiesel, bioetanol, dan biogas, yang dapat menggantikan bahan bakar fosil. Pemerintah menargetkan penggunaan biodiesel 30 persen (B30) pada tahun 2020, dan biodiesel 100 persen (B100) pada tahun 2025.
Clean coal technology, yaitu teknologi yang dapat mengurangi emisi gas rumah kaca dari pembangkit listrik tenaga batu bara, seperti gasifikasi batu bara, penangkapan dan penyimpanan karbon, dan pembakaran bersih. Pemerintah menargetkan penggunaan clean coal technology pada 80 persen pembangkit listrik tenaga batu bara pada tahun 2025.
Pengendalian kebakaran hutan dan lahan, yaitu upaya untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan dan lahan, yang merupakan sumber emisi gas rumah kaca terbesar di Indonesia. Pemerintah telah berhasil menurunkan luas kebakaran hutan dan lahan sebesar 82 persen pada tahun 2020, dibandingkan dengan tahun 2019.
Rehabilitasi hutan dan lahan, yaitu upaya untuk memulihkan fungsi dan kualitas hutan dan lahan yang rusak atau terdegradasi, yang dapat menyerap dan menyimpan karbon. Pemerintah menargetkan rehabilitasi hutan dan lahan seluas 14,4 juta hektare pada tahun 2030.
Perdagangan Karbon
Nilai ekonomi karbon, yaitu kebijakan yang memberikan insentif atau disincentif ekonomi terkait dengan emisi gas rumah kaca, seperti pajak karbon, perdagangan emisi, atau pembayaran jasa lingkungan. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.
Tanggapan terhadap Presentasi Prof. Fredolin Tangang
Setelah mendengar paparan Prof. Fredolin Tangang yang berasal dari Sabah ini, saya mendapat wawasan tambahan, sebenarnya teknik elektro sangat dekat dengan kajian perubahan iklim.Â
Di bidang kajian saya misalnya, teknik tegangan tinggi merupakan bagian dari penyaluran energi listrik dalam skala besar dan juga kajian terkai dengan awan dan badai petir. Aktifitas petir juga tidak terlepas dari perubahan iklim dan suhu bumi serta pergerakan tanah.
Kegiatan yang membahas tentang hubungan antara teknik elektro dan perubahan iklim Sebenarnya sangat erat, menarik dan bisa membuka wawasan baru. Selama ini, banyak orang yang menganggap bahwa perubahan iklim adalah isu yang jauh dari bidang keilmuan mereka, termasuk teknik elektro. Namun, kenyataannya tidak demikian.
Paparan Prof. Fredolin Tangang menunjukkan bahwa teknik elektro memiliki hubungan yang erat dengan perubahan iklim. Salah satu contohnya adalah dalam pembangunan saluran transmisi tegangan tinggi (SUTT) untuk penyaluran energi listrik dalam skala besar.
Pembangunan SUTT secara masif, terutama di wilayah hutan belantara, dapat menimbulkan beberapa dampak terhadap perubahan iklim, di antaranya:
1. Deforestasi
Pembangunan SUTT memerlukan akses yang memadai untuk pembangunan menara transmisi. Hal ini sering kali menyebabkan pembukaan hutan, baik untuk pembangunan jalan maupun untuk mendirikan menara transmisi. Deforestasi dapat mengakibatkan berbagai dampak negatif, seperti deforestasi menyebabkan hilangnya hutan, sehingga emisi karbon di atmosfer akan meningkat.Selanjutnya deforestasi bisa menyebabkan perubahan iklim mikro, seperti peningkatan suhu dan perubahan pola hujan. Yang terakhir bisa juga menyebabkan hilangnya habitat dan penurunan keanekaragaman hayati.
2. Fragmentasi Habitat
Pembangunan SUTT dapat menyebabkan fragmentasi habitat, yaitu terpecahnya habitat alami menjadi beberapa bagian yang lebih kecil. Fragmentasi habitat dapat berakibat fatal bagi spesies flora dan fauna, di antaranya menyebabkan penurunan populasi spesies karena terpisahnya habitat dan sumber makanan, serta meningkatkan risiko kepunahan spesies karena populasi yang terfragmentasi lebih rentan terhadap penyakit, predator, dan perubahan lingkungan.
3. Gangguan Aliran Air
Pembangunan SUTT dapat mengganggu aliran air di suatu wilayah, terutama di daerah aliran sungai (DAS). Hal ini dapat menyebabkan banjir dan kekeringan di daerah hulu DAS.
Saya juga mengkaji energi listrik yang nota bene bersumber dari alam seperti PLTA. PLTM dan PLTMH yang sumber utama penggeraknya adalah air. Jika hutan daerah tangkapan air tidak terjaga maka, volume air akan menurun drastis dan menyebabkan volume air bisa tidak mencukupi untuk memutar turbin.
Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) merupakan salah satu sumber energi terbarukan yang banyak diandalkan di Indonesia. Potensi PLTA di Indonesia sangat besar, mencapai 75 GW, dengan 45 GW di antaranya memiliki potensi ekonomi. Namun, keberadaan PLTA sangat bergantung pada kondisi hutan di daerah tangkapan air (DTA). Kerusakan hutan di DTA dapat mengakibatkan berbagai dampak negatif terhadap kinerja PLTA, di antaranya:
1. Penurunan Volume Air
Hutan memiliki peran penting dalam mengatur tata air. Akar pohon dan vegetasi hutan membantu menyerap air hujan dan memperlambat aliran air, sehingga air tertahan di dalam tanah dan dialirkan secara perlahan ke sungai. Kerusakan hutan, seperti penebangan liar dan alih fungsi hutan, dapat menyebabkan hilangnya vegetasi dan berkurangnya daya serap tanah. Hal ini mengakibatkan air hujan mengalir lebih cepat ke sungai dan menyebabkan erosi tanah.
Akibatnya, volume air di sungai akan menurun drastis, terutama pada musim kemarau. Hal ini dapat menyebabkan PLTA tidak memiliki cukup air untuk memutar turbin dan menghasilkan listrik. Contohnya, PLTA Maninjau di Sumatra Barat pernah melakukan pengurangan operasi pembangkit pada tahun 2023 karena volume air waduk menurun drastis akibat musim kemarau panjang.
2. Pendangkalan Waduk
Sedimentasi atau pendangkalan waduk merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi PLTA. Erosi tanah di DTA akibat kerusakan hutan menyebabkan lumpur dan pasir terbawa ke sungai dan akhirnya mengendap di waduk. Pendangkalan waduk dapat mengurangi volume tampungan air dan mengganggu operasi PLTA.
PLTA Koto Panjang di Sumatra Barat juga mengalami masalah pendangkalan waduk. Pada tahun 2022, waduk PLTA Koto Panjang telah kehilangan sekitar 20% dari kapasitasnya akibat sedimentasi. Hal ini menyebabkan penurunan kapasitas pembangkit listrik PLTA Koto Panjang.
3. Pencemaran Air
Kerusakan hutan di DTA dapat menyebabkan pencemaran air sungai. Aktivitas manusia di kawasan hutan, seperti pertambangan dan pertanian, dapat menghasilkan limbah yang mencemari air sungai. Pencemaran air dapat merusak turbin dan peralatan PLTA lainnya, serta menurunkan kualitas air yang dihasilkan PLTA.
4. Gangguan Ekosistem
Hutan di DTA merupakan habitat bagi berbagai flora dan fauna. Kerusakan hutan dapat mengganggu keseimbangan ekosistem dan membahayakan spesies flora dan fauna di kawasan tersebut. Hilangnya habitat dan sumber makanan dapat menyebabkan penurunan populasi hewan dan tumbuhan, yang pada akhirnya dapat mengganggu operasi PLTA.
Dampak Perubahan Iklim bagi Kota Padang
Selama dua minggu terakhir, warga Padang telah merasakan dampak dari cuaca yang lebih panas dan gerah dari biasanya. Angin kencang yang berlangsung selama lebih dari tiga hari telah menjadi salah satu penyebab utama menurunnya tingkat kelembaban udara, sehingga suhu udara terasa lebih tinggi dari biasanya. Fenomena ini memunculkan pertanyaan yang wajar: apakah cuaca panas ini merupakan anomali sementara atau sudah menjadi bagian dari dampak yang lebih besar, yaitu perubahan iklim?
Fenomena ini tidak hanya menjadi perhatian lokal, tetapi juga mencetuskan pertanyaan apakah cuaca panas ini merupakan anomali sementara atau bagian dari dampak perubahan iklim yang lebih besar. Untuk memahami lebih lanjut, mari kita tinjau beberapa faktor yang dapat berkontribusi terhadap cuaca panas di Padang:
- Angin Kencang: Angin kencang merupakan salah satu faktor utama yang dapat membawa udara panas dari luar daerah ke wilayah Padang. Ketika angin berhembus dengan kecepatan tinggi, udara panas dari daerah lain dapat dengan mudah terbawa dan menyebabkan peningkatan suhu di Padang. Beberapa pohon tumbang akibat angin kencan tersebut dan listrik ke Unand beberapa kali mengalami gangguan.
- Kelembaban Udara Rendah: Rendahnya tingkat kelembaban udara juga turut berperan dalam membuat tubuh terasa lebih panas. Saat kelembaban udara rendah, proses penguapan keringat dari kulit menjadi kurang efisien, sehingga tubuh sulit untuk menjaga suhu normalnya.
- Fenomena El Nino: El Nino, yang merupakan sebuah pola iklim alami, juga dapat menjadi pemicu cuaca panas dan kering di Indonesia. Selama periode El Nino, suhu permukaan laut di Samudera Pasifik bagian timur meningkat, yang kemudian berdampak pada pola angin dan curah hujan di berbagai wilayah, termasuk Padang.
- Perubahan Iklim: Pemanasan global akibat aktivitas manusia telah meningkatkan kecenderungan terjadinya pola cuaca ekstrem di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, termasuk Padang, perubahan iklim dapat menyebabkan terjadinya gelombang panas yang lebih sering dan intens.
Dampak Cuaca Panas
Adanya cuaca panas tersebut tidak hanya berdampak pada kenyamanan sehari-hari, namun juga dapat menyebabkan berbagai masalah, seperti:
Ketidaknyamanan: Suhu udara yang tinggi dapat membuat orang merasa tidak nyaman dan sulit beraktivitas dengan optimal.
Dehidrasi: Cuaca panas dapat meningkatkan risiko dehidrasi jika seseorang tidak cukup mengonsumsi air putih, yang dapat mengganggu keseimbangan cairan tubuh.
Gangguan Kesehatan: Cuaca panas dapat memperburuk kondisi kesehatan tertentu, terutama bagi mereka yang memiliki penyakit jantung, pernapasan, atau kondisi medis lainnya.
Kebakaran Hutan: Suhu udara yang tinggi dan kondisi kering dapat meningkatkan risiko kebakaran hutan, yang dapat berdampak serius pada lingkungan dan kesehatan masyarakat setempat.
Penutup
Respon Positif Terhadap Acara Sharing Sessions tentang Perubahan Iklim
Acara sharing sessions mengenai perubahan iklim ini berhasil mendapat respons yang sangat positif dari peserta yang hadir. Mereka merasa sangat terinspirasi dan termotivasi oleh informasi yang disampaikan dalam acara ini. Dalam sesi tersebut, peserta mendapatkan wawasan baru yang sangat berguna terkait perubahan iklim dan juga peluang hibah internasional.
Tidak hanya itu, peserta juga menyampaikan harapannya untuk dapat menerapkan apa yang mereka pelajari dari Prof. Fredolin Tangang, salah satu narasumber dalam acara ini, dalam penelitian dan pengabdian mereka di masa depan. Mereka juga menyampaikan rasa terima kasih kepada LPPM Unand yang telah menyelenggarakan acara ini dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk berpartisipasi. Tak heran, harapan pun terucap bahwa semoga akan ada acara serupa lagi di masa mendatang.
Kontribusi Unand dalam Menghadapi Tantangan Perubahan Iklim
Acara ini juga merupakan salah satu bentuk kepedulian Unand dalam menghadapi isu perubahan iklim global yang menjadi tantangan bersama bagi seluruh bangsa dan dunia. Sebagai salah satu perguruan tinggi terkemuka di kawasan Asia Tenggara, Unand telah menunjukkan komitmennya dalam mengatasi masalah ini.
Kerjasama Antara Unand dan UKM
Selain itu, acara ini juga mencerminkan kerjasama dan sinergi antara Unand dan UKM, dua lembaga pendidikan tinggi terkemuka di kawasan Asia Tenggara. Kerjasama ini menjadi langkah penting dalam menghadapi tantangan bersama dan mencapai tujuan bersama dalam mengatasi perubahan iklim.
Kesimpulan dari Sisi Pribadi
Dari sudut pandang pribadi, saya merasa bahwa kegiatan ini sangat menarik dan bermanfaat untuk menambah wawasan baru. Terkadang, kita terjebak dalam sekat ilmu yang membuat kita berpikiran sempit, namun acara ini berhasil membuka pikiran saya terhadap pentingnya memperhatikan isu perubahan iklim dalam konteks ilmu pengetahuan yang lebih luas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H