Mohon tunggu...
Aulia Rahma Putri Wijaya
Aulia Rahma Putri Wijaya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Mercu Buana

Nama : Aulia Rahma Putri Wijaya NIM : 43222010034 Prodi : S1 Akuntansi Mata Kuliah : Pendidikan Anti Korupsi dan Kode Etik Dosen : Prof. Dr. Apollo, Ak., M. Si.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Diskursus Jeremy Bentham's Hedonistic Calculus dan Fenomena Kejahatan Korupsi di Indonesia

14 Desember 2023   21:55 Diperbarui: 14 Desember 2023   21:59 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dibuat oleh penulis

Nama : Aulia Rahma Putri Wijaya

NIM : 43222010034

Mata Kuliah : Pendidikan Anti Korupsi dan Kode Etik

Dosen : Prof. Dr. Apollo, Ak., M., Si.

Hedonistic Calculus adalah suatu konsep yang diperkenalkan oleh filsuf Utilitarianisme, Jeremy Bentham. Konsep ini mengajukan bahwa kebahagiaan atau kesenangan harus diukur dan dinilai sebagai dasar bagi pengambilan keputusan moral. Hedonistic Calculus menilai kebahagiaan dengan mempertimbangkan beberapa faktor, seperti intensitas kesenangan atau penderitaan, durasi pengalaman, kepastian bahwa kesenangan atau penderitaan itu akan terjadi, kemungkinan pengalaman yang serupa di masa depan, kesesuaian dengan nilai-nilai sosial, dan kemampuan untuk mengontrol pengalaman tersebut.

Penerapan Hedonistic Calculus dalam konteks fenomena kejahatan korupsi di Indonesia dapat memberikan wawasan yang menarik. Korupsi, sebagai tindakan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi untuk memperoleh keuntungan pribadi, sering kali terkait dengan pencarian kebahagiaan individu atau kelompok tertentu. Para pelaku korupsi mungkin merasa bahwa tindakan korupsi yang mereka lakukan akan memberikan kesenangan atau keuntungan yang lebih besar daripada risiko atau penderitaan yang mungkin dihadapi jika tertangkap.

Pertama-tama, Hedonistic Calculus mempertimbangkan intensitas kesenangan atau penderitaan. Dalam konteks korupsi, pelaku mungkin mengukur kebahagiaan dengan seberapa besar keuntungan yang dapat mereka peroleh melalui tindakan korupsi tersebut. Jika pelaku percaya bahwa keuntungan yang mereka dapatkan jauh melebihi potensi risiko atau sanksi yang mungkin mereka terima, maka kemungkinan besar mereka akan cenderung melakukan tindakan korupsi.

Selanjutnya, durasi pengalaman juga menjadi faktor penting dalam Hedonistic Calculus. Para pelaku korupsi mungkin merencanakan tindakan korupsi mereka dengan harapan bahwa keuntungan yang mereka peroleh akan berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Ini dapat menciptakan persepsi bahwa tindakan korupsi tersebut memberikan kebahagiaan yang berkelanjutan, meskipun mungkin pada akhirnya berujung pada penderitaan atau konsekuensi negatif.

Keberlanjutan pengalaman ini juga terkait dengan pertimbangan kemungkinan pengalaman serupa di masa depan. Jika pelaku korupsi percaya bahwa mereka dapat terus melakukan tindakan korupsi tanpa risiko yang signifikan, maka mereka mungkin lebih cenderung untuk melanjutkan perilaku tersebut. Faktor ini menunjukkan bahwa pandangan jangka panjang terhadap kebahagiaan atau keuntungan dapat memengaruhi keputusan pelaku korupsi.

Selain itu, Hedonistic Calculus menyoroti pentingnya pertimbangan terhadap kepastian bahwa kesenangan atau penderitaan akan terjadi. Dalam konteks korupsi, para pelaku mungkin berusaha meminimalkan risiko atau meningkatkan kepastian bahwa mereka tidak akan ditangkap atau dihukum. Tindakan ini dapat mencakup pembayaran suap kepada pihak yang berwenang, manipulasi informasi, atau penggunaan kekuasaan untuk menghindari pengawasan.

Faktor kesesuaian dengan nilai-nilai sosial juga dapat memainkan peran dalam analisis ini. Jika masyarakat memiliki toleransi yang tinggi terhadap korupsi atau norma sosial yang membenarkan tindakan korupsi, pelaku korupsi mungkin merasa bahwa tindakan mereka sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku. Sebaliknya, jika masyarakat mengecam korupsi dan menilainya sebagai perilaku amoral, pelaku korupsi dapat menghadapi penderitaan sosial atau stigma, yang harus mereka pertimbangkan dalam perhitungan Hedonistic Calculus.

Terakhir, kemampuan untuk mengontrol pengalaman juga menjadi pertimbangan penting. Pelaku korupsi mungkin merencanakan tindakan mereka dengan memastikan bahwa mereka memiliki kendali atas situasi, baik melalui jaringan politik, pengaruh, atau kontrol terhadap lembaga penegak hukum. Kemampuan untuk mengontrol hasil dari tindakan korupsi mereka dapat menjadi faktor yang signifikan dalam perhitungan kebahagiaan atau keuntungan yang diinginkan.

Secara keseluruhan, keterkaitan antara Hedonistic Calculus dan fenomena kejahatan korupsi di Indonesia dapat dijelaskan melalui analisis faktor-faktor tersebut. Pemahaman terhadap motivasi pelaku korupsi dan faktor-faktor yang memengaruhi perhitungan kebahagiaan atau keuntungan dalam kerangka Hedonistic Calculus dapat memberikan wawasan yang berguna dalam upaya pencegahan dan penanggulangan korupsi di masyarakat.

Top of Form

Maka dari itu, pemahaman terhadap hubungan antara Hedonistic Calculus dan fenomena kejahatan korupsi di Indonesia memiliki implikasi yang signifikan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan korupsi. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang melibatkan pengukuran kebahagiaan atau keuntungan dalam kerangka Hedonistic Calculus, kita dapat mengidentifikasi strategi yang lebih efektif untuk mengurangi insentif individu atau kelompok untuk terlibat dalam tindakan korupsi.

Pertama-tama, kebijakan pencegahan korupsi dapat diarahkan untuk mengubah perhitungan keuntungan dan risiko bagi para pelaku korupsi potensial. Meningkatkan risiko penangkapan dan memberlakukan sanksi yang tegas dapat mengubah perbandingan antara keuntungan yang diharapkan dan potensi penderitaan atau konsekuensi negatif yang mungkin timbul. Hal ini dapat mencakup peningkatan keefektifan sistem penegakan hukum, perbaikan transparansi, dan penguatan lembaga-lembaga pengawasan.

Selanjutnya, penting untuk memperhitungkan faktor-faktor sosial dan budaya dalam merancang strategi pencegahan. Jika masyarakat memiliki toleransi rendah terhadap korupsi, upaya dapat difokuskan pada peningkatan kesadaran dan pendidikan publik untuk mengubah norma sosial terkait korupsi. Memperkuat nilai-nilai etika dan moral dalam masyarakat dapat membentuk landasan yang kuat untuk mengecam perilaku koruptif.

Selain itu, perlu dilakukan reformasi kebijakan yang mendukung tata kelola yang baik dan akuntabilitas. Kebijakan yang mendorong transparansi, partisipasi publik, dan pertanggungjawaban dapat mengurangi peluang untuk tindakan korupsi. Memperkenalkan sistem insentif yang positif untuk perilaku yang bersih dan etis juga dapat menjadi strategi efektif untuk mengubah dinamika kebahagiaan atau keuntungan yang dikejar oleh individu.

Penggunaan teknologi dan inovasi juga dapat membantu mengurangi peluang korupsi. Sistem yang memungkinkan pelaporan korupsi secara anonim, pemantauan keuangan elektronik, dan implementasi solusi berbasis teknologi untuk meningkatkan transparansi dapat mengurangi kesempatan pelaku korupsi untuk mengendalikan situasi.

Lebih lanjut, peran pendidikan dan pembinaan moral juga tidak boleh diabaikan. Membentuk nilai-nilai etika sejak dini dalam pendidikan formal dan informal dapat membantu membentuk karakter generasi muda dan mengurangi kecenderungan terlibat dalam tindakan korupsi di masa depan.

Dalam konteks kebijakan, kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil juga penting. Sinergi di antara berbagai pihak dapat menghasilkan pendekatan yang holistik dalam upaya pencegahan dan penanggulangan korupsi.

Dengan memahami dan mengakomodasi faktor-faktor yang mempengaruhi perhitungan kebahagiaan atau keuntungan dalam kerangka Hedonistic Calculus, kita dapat mengembangkan strategi yang lebih berorientasi pada realitas kontekstual dan motivasi individu. Implementasi solusi yang bersifat holistik dan terkoordinasi dapat membantu menciptakan lingkungan di mana kebahagiaan atau keuntungan tidak lagi terlihat sejalan dengan tindakan korupsi. Dengan demikian, dapat diharapkan bahwa pemahaman ini dapat memberikan kontribusi positif dalam memerangi dan mengurangi korupsi di Indonesia.

  • Mengapa perlu melakukan diskursus antara Hedonistic Calculus dan kejahatan korupsi khususnya di Indonesia?

Perlu dilakukan diskursus antara Hedonistic Calculus dan kejahatan korupsi, terutama di Indonesia, karena pendekatan ini memberikan wawasan mendalam tentang motivasi dan faktor-faktor yang mendorong individu terlibat dalam tindakan korupsi. Diskursus ini dapat memberikan pemahaman lebih baik tentang dinamika perilaku koruptif, membuka jalan untuk pengembangan strategi pencegahan yang lebih efektif, serta memberikan dasar untuk reformasi kebijakan yang lebih kontekstual.

Pertama-tama, Hedonistic Calculus menawarkan kerangka kerja analitis yang memungkinkan kita memahami tindakan korupsi dari sudut pandang kebahagiaan atau keuntungan yang dikejar oleh pelaku. Konsep ini mengajukan bahwa individu akan cenderung mengambil tindakan yang memberikan kebahagiaan atau keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan penderitaan atau risiko yang mungkin mereka hadapi. Dengan menerapkan konsep ini pada konteks kejahatan korupsi, kita dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang memberikan insentif bagi pelaku korupsi dan merancang strategi yang sesuai untuk mengubah perhitungan kebahagiaan tersebut.

Di Indonesia, fenomena kejahatan korupsi telah menjadi tantangan serius dalam pembangunan dan tata kelola pemerintahan. Oleh karena itu, diskursus antara Hedonistic Calculus dan kejahatan korupsi di Indonesia menjadi penting untuk memahami dinamika spesifik yang memengaruhi perilaku koruptif di dalam konteks budaya, sosial, dan politik Indonesia. Mengingat perbedaan budaya dan konteks sosial antar negara, pendekatan ini memungkinkan kita untuk menyesuaikan strategi pencegahan dan penanggulangan korupsi agar sesuai dengan realitas setempat.

Diskursus antara Hedonistic Calculus dan kejahatan korupsi juga membantu menggali akar penyebab perilaku koruptif. Dengan memahami bagaimana individu mengukur kebahagiaan atau keuntungan dalam konteks korupsi, kita dapat mengidentifikasi apakah faktor-faktor eksternal seperti ketidaksetaraan ekonomi, lemahnya sistem pengawasan, atau budaya yang merugikan berperan dalam mendorong perilaku koruptif. Hal ini dapat membuka peluang untuk merancang solusi yang lebih menyeluruh dan relevan dalam menanggulangi korupsi.

Selanjutnya, diskursus ini dapat membantu merinci faktor-faktor yang mendorong keputusan pelaku korupsi di tingkat individual. Misalnya, apakah pelaku korupsi lebih cenderung tergoda oleh keuntungan finansial yang besar, atau apakah faktor-faktor sosial dan reputasi juga memainkan peran penting dalam perhitungan mereka. Dengan memahami dinamika ini, kita dapat mengembangkan pendekatan yang lebih spesifik dan terarah dalam mengatasi motif korupsi di tingkat personal.

Gambar dibuat oleh penulis
Gambar dibuat oleh penulis

Melalui diskursus ini, kita juga dapat mengeksplorasi bagaimana kebijakan dan sistem hukum dapat diadaptasi untuk lebih efektif menghentikan tindakan korupsi. Dengan menekankan pada aspek-aspek tertentu dalam Hedonistic Calculus, seperti meningkatkan risiko dan konsekuensi hukuman, kita dapat merancang kebijakan yang lebih tegas dan mendukung penegakan hukum yang lebih efektif. Hal ini dapat mencakup reformasi hukum, peningkatan transparansi, dan penguatan lembaga-lembaga penegak hukum.

Selain itu, diskursus antara Hedonistic Calculus dan kejahatan korupsi dapat memberikan dasar untuk merancang program pendidikan dan kesadaran yang lebih efektif. Dengan memahami bagaimana individu menilai kebahagiaan dalam konteks korupsi, kita dapat merancang pesan-pesan yang lebih persuasif dan relevan. Program pendidikan etika dan anti-korupsi dapat dirancang untuk menargetkan aspek-aspek yang paling mungkin memengaruhi perhitungan kebahagiaan para pelaku korupsi potensial.

Selain itu, diskursus ini dapat membantu dalam pengembangan solusi teknologi yang inovatif untuk mengurangi peluang korupsi. Misalnya, sistem teknologi informasi yang memantau transaksi keuangan secara real-time atau platform pelaporan online dapat diintegrasikan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.

Dalam konteks Indonesia, di mana korupsi masih menjadi isu yang perlu diberantas, pendekatan ini dapat memberikan landasan yang kuat untuk perubahan kebijakan dan praktik-praktik pencegahan korupsi. Diskursus antara Hedonistic Calculus dan kejahatan korupsi mengajak kita untuk memandang korupsi sebagai fenomena kompleks yang dipengaruhi oleh sejumlah faktor, dan pendekatan ini dapat membantu merinci strategi yang lebih efektif dan kontekstual.

Secara keseluruhan, melakukan diskursus antara Hedonistic Calculus dan kejahatan korupsi di Indonesia memiliki nilai penting dalam pemahaman dan penanggulangan korupsi. Dengan merinci faktor-faktor yang memengaruhi keputusan pelaku korupsi dan memahami perhitungan kebahagiaan mereka, kita dapat merancang solusi yang lebih spesifik dan efektif untuk mengatasi masalah korupsi di tingkat individual dan sistemik.

  • Bagaimana konsep Hedonistic Calculus dapat memberikan wawasan baru terhadap pemahaman kita terhadap kejahatan korupsi di Indonesia?

Konsep Hedonistic Calculus, yang diperkenalkan oleh filsuf Utilitarianisme Jeremy Bentham, membuka pintu untuk pemahaman yang lebih mendalam terhadap kejahatan korupsi di Indonesia. Dalam kaitannya dengan situasi sosial, politik, dan ekonomi di Indonesia, Hedonistic Calculus memberikan wawasan baru terhadap motivasi individu yang terlibat dalam tindakan koruptif. Analisis ini mencakup beberapa faktor, seperti intensitas kesenangan atau penderitaan, durasi pengalaman, kepastian bahwa kesenangan atau penderitaan itu akan terjadi, kemungkinan pengalaman yang serupa di masa depan, kesesuaian dengan nilai-nilai sosial, dan kemampuan untuk mengontrol pengalaman tersebut.

Pertama-tama, Hedonistic Calculus menyoroti intensitas kesenangan atau penderitaan sebagai faktor utama dalam pengambilan keputusan. Dalam konteks kejahatan korupsi di Indonesia, individu yang terlibat mungkin mengukur tingkat kebahagiaan yang dihasilkan oleh tindakan koruptif berdasarkan sejauh mana keuntungan finansial atau kekuasaan dapat diperoleh. Jika intensitas kesenangan yang diharapkan lebih besar daripada potensi penderitaan atau risiko hukuman, individu tersebut mungkin lebih cenderung terlibat dalam tindakan korupsi.

Kedua, Hedonistic Calculus mempertimbangkan durasi pengalaman sebagai faktor yang relevan. Pelaku korupsi mungkin merencanakan tindakan mereka dengan harapan bahwa keuntungan yang diperoleh akan berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Faktor ini menunjukkan bahwa perhitungan kebahagiaan dalam konteks korupsi di Indonesia tidak hanya bersifat instan, tetapi juga melibatkan pertimbangan jangka panjang terkait keuntungan yang mungkin diperoleh dari tindakan tersebut.

Selanjutnya, kepastian bahwa kesenangan atau penderitaan akan terjadi menjadi elemen kunci dalam Hedonistic Calculus. Pelaku korupsi di Indonesia mungkin berusaha mengurangi ketidakpastian atau risiko hukuman dengan memanipulasi sistem atau memanfaatkan jaringan politik. Pemahaman terhadap peran kepastian dalam perhitungan kebahagiaan membuka ruang untuk memperkuat sistem penegakan hukum dan mengatasi kelemahan dalam struktur pengawasan yang dapat dieksploitasi oleh pelaku korupsi.

Selanjutnya, kemungkinan pengalaman serupa di masa depan menjadi pertimbangan yang penting dalam analisis Hedonistic Calculus. Individu yang terlibat dalam tindakan korupsi mungkin melihat pengalaman positif di masa lalu sebagai indikator bahwa mereka dapat terus melakukan korupsi tanpa risiko yang signifikan. Oleh karena itu, strategi pencegahan korupsi perlu mempertimbangkan bagaimana mengurangi harapan pelaku korupsi terhadap keberlanjutan pengalaman positif mereka.

Hedonistic Calculus juga menekankan kesesuaian dengan nilai-nilai sosial sebagai elemen penentu kebahagiaan atau keuntungan. Dalam masyarakat Indonesia, di mana budaya dan etika memiliki peran sentral, individu yang terlibat dalam korupsi mungkin merasa kebahagiaan mereka sejalan dengan norma sosial yang diterima. Oleh karena itu, upaya pencegahan korupsi tidak hanya perlu mengubah perhitungan kebahagiaan secara individu, tetapi juga merangsang perubahan dalam norma dan nilai-nilai sosial terkait korupsi.

Gambar dibuat oleh penulis
Gambar dibuat oleh penulis

Terakhir, kemampuan untuk mengontrol pengalaman menjadi faktor krusial dalam Hedonistic Calculus. Pelaku korupsi mungkin menggunakan kekuasaan atau pengaruh mereka untuk menghindari konsekuensi negatif atau memastikan bahwa keuntungan yang diperoleh dapat dikendalikan. Penyusunan kebijakan pencegahan korupsi harus memperhitungkan bagaimana mengurangi kemampuan pelaku korupsi untuk mengendalikan situasi, termasuk penguatan lembaga-lembaga pengawasan dan penegakan hukum.

Dengan merangkum, konsep Hedonistic Calculus memberikan wawasan baru terhadap pemahaman kita terhadap kejahatan korupsi di Indonesia. Dengan memahami bahwa keputusan untuk terlibat dalam tindakan koruptif didasarkan pada perhitungan kebahagiaan atau keuntungan, kita dapat mengidentifikasi titik-titik intervensi yang efektif dalam rangka pencegahan korupsi. Analisis ini membuka jalan untuk pengembangan strategi yang lebih kontekstual dan relevan dalam menangani fenomena kompleks ini, sekaligus meningkatkan kesadaran akan konsekuensi dan risiko yang mungkin dihadapi oleh pelaku korupsi.

Selain memberikan wawasan baru terhadap pemahaman kejahatan korupsi di Indonesia, konsep Hedonistic Calculus juga membuka ruang untuk perbaikan dan pengembangan kebijakan pencegahan yang lebih efektif serta memberikan dasar untuk reformasi hukum yang lebih tepat sasaran.

Pertama-tama, pemahaman lebih dalam terhadap motivasi individu melalui Hedonistic Calculus dapat membantu merancang kampanye pendidikan dan kesadaran yang lebih efektif. Dengan menargetkan aspek-aspek yang dianggap memberikan kebahagiaan atau keuntungan dalam konteks korupsi, program-program ini dapat menciptakan narasi yang lebih persuasif dan relevan untuk masyarakat Indonesia. Peningkatan kesadaran publik tentang konsekuensi negatif dari tindakan korupsi dapat mengubah persepsi sosial terhadap perilaku tersebut.

Kedua, konsep ini dapat diintegrasikan ke dalam pelatihan dan pendidikan etika di berbagai sektor, termasuk sektor publik dan swasta. Meningkatkan kesadaran dan sensitivitas terhadap konsep Hedonistic Calculus di kalangan pejabat publik, pelaku bisnis, dan masyarakat umum dapat membantu mencegah terjadinya tindakan korupsi. Melalui pendekatan ini, nilai-nilai etika dan integritas dapat ditanamkan lebih baik dalam budaya organisasi dan masyarakat secara keseluruhan.

Selanjutnya, konsep ini dapat diaplikasikan dalam merancang kebijakan insentif dan sanksi yang lebih efektif. Dengan memahami bahwa keputusan untuk terlibat dalam korupsi didasarkan pada perhitungan keuntungan dan risiko, pemerintah dapat merancang kebijakan yang memberikan insentif positif bagi perilaku yang bersih dan memberlakukan sanksi yang lebih tegas bagi pelanggar hukum. Hal ini dapat melibatkan pengembangan sistem penghargaan untuk integritas dan pemberian hukuman yang memadai untuk pelaku korupsi.

Selanjutnya, penerapan konsep Hedonistic Calculus dapat memperkuat peran lembaga penegak hukum dalam menghadapi kejahatan korupsi. Dengan memahami cara pelaku korupsi mempertimbangkan risiko dan keuntungan, lembaga penegak hukum dapat meningkatkan strategi penyelidikan, pengawasan, dan penangkapan. Penguatan lembaga-lembaga ini juga dapat mencakup peningkatan kemampuan untuk mengatasi upaya korupsi yang berusaha menghindari penegakan hukum.

Lebih lanjut, konsep ini dapat mendukung langkah-langkah reformasi kebijakan di tingkat nasional. Perubahan dalam undang-undang dan regulasi yang mencerminkan pemahaman yang lebih baik terhadap perhitungan kebahagiaan dan keuntungan pelaku korupsi dapat memperkuat dasar hukum dan meningkatkan efektivitas penegakan hukum. Ini mungkin melibatkan peningkatan sanksi, penyempurnaan mekanisme pengawasan, dan penyusunan kebijakan yang mendukung integritas dan transparansi.

Terakhir, implementasi konsep ini dapat mendukung kerja sama internasional dalam penanggulangan korupsi. Dengan menggunakan kerangka kerja Hedonistic Calculus sebagai dasar pemahaman bersama, negara-negara dapat berkolaborasi dalam mengembangkan strategi global yang lebih efektif. Pertukaran informasi dan praktik terbaik antar negara dapat menjadi lebih terarah dan adaptif, menciptakan lingkungan yang lebih sulit bagi pelaku korupsi untuk beroperasi secara lintas batas.

Dalam keseluruhan, penerapan konsep Hedonistic Calculus memberikan wawasan baru dan relevan terhadap kejahatan korupsi di Indonesia. Dengan menggunakan pendekatan ini, kita dapat mengembangkan strategi pencegahan yang lebih tepat sasaran, meningkatkan kesadaran publik, dan memperkuat sistem penegakan hukum. Seiring dengan reformasi kebijakan dan perubahan budaya, pendekatan ini dapat membawa dampak positif yang signifikan dalam upaya memberantas korupsi dan menciptakan masyarakat yang lebih adil dan bermoral.

Top of Form

Dalam kesimpulan, konsep Hedonistic Calculus memberikan wawasan baru yang bernilai terhadap pemahaman kita terhadap kejahatan korupsi di Indonesia. Pendekatan ini, yang menilai kebahagiaan atau keuntungan sebagai dasar pengambilan keputusan moral, dapat memberikan kerangka kerja yang komprehensif untuk menganalisis motivasi, faktor-faktor, dan konsekuensi tindakan koruptif.

Pertama, Hedonistic Calculus memberikan pencerahan tentang bagaimana individu yang terlibat dalam kejahatan korupsi di Indonesia mungkin melakukan perhitungan kompleks terkait risiko dan keuntungan. Faktor-faktor seperti intensitas kesenangan, durasi pengalaman, kepastian, kemungkinan pengalaman serupa di masa depan, kesesuaian dengan nilai-nilai sosial, dan kemampuan untuk mengontrol pengalaman tersebut menjadi pertimbangan yang krusial dalam proses pengambilan keputusan.

Dalam konteks Indonesia, pemahaman ini dapat membantu merinci faktor-faktor spesifik yang mungkin mendorong tindakan koruptif, memungkinkan pengembangan strategi pencegahan yang lebih tepat sasaran dan berdampak lebih besar. Pendekatan ini memberikan pandangan mendalam tentang bagaimana insentif dan risiko dapat membentuk perilaku pelaku korupsi di tingkat individual.

Kedua, konsep Hedonistic Calculus dapat diaplikasikan dalam merancang kebijakan dan praktik pencegahan korupsi yang lebih efektif. Dengan memahami bahwa keputusan untuk terlibat dalam korupsi didasarkan pada perhitungan kebahagiaan atau keuntungan, pemerintah dapat merancang kebijakan yang lebih cermat dan dapat diukur. Ini mencakup pengembangan insentif positif yang dapat mengubah perhitungan kebahagiaan para pelaku korupsi, sekaligus memberlakukan sanksi yang lebih tegas untuk mengurangi daya tarik tindakan koruptif.

Ketiga, konsep ini dapat mendukung upaya pendidikan dan kesadaran publik. Dengan memahami bagaimana kebahagiaan diukur dalam konteks korupsi, program-program pendidikan anti-korupsi dapat dirancang untuk menargetkan secara spesifik aspek-aspek yang mungkin memotivasi perilaku koruptif. Kesadaran masyarakat terhadap konsekuensi negatif dari tindakan korupsi dapat ditingkatkan melalui kampanye pendidikan yang memanfaatkan konsep Hedonistic Calculus.

Keempat, konsep ini dapat membantu memperkuat sistem hukum dan penegakan hukum di Indonesia. Dengan memahami faktor-faktor yang memengaruhi perhitungan kebahagiaan pelaku korupsi, lembaga-lembaga penegak hukum dapat meningkatkan strategi mereka untuk mengungkap dan menanggulangi tindakan korupsi. Penguatan hukuman dan mekanisme pengawasan dapat diterapkan berdasarkan pemahaman yang lebih dalam tentang cara pelaku korupsi mempertimbangkan risiko dan keuntungan.

Kelima, penerapan konsep Hedonistic Calculus dapat mendukung reformasi kebijakan secara keseluruhan. Perubahan dalam regulasi dan undang-undang yang mencerminkan pemahaman yang lebih baik tentang perhitungan kebahagiaan dan keuntungan dapat memperkuat dasar hukum dan meningkatkan efektivitas penanggulangan korupsi di Indonesia.

Secara keseluruhan, konsep Hedonistic Calculus memberikan kontribusi signifikan terhadap upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan korupsi di Indonesia. Dengan memahami motivasi dan pertimbangan individu dalam kerangka ini, kita dapat mengarahkan langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan secara lebih cerdas, kontekstual, dan efektif. Dengan menerapkan pemahaman ini ke dalam kebijakan dan praktik, Indonesia dapat memperkuat perlawanan terhadap korupsi dan mewujudkan visi masyarakat yang bersih, adil, dan berintegritas.

Daftar Pustaka

Aslam, R., & Khan, N. (2021). Secondary school teachers' knowledge and practices about constructive feedback: Evidence from karachi, pakistan. Cakrawala Pendidikan, 40(2), 532--543. https://doi.org/10.21831/cp.v40i2.35190

Bentham, J. (1996). The collected works of Jeremy Bentham: An introduction to the principles of morals and legislation. Clarendon Press.

Benuf, K., & Azhar, M. (2020). Legal research methodology as an instrument to unravel contemporary legal problems. Echo Justice Journal, 7, 20--33. https://doi.org/10.14710/gk.7.1.20-33

Binaji, S. H., & Hartanti, H. (2019). Korupsi sebagai extra ordinary crimes. Jurnal Kajian Hukum, 4(1), 157--174. https://mail.e-journal.janabadra.ac.id/index.php/KH/article/view/SHH

Goldstein-Greenwood, J., Conway, P., Summerville, A., & Johnson, B. N. (2020). (How) Do you regret killing one to save five? Affective and cognitive regret differ after utilitarian and deontological decisions. Personality and Social Psychology Bulletin, 46(9), 1303--1317. https://doi.org/10.1177/0146167219897662

Hamudy, N. (2019). Evictions in Jakarta from the view of utilitarianism. Jurnal Bina Praja, 11(1), 75--86. https://doi.org/10.21787/jbp.11.2019.75-86

Hartanto, W. (2017). Penegakan hukum terhadap kejahatan narkotika dan obat-obat terlarang dalam era perdagangan bebas internasional yang berdampak pada keamanan dan kedaulatan negara. Jurnal Legislasi Indonesia, 14(1), 1--16. https://doi.org/10.54629/jli.v14i1.65

Hobbs, P. (2020). The catalysing effect of the Rome statute in Africa: Positive complementarity and self-referrals. Criminal Law Forum, 31(3), 345--376. https://doi.org/10.1007/s10609- 020-09398-7

Irmawanti, N. D., & Arief, B. N. (2021). Urgensi tujuan dan pedoman pemidanaan dalam rangka pembaharuan sistem pemidanaan hukum pidana. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, 3(2), 217--227. https://doi.org/10.14710/jphi.v3i2.217-227

Jatmiko, B. J. (2018). Menelisik pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi politik pasca perubahan UUD 1945. Jurnal Panorama Hukum, 3(2), 217--246. https://doi.org/10.21067/jph.v3i2.2827

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun