Radikalisasi adalah kanker sosial yang merambat dengan cepat, menghancurkan fondasi toleransi dan harmoni yang telah kita bangun dengan susah payah. Di Indonesia, ancaman ini kian mengakar, menyusup ke ruang-ruang privat melalui layar gawai yang tak lepas dari genggaman generasi muda. Bagaimana mungkin bangsa ini bertahan jika kita tidak segera bertindak? Jawabannya terletak pada Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), yang selama ini dipandang sebelah mata.
Pendidikan Kewarganegaraan: Pilar yang Diabaikan
PKn bukan sekadar mata pelajaran usang yang berisi hafalan pasal-pasal dan teori demokrasi. Ia adalah benteng pertahanan yang, jika digunakan dengan benar, dapat melawan arus deras ideologi radikal yang semakin menggila. Sayangnya, realitas menunjukkan bahwa pendidikan ini sering kali gagal menyentuh inti persoalan.
Generasi muda kita dibiarkan buta terhadap ancaman nyata yang datang dari ideologi ekstrem. Mereka dirampas akalnya melalui propaganda canggih yang memanfaatkan algoritma media sosial. Tanpa PKn yang relevan, generasi ini akan menjadi korban empuk radikalisasi, terjebak dalam jebakan manis yang mengarah pada kehancuran.
Kurikulum yang Gagal Merespons Zaman
Saat ini, kurikulum PKn seperti dinosaurus yang terjebak di era digital. Materinya basi, tidak kontekstual, dan jauh dari realitas yang dihadapi siswa. Apakah menghafal Pancasila cukup untuk menghadapi ancaman global? Tidak. Apakah diskusi abstrak tentang demokrasi bisa melawan cuci otak yang sistematis? Mustahil.
PKn harus menjadi medan tempur yang nyata. Siswa harus diajak untuk mendalami bagaimana propaganda radikal bekerja. Mereka perlu diberi keterampilan untuk mendekonstruksi narasi palsu yang mereka temui setiap hari. Studi kasus tentang kelompok radikal, analisis pola propaganda, dan simulasi interaktif adalah cara untuk menghidupkan kembali relevansi PKn.
Guru: Pahlawan atau Penonton?
Guru adalah garis depan dalam perang melawan radikalisasi. Namun, berapa banyak guru yang benar-benar memahami kompleksitas isu ini? Kebanyakan hanya menjadi penonton yang pasif, menyampaikan materi tanpa emosi, tanpa visi.
Pelatihan bagi guru harus menjadi prioritas nasional. Mereka harus dipersenjatai dengan wawasan mendalam tentang ekstremisme dan cara mendeteksinya sejak dini. Guru bukan hanya pendidik; mereka adalah detektif, mediator, dan inspirator. Tanpa guru yang kompeten, PKn hanya akan menjadi ritual tanpa makna.
Kolaborasi atau Kehancuran
Pendidikan Kewarganegaraan tidak dapat berjalan sendiri. Tanpa dukungan dari komunitas, teknologi, dan pemerintah, ia akan menjadi usaha yang sia-sia. Platform digital seperti media sosial harus dilibatkan secara agresif. Pemerintah perlu menekan perusahaan teknologi untuk memblokir konten ekstrem dan mempromosikan nilai-nilai kebangsaan.
Orang tua juga harus diberdayakan. Mereka adalah benteng pertama yang dapat mencegah anak-anaknya terjerumus. Namun, berapa banyak orang tua yang benar-benar memahami ancaman ini? Kesadaran masyarakat harus ditingkatkan melalui kampanye masif yang menggugah hati.
Sebuah Panggilan Darurat
Pendidikan Kewarganegaraan adalah benteng terakhir kita. Jika kita gagal memperkuatnya, kita membuka pintu bagi kehancuran bangsa. Ini adalah panggilan darurat untuk semua pihak: guru, orang tua, pemerintah, dan masyarakat. Kita harus bergerak sekarang, atau selamanya menyesal.
Generasi muda kita adalah masa depan bangsa. Apakah kita akan membiarkan mereka dirusak oleh radikalisasi, atau kita akan berjuang untuk melindungi mereka? Pilihan ada di tangan kita. Tapi satu hal pasti: waktu kita hampir habis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H