Tidak kalah pentingnya pandangan Organski yang membagi tiga negara yang mempunya paradigma bertujuan materialis yang serba dikaitkan dengan ekonomi. Pemaknaan negara seperti tiga paham realisme diatas sangat tidak cocok dengan ajaran Islam. Peran paradigma yang digunakan oleh realisme dalam hal ini condong pada pandangan skeptis dan sekularis. Hal ini bisa terlihat dalam cara pandang mereka pada penjelasan diatas.
Negara dalam Islam memang digunakan untuk tempat sekelompok manusia berkumpul dan membuat aturan demi berjalannya kehidupan sosial. Dengan adanya negara sudah selayaknya manusia patuh pada hukum didalamnya, namun perumusan hukum tidak didasarkan semata pada ide manusia (penguasa) seutuhnya  melainkan ada hukum dan kuasa tertinggi yaitu Allah Swt. seperti penjelasan Jamil Farouqi, bahwa dunia dengan segala isinya berada dibawah naungan dan kuasa Tuhan Yang Maha Kuasa, dan setiap lini serta aspek pekerjaan didalamnya haruslah berdasarkan nilai ibadah dan rasa tunduk terhadap-Nya.
"...The entire world is under His full control. Every object works and functions according to His will, and every event occurs by His order..."
Selain itu dalam Islam, negara tidaklah menjadi tujuan patuh yang utama, Islam memang mengajarkan untuk patuh pada pemimpin dan peraturan sebuah negara namun perlu digarisbawahi bahwa jika negara tersebut tidak lagi sejalan dengan aturan dan ajaran Allah Swt maka tidak ada kewajiban bagi manusia untuk patuh pada negara tersebut.
Seperti yang dijelaskan Al-Attas, ia mengatakan dalam sebuah hubungan sosial politik atau bernegara Islam tidak mengenal istilah social contract, dimana jika menjadi warga negara pada satu negara harus selalu taat pada keputusan pimpinan didalamnya. Hal tersebut tidak sepenuhnya benar karena jika negara tersebut masih dalam koridor kehidupan yang wajar menurut ajaran Islam memang wajib untuk taat dan patuh namun sebaliknya jika negara itu sudah tidak lagi berjalan sesuai dengan ajaran Islam maka kepatuhan akan negara tersebut tidak lagi melekat pada diri manusia tersebut.
Dalam hal ini al-Attas tidak menganggap kepatuhan pada negara itu sebagai kontrak sosial, melainkan sebuah komitmen dalam diri sejak masa ditiupkannya ruh didalam rahim ibunya sehingga kepatuhan tersebut murni berdasar pada ajaran Allah Swt. bukan permintaan dari sebuah negara atau sistem politik didalamnya.
Selanjutnya paradigma yang melandasi realisme dalam konsep negara yang bersifat materialis dan kapitalis tidaklah sesuai dengan Islam. Dalam Islam keputusan suatu negara dan pemimpin didasarkan pada proses musyawarah dan bertujuan mencari kemashlahatan bagi seluruh umat manusia. Hal ini tentu akan menjadikan sistem perekonomian seimbang dan taraf kehidupan manusia secara menyeluruh menjadi lebih teratur.
"Social relation in Islam is not based on the expectation of getting some kind of advantage or privilege but its based on the motive of seeking pleasure of Allah Swt. A believer establish relation with other fellow human beings No. for liking, aspiration and satisfaction of his ego but follow the commandments of his Lord"
"Human relation in Islam is  further based on the feelings of brotherhood."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H