Mohon tunggu...
Aulia
Aulia Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Andalas

Menulis untuk kesenangan dan berbagi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cawe-cawe Mr. Presiden, Skandal atau Strategi? (Bagian 3)

5 Februari 2024   16:00 Diperbarui: 5 Februari 2024   18:11 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://reportaseindonesia.com/wp-content/uploads/2023/12/FB_IMG_1702730939710.jpg

Saat tombol "publish" ditekan oleh jemari Hamdi, sebuah denyut kehidupan baru pun terpancar dari layar monitor. Sebuah karya jurnalistik, bukan sekadar rangkaian kata, melainkan suara yang menggelegar, menembus ruang dan waktu, mengemuka dari ketiadaan menuju keberadaan. Dalam getaran jemarinya, tersemat harapan-harapan besar yang mengintip dari balik huruf-huruf yang terpampang di layar.

Hamdi menatap layar monitor dengan pandangan yang sarat makna, seolah-olah ia dapat merasakan getaran-getaran energi dari tulisan yang baru saja ia publikasikan. Ia menghela nafas dalam-dalam, menunggu dengan cemas reaksi dari pembaca yang mungkin saja sedang bersiap menyambut sajian berita terbarunya.

Tidak hanya sekadar berharap, Hamdi merayakan dalam keheningan, sebentuk doa yang mengalun lembut dari hatinya, terukir indah dalam setiap detak jantung yang dipenuhi keinginan untuk memberikan kontribusi yang berarti bagi masyarakatnya. Sebuah doa yang merangkum segala keinginan terbaiknya, meniti jalan yang terang benderang menuju perubahan.

Dalam kegelapan ruangannya, cahaya dari layar monitor menjadi satu-satunya saksi akan momen magis ini. Cahaya yang memancar, seakan memperlihatkan jalan yang terbentang di hadapannya. Jalan yang penuh tantangan namun juga penuh harapan. Jalan yang mengajaknya untuk terus berkarya, mengukir sejarah baru, dan menuliskan legenda tentang perubahan yang diusung oleh jurnalistik dan intelektualisme di Wakanda.

Dan di tengah keheningan malam yang sunyi, Hamdi menyatu dengan karya jurnalistiknya, menjelma menjadi pencerita yang tak kenal lelah, sang pembawa pesan dari zaman ke zaman. Dan di malam itu, ketika kata-kata terbit dari kegelapan menuju terang, sebuah perubahan pun mulai terurai, sehelai demi sehelai, membingkai gambaran masa depan yang lebih baik untuk Wakanda. Hamdi tidak menunggu lama untuk melihat reaksi dari pembaca dan publik. Berita yang ia buat segera menjadi viral, kontroversial, dan mengguncang. Berita tersebut mendapat ribuan klik, like, share, dan komentar di media sosial. Berita tersebut juga mendapat sorotan dan tanggapan dari media-media lain, baik yang mendukung maupun yang menentang.

Hamdi merasa bangga dan puas dengan hasil kerjanya. Ia merasa bahwa ia telah berhasil membuat berita yang berkualitas, berdampak, dan bersejarah. Ia merasa bahwa ia telah menjadi jurnalis yang profesional, berani, dan kritis.

*****

Hamdi terdiam di depan meja kerjanya, matanya menatap layar komputer tanpa fokus. Ruangan kecil tempatnya bekerja terasa semakin sempit, dikelilingi oleh dinding-dinding yang begitu dekat, namun sepertinya semakin menjauh dari kehidupannya yang sebenarnya. Suara ketukan jari di atas keyboard terdengar berirama, namun tidak lagi membawa pesan-pesan berita yang biasa ia tulis. Kini, pesan-pesan yang menghantamnya terus berputar-putar di benaknya, memenuhi ruang-ruang pikirannya yang penuh dengan kekhawatiran dan tekanan.

Risiko yang dihadapinya terasa semakin besar setiap harinya. Ancaman dan intimidasi yang menghujani dari berbagai pihak membuatnya merasa terpojok, seakan-akan tiada celah untuk keluar. Ia tahu bahwa pekerjaannya sebagai seorang jurnalis selalu membawa resiko, namun tidak pernah sedahsyat ini. Baginya, ia seperti telah terjebak dalam permainan yang berbahaya, tanpa tahu bagaimana caranya untuk keluar.

Pendukung-pendukung dari kubu lawan tidak henti-hentinya menyematkan ancaman-ancaman yang mengancam nyawa, kehormatan, bahkan keluarganya. Pesan-pesan berisi kebencian dan kemarahan mengisi kotak masuk ponselnya, menciptakan rasa takut yang terus menghantui di setiap langkahnya. Hamdi tidak lagi merasa aman, bahkan di lingkungan yang paling akrab sekalipun.

Tidak hanya dari pendukung lawan, tekanan juga datang dari pihak istana. Surat somasi dan gugatan hukum menambah beban yang ada di pundaknya. Menuduhnya telah melakukan perbuatan yang merugikan, mereka meminta maaf, mencabut berita, dan membayar ganti rugi. Namun, bagi Hamdi, menyerah pada tekanan ini berarti menyerah pada kebenaran yang telah ia temukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun