Mohon tunggu...
Aulia
Aulia Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Andalas

Menulis untuk kesenangan dan berbagi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cawe-cawe Mr. Presiden, Skandal atau Strategi? (Bagian 3)

5 Februari 2024   16:00 Diperbarui: 5 Februari 2024   18:11 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://reportaseindonesia.com/wp-content/uploads/2023/12/FB_IMG_1702730939710.jpg

Dalam ruangan yang tenang, Hamdi duduk di depan layar laptopnya, memandang setiap kata yang terpampang di layar. Matanya terfokus, menyerap setiap kalimat, setiap penggalan informasi yang mengalir dari jawaban Budi. Lembaran-lembaran email menjadi jendela bagi Hamdi untuk memahami sudut pandang seorang guru besar yang terlibat dalam pernyataan sikap mengkritik cawe-cawe Mr. Wanomo.

Budi, dalam balasannya, menggambarkan alasan yang kuat dan penuh keprihatinan mengenai keadaan politik dan demokrasi di negeri Wakanda. Kata-katanya terasa mengalir seperti sungai yang tidak pernah berhenti, mengarahkan Hamdi untuk memahami esensi perjuangan yang dihadapi oleh para intelektual dan akademisi dalam menyuarakan kebenaran.

Saat itu, Hamdi merenung. Ia bisa merasakan getaran emosi dari setiap huruf yang terpampang di layar laptopnya. Ia merenungkan betapa pentingnya peran media dalam membawa kebenaran kepada publik, membuka tirai-tirai kegelapan yang terkadang menyelimuti dunia politik.

Setelah memahami dengan seksama, Hamdi merasa yakin bahwa jawaban Budi adalah satu-satunya jalan untuk menyajikan kebenaran kepada publik. Dalam hatinya, ia memutuskan untuk mengorbankan waktu dan tenaganya demi mengekspos cawe-cawe Mr. Wanomo. Ini bukan hanya sekadar berita biasa, tapi sebuah cerminan dari kebenaran yang tersembunyi di balik politik yang kerap kali rumit dan manipulatif.

Dengan hati yang penuh semangat, Hamdi mulai menulis berita. Dia membiarkan jemari-jemarinya menari di atas keyboard, menciptakan alur kata-kata yang menawan dan berani. Dia tidak sekadar mengutip kata-kata Budi, tapi juga menggali lebih dalam dari apa yang terlihat di permukaan.

Setiap kalimat yang tercipta, seperti tiupan angin yang membawa kabar dari tempat jauh. Ia berusaha menjiwai setiap kata, menggugah rasa ingin tahu, dan membangkitkan semangat juang pembaca untuk mencari kebenaran di tengah-tengah arus informasi yang sering kali kabur dan manipulatif.

Hamdi menulis dengan penuh antusiasme, bergerak di dalam aliran kata-kata yang mengalir bak sungai deras. Dia tidak berhenti hingga setiap baris terasa begitu hidup, memancarkan kebenaran yang ingin diungkapkan. Ia ingin berita ini menjadi nyala api kebenaran di tengah-tengah kegelapan, memberikan pencerahan bagi mereka yang haus akan keadilan.

Dengan setiap penekanan tombol keyboard, Hamdi merasakan getaran yang kuat dari kekuatan kata-kata. Ini bukan sekadar tugas jurnalistik biasa, tapi sebuah panggilan jiwa untuk membawa perubahan, menunjukkan kepada dunia bahwa kebenaran tetaplah bernyawa di antara segala manipulasi dan intrik politik.

Ketika Hamdi menyelesaikan tulisannya, ia merasa seperti seorang pejuang yang baru saja menyelesaikan pertempuran yang sengit. Nafasnya terengah-engah, tapi hatinya dipenuhi oleh kepuasan yang mendalam. Ia tahu bahwa perjuangannya belum berakhir, tapi setidaknya ia telah meletakkan batu pertama dalam membangun jalan menuju kebenaran yang sejati.Berikut ini adalah berita yang ditulis oleh Hamdi:

  • Cawe-cawe Mr. Wanomo: Skandal atau Strategi?
  • Bongkar! Cawe-cawe Mr. Wanomo ke Anaknya yang Jadi Cawapres Mr. Purli, Ini Bukti dan Kritiknya!


*****

Saat tombol "publish" ditekan oleh jemari Hamdi, sebuah denyut kehidupan baru pun terpancar dari layar monitor. Sebuah karya jurnalistik, bukan sekadar rangkaian kata, melainkan suara yang menggelegar, menembus ruang dan waktu, mengemuka dari ketiadaan menuju keberadaan. Dalam getaran jemarinya, tersemat harapan-harapan besar yang mengintip dari balik huruf-huruf yang terpampang di layar.

Hamdi menatap layar monitor dengan pandangan yang sarat makna, seolah-olah ia dapat merasakan getaran-getaran energi dari tulisan yang baru saja ia publikasikan. Ia menghela nafas dalam-dalam, menunggu dengan cemas reaksi dari pembaca yang mungkin saja sedang bersiap menyambut sajian berita terbarunya.

Tidak hanya sekadar berharap, Hamdi merayakan dalam keheningan, sebentuk doa yang mengalun lembut dari hatinya, terukir indah dalam setiap detak jantung yang dipenuhi keinginan untuk memberikan kontribusi yang berarti bagi masyarakatnya. Sebuah doa yang merangkum segala keinginan terbaiknya, meniti jalan yang terang benderang menuju perubahan.

Dalam kegelapan ruangannya, cahaya dari layar monitor menjadi satu-satunya saksi akan momen magis ini. Cahaya yang memancar, seakan memperlihatkan jalan yang terbentang di hadapannya. Jalan yang penuh tantangan namun juga penuh harapan. Jalan yang mengajaknya untuk terus berkarya, mengukir sejarah baru, dan menuliskan legenda tentang perubahan yang diusung oleh jurnalistik dan intelektualisme di Wakanda.

Dan di tengah keheningan malam yang sunyi, Hamdi menyatu dengan karya jurnalistiknya, menjelma menjadi pencerita yang tak kenal lelah, sang pembawa pesan dari zaman ke zaman. Dan di malam itu, ketika kata-kata terbit dari kegelapan menuju terang, sebuah perubahan pun mulai terurai, sehelai demi sehelai, membingkai gambaran masa depan yang lebih baik untuk Wakanda. Hamdi tidak menunggu lama untuk melihat reaksi dari pembaca dan publik. Berita yang ia buat segera menjadi viral, kontroversial, dan mengguncang. Berita tersebut mendapat ribuan klik, like, share, dan komentar di media sosial. Berita tersebut juga mendapat sorotan dan tanggapan dari media-media lain, baik yang mendukung maupun yang menentang.

Hamdi merasa bangga dan puas dengan hasil kerjanya. Ia merasa bahwa ia telah berhasil membuat berita yang berkualitas, berdampak, dan bersejarah. Ia merasa bahwa ia telah menjadi jurnalis yang profesional, berani, dan kritis.

*****

Hamdi terdiam di depan meja kerjanya, matanya menatap layar komputer tanpa fokus. Ruangan kecil tempatnya bekerja terasa semakin sempit, dikelilingi oleh dinding-dinding yang begitu dekat, namun sepertinya semakin menjauh dari kehidupannya yang sebenarnya. Suara ketukan jari di atas keyboard terdengar berirama, namun tidak lagi membawa pesan-pesan berita yang biasa ia tulis. Kini, pesan-pesan yang menghantamnya terus berputar-putar di benaknya, memenuhi ruang-ruang pikirannya yang penuh dengan kekhawatiran dan tekanan.

Risiko yang dihadapinya terasa semakin besar setiap harinya. Ancaman dan intimidasi yang menghujani dari berbagai pihak membuatnya merasa terpojok, seakan-akan tiada celah untuk keluar. Ia tahu bahwa pekerjaannya sebagai seorang jurnalis selalu membawa resiko, namun tidak pernah sedahsyat ini. Baginya, ia seperti telah terjebak dalam permainan yang berbahaya, tanpa tahu bagaimana caranya untuk keluar.

Pendukung-pendukung dari kubu lawan tidak henti-hentinya menyematkan ancaman-ancaman yang mengancam nyawa, kehormatan, bahkan keluarganya. Pesan-pesan berisi kebencian dan kemarahan mengisi kotak masuk ponselnya, menciptakan rasa takut yang terus menghantui di setiap langkahnya. Hamdi tidak lagi merasa aman, bahkan di lingkungan yang paling akrab sekalipun.

Tidak hanya dari pendukung lawan, tekanan juga datang dari pihak istana. Surat somasi dan gugatan hukum menambah beban yang ada di pundaknya. Menuduhnya telah melakukan perbuatan yang merugikan, mereka meminta maaf, mencabut berita, dan membayar ganti rugi. Namun, bagi Hamdi, menyerah pada tekanan ini berarti menyerah pada kebenaran yang telah ia temukan.

Namun, yang paling menusuk di hatinya adalah kritik dan cibiran dari rekan-rekan seprofesinya. Mereka yang seharusnya menjadi sandaran dan penopang dalam situasi seperti ini, malah menyalahkan dan mencela. Mereka mempertanyakan integritasnya sebagai seorang jurnalis, menganggap bahwa ia telah menjual profesi dan mengkhianati idealisme. Rasanya seperti ditusuk-tusuk di hati setiap kali ia mendengar celaan itu.

Di tengah-tengah semua tekanan dan ancaman itu, Hamdi merasa sendirian dan terisolasi. Ia berusaha mencari dukungan, namun hampa. Tiada tempat untuk meminta pertolongan, kecuali hanya pada dirinya sendiri. Dalam kegelapan pikirannya, ia mencoba mencari sinar kecil harapan, namun semakin ia berusaha menjangkaunya, semakin menjauh pula ia dari kebenaran yang ia yakini.

*****

Hamdi duduk di sudut kamar kecilnya, menghadapi layar ponselnya yang terang benderang. Jemari gemetar saat ia mengetik pesan singkat kepada teman-temannya, yang seolah menjadi satu-satunya jalinan keamanan di tengah terpaan badai yang mendera dirinya.

“Guys, aku butuh bantuan kalian. Aku dalam masalah besar. Aku mendapat banyak ancaman, tekanan, dan kritik dari berbagai pihak karena berita yang aku buat tentang cawe-cawe Mr. Wanomo. Aku takut nyawaku terancam. Aku takut keluargaku terganggu. Aku takut karirku hancur. Aku takut reputasiku rusak. Aku takut idealismeku hilang. Apa yang harus aku lakukan?” tulisnya dengan getaran yang terasa di setiap detik penekanan huruf.

Lamunannya terputus oleh notifikasi pesan masuk. Nafasnya berhenti sejenak, berharap akan jawaban yang memberikan sedikit sinar dalam kegelapan yang menyelimuti.

“Tenang, bro. Jangan panik. Jangan takut. Kamu nggak sendirian. Kami ada di sini untuk membantu dan melindungi kamu. Kamu harus tetap kuat dan tegar. Kamu harus tetap percaya dan bangga dengan berita yang kamu buat. Kamu harus tetap profesional dan kritis sebagai jurnalis. Kamu harus tetap berpegang pada fakta dan bukti yang kamu miliki. Kamu harus tetap berani dan jujur sebagai manusia,” demikian balasan Rani, yang memberikan sentuhan harapan di tengah ketakutan.

*****

Air mata kesepian hampir jatuh dari mata Hamdi. Betapa dia merasa terisolasi di tengah samudra ketakutan yang menghantui. Namun, kata-kata teman-temannya menggema dalam benaknya, menawarkan pelukan tanpa sentuhan, kehadiran tanpa bentuk fisik.

“Bro, aku saranin kamu segera mengamankan diri dan keluargamu. Kamu harus pindah ke tempat yang lebih aman dan rahasia. Kamu harus mengganti nomor telepon dan alamat emailmu. Kamu harus menghapus jejak dan data pribadimu di media sosial. Kamu harus berhati-hati dengan siapa saja yang kamu percaya dan andalkan. Kamu harus siap dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi,” tulis Andi, suara hati nurani yang memberikan arah di tengah arus yang tak menentu.

Bisikan Andi terasa seperti angin yang menggoyangkan pohon yang tegak, menuntunnya mencari perlindungan di balik batu karang yang kokoh. Namun, di dalam dadanya, Hamdi merasakan api keberanian yang mulai membara, menginspirasi semangat perlawanan dalam dirinya.

“Bro, aku saranin kamu segera menghubungi pengacara dan LSM yang bisa membantumu. Kamu harus siap menghadapi gugatan hukum dari pihak istana. Kamu harus siap membela diri dan media onlinemu. Kamu harus siap membuktikan kebenaran dan kredibilitas beritamu. Kamu harus siap menghadapi segala konsekuensi yang harus kamu tanggung,” tambah Dita, suara yang menaburkan biji keadilan di tanah gersang hatinya.

Hatinya berdebar kencang, terasa seperti kuda yang siap berlari menghadapi lautan api. Dengan langkah-langkah kecil, Hamdi bangkit dari keputusasaan, menemukan semangat di balik bayang-bayang ketakutan yang melingkupi. Ia bukan lagi sendiri, karena teman-temannya telah memberinya semangat untuk berjuang, berani menghadapi badai yang menerjangnya.Hamdi membaca balasan dari teman-temannya dengan perasaan bercampur aduk. Ia merasa terharu dan bersyukur dengan bantuan dan dukungan yang diberikan oleh teman-temannya. Ia merasa bahwa teman-temannya adalah sahabat dan rekan yang setia, solid, dan peduli. Ia merasa bahwa teman-temannya adalah sumber yang bisa ia percaya dan andalkan.

*****

Hamdi berdiri di ambang pilihan-pilihan yang menggantung, bagai kabut yang menyelinap di lembah yang sunyi. Ia merasa dirinya seperti seorang musafir yang tersesat di persimpangan jalan, tak tahu harus melangkah ke arah mana. Pilihan-pilihan itu terhampar di hadapannya seperti kisah-kisah yang belum terungkap, menanti untuk dijalani dengan segala konsekuensi yang melekat padanya.

Mata Hamdi memandang jauh ke cakrawala, mencari jawaban di antara gemerlap bintang yang bersinar di langit malam. Namun, langit yang biru pekat tak memberikan petunjuk yang jelas. Hanya bisikan angin malam yang menyusup perlahan ke telinganya, membawa pesan-pesan tak terucapkan dari alam semesta yang mengelilinginya.

Dalam hatinya, Hamdi merasakan keraguan yang menggerogoti keberanian dan keyakinannya. Tantangan-tantangan yang mengancam seperti badai yang menggelayuti kapal kecilnya di lautan yang luas. Dia merasa dirinya terombang-ambing di antara ombak yang ganas, tak tahu harus berlayar ke arah mana untuk mencari tempat berlabuh yang aman.

Teman-temannya memberikan saran-saran yang melingkupi dirinya seperti awan gelap yang menghalangi sinar matahari. Saran Rani, meskipun penuh semangat, terasa seperti kilatan petir yang mengancam untuk membuyarkan segala yang telah dibangunnya. Saran Andi, meskipun terdengar menawarkan perlindungan, terasa seperti reruntuhan yang siap roboh menimpa kepalanya. Dan saran Dita, meskipun terdengar menantang, terasa seperti belati yang tajam yang mengancam untuk menusuk hatinya.

Di tengah gemuruh batinnya, Hamdi merenung. Ia mempertimbangkan setiap pilihan dengan cermat, menimbang segala konsekuensi yang mungkin terjadi. Tetapi di antara keraguan dan ketakutan, ia juga merasa ada semacam kekuatan yang mengalir di dalam dirinya. Sebuah kekuatan yang menuntunnya untuk tidak menyerah begitu saja di tengah badai yang melanda.

Akhirnya, Hamdi menyadari bahwa keputusan harus diambil, tak peduli seberat apapun pilihan itu. Dia menghela nafas dalam-dalam, merengkuh keberanian yang tersisa di dalam dirinya. Dalam kedalaman hatinya, ia menemukan ketetapan untuk menghadapi apapun yang akan datang, siap menerima segala risiko dan konsekuensi dari setiap langkah yang akan diambilnya.

Dengan langkah mantap, Hamdi memilih untuk menghadapi takdirnya. Dia meneguhkan hatinya untuk tetap berdiri di jalannya, siap menghadapi segala tantangan dan rintangan yang menunggunya di perjalanan ke depan. Meskipun tak tahu pasti apa yang akan terjadi, dia yakin bahwa keberanian dan keteguhan hatinya akan membawanya melintasi samudra yang ganas menuju tempat yang lebih baik. (bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun