Mohon tunggu...
Aulia
Aulia Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Andalas

Menulis untuk kesenangan dan berbagi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemilu: Pelanggaran Etika Berjenjang

20 Februari 2024   20:22 Diperbarui: 20 Februari 2024   23:27 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Screen Shoot dari Channel Youtube Mtero TV

Anwar Usman dianggap turun tangan dalam putusan MK yang mengubah syarat usia minimum capres-cawapres yang minimal 40 tahun dengan menambahkan persyaratan tambahan asal sudah peran terpilih menjadi kepala daerah melalui pemilu maka boleh walaupun umurnya kurang dari 40 tahun. Keputusan ini memungkinkan Gibran Rakabuming Raka, keponakan Anwar Usman dan putra Presiden Joko Widodo, menjadi cawapres Prabowo Subianto.

Putusan MKMK ini menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Beberapa pihak mengapresiasi putusan MKMK sebagai bentuk penegakan etik dan hukum, serta sebagai upaya untuk menjaga kredibilitas dan independensi MK. Namun, beberapa pihak lain menilai putusan MKMK sebagai bentuk intervensi politik dan rekayasa hukum, serta sebagai upaya untuk menggagalkan pencalonan Gibran yang dianggap sebagai ancaman bagi lawan-lawannya.

Gibran Dapat Karpet Merah

Pembahasan tentang sanksi yang diterima oleh mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dan ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) memunculkan pertanyaan yang menarik terkait dengan keabsahan dan akuntabilitas proses politik dalam konteks ilmiah. Pada dasarnya, dalam pemikiran ilmiah, proses yang cacat cenderung menghasilkan produk yang juga cacat dan sulit dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Namun, ketika kita melihat kasus Gibran, anak dari Presiden Jokowi yang maju sebagai Cawapres Prabowo, tampaknya ada ketidaksesuaian yang mencolok.

Gibran tetap melanjutkan perjalanannya dalam arena politik meskipun sejumlah pemimpin lembaga terkait telah dikenai sanksi etika yang berat. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang integritas proses politik dan keadilan dalam sistem demokrasi. Bagaimana mungkin seorang kandidat dapat terus berpartisipasi dalam proses politik ketika proses-proses yang menopangnya telah terbukti cacat atau tidak etis?

Faktor-faktor apa yang menyebabkan fenomena seperti ini terjadi? Apakah ada kelemahan dalam sistem penegakan hukum atau kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses politik? Apakah adanya pengaruh politik atau kepentingan tertentu yang mengabaikan prinsip-prinsip etika dan keadilan? Pertanyaan-pertanyaan ini menggugah untuk menggali lebih dalam dan memahami dinamika politik serta kekuatan-kekuatan yang berperan di baliknya.

Selain itu, kasus Gibran juga menyoroti perlunya peningkatan kesadaran akan pentingnya integritas dan prinsip-prinsip etika dalam politik, baik dari calon pemimpin maupun dari masyarakat sebagai pengawasnya. Ini menegaskan bahwa demokrasi yang sehat dan berkelanjutan memerlukan partisipasi aktif dan tanggung jawab dari semua pihak yang terlibat.

Oleh karena itu, sementara kasus seperti Gibran dapat menimbulkan kekhawatiran tentang keadilan dan integritas dalam proses politik, hal itu juga dapat menjadi momentum untuk memperkuat sistem demokrasi dengan memperbaiki aturan, penegakan hukum yang konsisten, dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya etika dan keadilan dalam tata kelola politik.

Beberapa Contoh Pelanggaran Etika yang Terjadi

Intimidasi dan ancaman terhadap anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), yang bertugas menghitung dan melaporkan hasil suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Anggota KPPS mendapatkan ancaman dan intimidasi dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, bahkan ada aksi kriminal dengan membakar kendaraan anggota KPPS. Hal ini mengancam keselamatan dan kesejahteraan anggota KPPS, serta mengganggu proses pemilu secara adil. Selain itu, sejumlah anggota KPPS juga mengalami kematian atau sakit selama proses pemilu, yang diduga akibat kelelahan, stres, atau penyakit. Hal ini merupakan serangan terhadap prinsip-prinsip demokrasi yang sehat.

Pencoblosan sendiri oleh anggota KPPS, yang merupakan bentuk kecurangan dalam pemilu. Pencoblosan sendiri adalah tindakan mencoblos surat suara tanpa sepengetahuan atau persetujuan pemilih. Pencoblosan sendiri dapat dilakukan oleh anggota KPPS sendiri atau orang lain yang bekerja sama dengan mereka. Pencoblosan sendiri dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti mencoblos surat suara sebelum pemungutan suara dimulai, mencoblos surat suara lebih dari sekali, atau mencoblos surat suara untuk orang lain. Pencoblosan sendiri dapat mengubah hasil pemilu dan merugikan hak pemilih.

Serangan fajar, yang merupakan bentuk politik uang dalam pemilu. Serangan fajar adalah tindakan memberikan uang atau imbalan lainnya kepada pemilih agar memilih calon tertentu. Serangan fajar biasanya dilakukan menjelang hari pemungutan suara, di pagi atau subuh hari. Serangan fajar dapat dilakukan oleh calon sendiri atau tim suksesnya. Serangan fajar dapat mempengaruhi pilihan pemilih dan merusak prinsip demokrasi yang bebas dan adil.

Aksi tidak terpuji oleh calon legislatif (caleg), yang merupakan bentuk pelanggaran etik dalam pemilu. Aksi tidak terpuji adalah tindakan yang tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, seperti melampiaskan kemarahan, menuntut kembali imbalan, atau melakukan hal-hal yang merendahkan martabat diri sendiri atau orang lain. Aksi tidak terpuji dapat dilakukan oleh caleg yang tidak puas dengan hasil pemilu, atau yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Aksi tidak terpuji dapat menciptakan ketegangan dan konflik dalam proses pemilu.

Penyelesaian sengketa pemilu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun