Mohon tunggu...
Aulia Anggraini
Aulia Anggraini Mohon Tunggu... Model - IR STUDENT

Targib Tarhib :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Realisme dalam Memandang Sifat Dasar Manusia dan Negara serta Pandangan Islam di Dalamnya

21 Oktober 2019   21:11 Diperbarui: 21 Oktober 2019   21:29 939
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pandangan realisme terhadap politik ataupun power tidak pernah lepas dari anggapan mereka tentang manusia, kemudian dalam pembahasan sebelumnya terlihat juga bahwa realisme menaruh fokus pada aktor utama politik yaitu negara yang dianggap mampu menjadi pelaksana dan penentu keputusan diatas seluruh sifat dasar manusia. Maka dalam pembahasan ini, akan dibahas mengenai hubungan manusia dan negara dalam pandangan realisme tersebut.

Seperti pendapat Colin tentang manusia pada buku yang ditulis oleh Jack Donnelly, dalam memandang manusia Colin berpendapat sifat dasar manusia yang selalu mencari kekuasaan dan kekuatan guna mencapai keinginannya berpengaruh pada sistem politik yang ada.

Hal ini tidak jauh berbeda dengan argumen Machiavelli yang memiliki sudut pandang skeptis terhadap manusia , ia berpendapat bahwa hal terpenting dalam hubungan internasional terutama pada kehidupan manusia adalah kekuatan, siapa yang memiliki kekuatan ia berhak dan lebih efisien dalam berkuasa tidak seperti yang lemah.  Dalam hal ini, realisme memiliki ciri tersendiri dalam mendefinisikan manusia, mereka menganggap manusia sebagai makhluk yang diwarnai oleh sifat negatif yang mengarah pada keinginan untuk mencari kekuatan agar mereka dapat berkuasa.

Dalam aspek lainnya, Thomas Hobbes memberikan pandangan bahwa hubungan manusia dan negara dalam perjalanan hubungan internasional adalah ketergantungan keadaan alam kepada keadaan manusia dimana kekuasaan mengendalikan hasrat manusia untuk mendapatkan kekuatan demi kekuasaan tersebut, sehingga mereka berlomba-lomba didalamnya.

Melalui penjelasan diatas Thomas Hobbes memberikan argumen yang menguatkan pandangan realisme tentang manusia yang berada dalam angan-angan kekuasaan dan bercita-cita tinggi untuk mendapatkannya, selain itu hausnya manusia akan kekuasaan ini menurut Hobbes mampu menjadi jawaban dari keberlangsungan kehidupan didunia.

Beralih pada bentuk negara menurut realisme, seperti pada penjelasan sebelumnya, negara dianggap sebagai satu-satunya aktor yang mampu membuat keputusan dan menjaga perdamaian. Karena adanya keinginan kuat dalam pencarian kekuatan yang terdapat dalam diri manusia maka negara adalah satu-satunya lembaga yang dapat mengangkat serta menjaga kapabilitas sebuah kekuatan didalam negara (sebagai naungan manusia) tersebut yang kemudian mampu memuaskan hasrat manusia yang cenderung akan hal itu.

Pandangan aliran realis ini menganggap bahwa kekosongan konsep keseimbangan kekuatan yang ada di kancah internasional inilah yang menjadikan memuncaknya nafsu manusia akan kekuatan tersebut.  Melalui penjelasan diatas realis menganggap negara sebagai salah satu solusi yang dapat meredam hasrat manusia, ketika negara tersebut mampu mengangkat daya kekuatan sehingga mampu berkuasa maka bagi realis ini mampu menahan laju hasrat dari manusia tersebut.

Sebagai contoh dari eksistensi negara dengan kekuasaannya adalah terjadinya perang dalam perjalanan hubungan antar negara. Melalui fakta tersebut realisme menganggap bahwa bangkit dan runtuhnya sebuah sistem internasional adalah bergantung kepada bagaimana sebuah negara yang memiliki kekuatan membuat keputusan.

Selain itu, terjadinya sebuah perang adalah karena negara yang memiliki kekuatan tidak mampu mempertahankan kuasanya sehingga terjadi transisi dari negara sebelumnya ke negara yang lebih kuat setelahnya. Salah satu contoh yang dianggap rasional adalah Perang Dunia I & II, dimana beberapa negara yang mengalami peningkatan kekuatan menjadi faktor terjadinya dua perang tersebut, ditambah lagi sistem internasional yang saat itu tidak dalam kondisi terbaiknya.

Pandangan realisme tentang manusia yang hanya melihat merea dari aspek sifat negatif seperti, gila akan kekuasaan dan keserakahan tidaklah sesuai dengan manusia menurut Islam. Ini disandarkan pada paradigma mereka sendiri yang memang mengarahkan pada hal-hal materialis dan bersifat kapitalis.

Berbeda dengan Islam, Islam memandang manusia sebagai makhluk yang diciptakan dengan bentuk yang paling sempurna, meskipun tidak dapat dipungkiri memang dalam diri manusia terdapat nafsu dan keinginan kuat untuk memiliki suatu kelebihan dari manusia lainnya, tapi jika menganggap seluruh manusia bersifat sama seperti diatas jelas berbeda dengan Islam.

Dalam sebuah pendapat tokoh Islam bernama Ibnu Abi Rabi', ia mengatakan bahwa manusia membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhan alaminya, hal ini membuat manusia menjadi makhluk sosial yang saling membutuhkan, baik dalam bidang pangan, sandang,reproduksi pelayanan kesehatan dll. dalam hal ini ia juga menyatakan bahwa Allah telah menciptakan manusia dengan bentuk yang demikian dan dilengkapi dengan raja atau pemimpin yang mengatur hak serta kewajibannya di dunia.

Hal ini ditujukan untuk menjaga tata tertib dan kedamaian didunia, serta mengikis berbagai bentuk kekerasan dan kezaliman yang ada.  Ini cukup menguatkan perbedaan pandangan Islam dan realisme dalam memandang manusia, mereka (Realisme) lebih condong mengarahkan manusia pada sifat yang sekular bebas dari kekangan aturan Tuhan.

Dalam Islam manusia juga diartikan sebagai :

Human being is the superior most creature of Allah. The superiority is not physical but spiritual. Human being have developed faculty of understanding, which enables them to comprehend the reality, distinguish between right and wrong.

Di lain sisi, penciptaan manusia memang sangat lengkap dari unsur materi dan unsur yang tersembunyi didalam materi tersebut. Manusia diciptakan dari tanah bisa diartikan mewakiliki seluruh sifat yang terdapat dalam diri mereka yang manusiawi, namun keseluruhan sifat dan keinginan itu telah dirancang khusus dengan aturan peribadatan kepada Allah Yang Menciptakan mereka. Aturan tersebut menjadi bentuk pembatas dan petunjuk yang mengarahkan sifat manusia tersebut kedalam hal-hal yang benar.

Human beings, according to Islamic doctrine of creation, are made of two elements. One is clay and the other is the spirit of Allah. Clay being the lowest element represents the drive, desires, ambitions, and egoistic traits that the lead them such a state where they learn to respond only to these needs and get physical pleasure that is of temporary nature. Spirit of Allah being the highest and the purest element leads human beings to such a state where they learn to respond to the command of Allah (Swt).    

Tidak menafikan bahwa manusia memiliki sifat yang condong ke negatif, Ibnu Abi Rabi' memandang bahwa manusia memiliki sebab untuk jatuh dalam tindak kejahatan. Dalam hal ini ia mengklasifikasikan kejahatan menjadi tiga hal. Pertama,kejahatan yang berasal dari individu manusia itu; kedua,kejahatan yang berasal dari masyarakat diantara individu itu; kemudian ketiga, kejahatan dari masyarakat luar.

Namun berbeda dengan realisme, Islam melalui pendapat Ibnu Abi Rabi juga, terdapat hal yang mampu mengatasi kejahatan diatas, yaitu mengikuti pola kehidupan yang terpuji yang tidak bisa dibuang kemungkinannya dalam diri manusia, kemudian menerapkan hukum yang sesuai dengan hukum Allah dan seluruh ajarannya.

Demikianlah Islam memandang manusia, dimana pandangan tersebut merupakan solusi yang tepat dalam permasalahan yang terjadi didalam kehidupan yang telah tercemar dengan konsep sekular ini.

Masuk kepada konsep negara, seperti yang dijelaskan diatas realisme melihat negara adalah satu-satunya aktor yang mampu membuat sebuah keputusan dan bertindak dengan kekuasaannya untuk meredam sifat manusia didalam negara tersebut.

Selanjutnya anggapan Mearsheimer berkenaan dengan negara menyatakan bahwa sifat dasar negara adalah anarki, maka sudah sepatutnya setiap negara membina dan menguatkan urusan mereka tentang pertahanan guna mencari kekuasaan dan mempertahankannya. Dalam hal ini Mearsheimer menganggap dunia bersifat konfliktual, dan peperangan adalah hal yang tidak bisa dihindarkan demi terciptanya kedamaian dibawah kekuasaan.

Tidak kalah pentingnya pandangan Organski yang membagi tiga negara yang mempunya paradigma bertujuan materialis yang serba dikaitkan dengan ekonomi. Pemaknaan negara seperti tiga paham realisme diatas sangat tidak cocok dengan ajaran Islam. Peran paradigma yang digunakan oleh realisme dalam hal ini condong pada pandangan skeptis dan sekularis. Hal ini bisa terlihat dalam cara pandang mereka pada penjelasan diatas.

Negara dalam Islam memang digunakan untuk tempat sekelompok manusia berkumpul dan membuat aturan demi berjalannya kehidupan sosial. Dengan adanya negara sudah selayaknya manusia patuh pada hukum didalamnya, namun perumusan hukum tidak didasarkan semata pada ide manusia (penguasa) seutuhnya  melainkan ada hukum dan kuasa tertinggi yaitu Allah Swt. seperti penjelasan Jamil Farouqi, bahwa dunia dengan segala isinya berada dibawah naungan dan kuasa Tuhan Yang Maha Kuasa, dan setiap lini serta aspek pekerjaan didalamnya haruslah berdasarkan nilai ibadah dan rasa tunduk terhadap-Nya.

"...The entire world is under His full control. Every object works and functions according to His will, and every event occurs by His order..."

Selain itu dalam Islam, negara tidaklah menjadi tujuan patuh yang utama, Islam memang mengajarkan untuk patuh pada pemimpin dan peraturan sebuah negara namun perlu digarisbawahi bahwa jika negara tersebut tidak lagi sejalan dengan aturan dan ajaran Allah Swt maka tidak ada kewajiban bagi manusia untuk patuh pada negara tersebut.

Seperti yang dijelaskan Al-Attas, ia mengatakan dalam sebuah hubungan sosial politik atau bernegara Islam tidak mengenal istilah social contract, dimana jika menjadi warga negara pada satu negara harus selalu taat pada keputusan pimpinan didalamnya. Hal tersebut tidak sepenuhnya benar karena jika negara tersebut masih dalam koridor kehidupan yang wajar menurut ajaran Islam memang wajib untuk taat dan patuh namun sebaliknya jika negara itu sudah tidak lagi berjalan sesuai dengan ajaran Islam maka kepatuhan akan negara tersebut tidak lagi melekat pada diri manusia tersebut.

Dalam hal ini al-Attas tidak menganggap kepatuhan pada negara itu sebagai kontrak sosial, melainkan sebuah komitmen dalam diri sejak masa ditiupkannya ruh didalam rahim ibunya sehingga kepatuhan tersebut murni berdasar pada ajaran Allah Swt. bukan permintaan dari sebuah negara atau sistem politik didalamnya.

Selanjutnya paradigma yang melandasi realisme dalam konsep negara yang bersifat materialis dan kapitalis tidaklah sesuai dengan Islam. Dalam Islam keputusan suatu negara dan pemimpin didasarkan pada proses musyawarah dan bertujuan mencari kemashlahatan bagi seluruh umat manusia. Hal ini tentu akan menjadikan sistem perekonomian seimbang dan taraf kehidupan manusia secara menyeluruh menjadi lebih teratur.

"Social relation in Islam is not based on the expectation of getting some kind of advantage or privilege but its based on the motive of seeking pleasure of Allah Swt. A believer establish relation with other fellow human beings No. for liking, aspiration and satisfaction of his ego but follow the commandments of his Lord"

"Human relation in Islam is  further based on the feelings of brotherhood."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun