Mohon tunggu...
Aulia
Aulia Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Andalas

Menulis untuk kesenangan dan berbagi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cawe-cawe Mr. Presiden, Skandal atau Strategi? (Bagian 3)

5 Februari 2024   16:00 Diperbarui: 5 Februari 2024   18:11 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://reportaseindonesia.com/wp-content/uploads/2023/12/FB_IMG_1702730939710.jpg

Namun, yang paling menusuk di hatinya adalah kritik dan cibiran dari rekan-rekan seprofesinya. Mereka yang seharusnya menjadi sandaran dan penopang dalam situasi seperti ini, malah menyalahkan dan mencela. Mereka mempertanyakan integritasnya sebagai seorang jurnalis, menganggap bahwa ia telah menjual profesi dan mengkhianati idealisme. Rasanya seperti ditusuk-tusuk di hati setiap kali ia mendengar celaan itu.

Di tengah-tengah semua tekanan dan ancaman itu, Hamdi merasa sendirian dan terisolasi. Ia berusaha mencari dukungan, namun hampa. Tiada tempat untuk meminta pertolongan, kecuali hanya pada dirinya sendiri. Dalam kegelapan pikirannya, ia mencoba mencari sinar kecil harapan, namun semakin ia berusaha menjangkaunya, semakin menjauh pula ia dari kebenaran yang ia yakini.

*****

Hamdi duduk di sudut kamar kecilnya, menghadapi layar ponselnya yang terang benderang. Jemari gemetar saat ia mengetik pesan singkat kepada teman-temannya, yang seolah menjadi satu-satunya jalinan keamanan di tengah terpaan badai yang mendera dirinya.

“Guys, aku butuh bantuan kalian. Aku dalam masalah besar. Aku mendapat banyak ancaman, tekanan, dan kritik dari berbagai pihak karena berita yang aku buat tentang cawe-cawe Mr. Wanomo. Aku takut nyawaku terancam. Aku takut keluargaku terganggu. Aku takut karirku hancur. Aku takut reputasiku rusak. Aku takut idealismeku hilang. Apa yang harus aku lakukan?” tulisnya dengan getaran yang terasa di setiap detik penekanan huruf.

Lamunannya terputus oleh notifikasi pesan masuk. Nafasnya berhenti sejenak, berharap akan jawaban yang memberikan sedikit sinar dalam kegelapan yang menyelimuti.

“Tenang, bro. Jangan panik. Jangan takut. Kamu nggak sendirian. Kami ada di sini untuk membantu dan melindungi kamu. Kamu harus tetap kuat dan tegar. Kamu harus tetap percaya dan bangga dengan berita yang kamu buat. Kamu harus tetap profesional dan kritis sebagai jurnalis. Kamu harus tetap berpegang pada fakta dan bukti yang kamu miliki. Kamu harus tetap berani dan jujur sebagai manusia,” demikian balasan Rani, yang memberikan sentuhan harapan di tengah ketakutan.

*****

Air mata kesepian hampir jatuh dari mata Hamdi. Betapa dia merasa terisolasi di tengah samudra ketakutan yang menghantui. Namun, kata-kata teman-temannya menggema dalam benaknya, menawarkan pelukan tanpa sentuhan, kehadiran tanpa bentuk fisik.

“Bro, aku saranin kamu segera mengamankan diri dan keluargamu. Kamu harus pindah ke tempat yang lebih aman dan rahasia. Kamu harus mengganti nomor telepon dan alamat emailmu. Kamu harus menghapus jejak dan data pribadimu di media sosial. Kamu harus berhati-hati dengan siapa saja yang kamu percaya dan andalkan. Kamu harus siap dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi,” tulis Andi, suara hati nurani yang memberikan arah di tengah arus yang tak menentu.

Bisikan Andi terasa seperti angin yang menggoyangkan pohon yang tegak, menuntunnya mencari perlindungan di balik batu karang yang kokoh. Namun, di dalam dadanya, Hamdi merasakan api keberanian yang mulai membara, menginspirasi semangat perlawanan dalam dirinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun