Oleh : Aulia Manaf
Biarkan uap kopi panas meruap ke ruangan ini, mencari rindu yang masih tersisa. Secangkir rindu buat seseorang yang terlukis dalam kopi hitam ini. Naomi tersenyum . Dia menuntaskan kopi hitamnya dicangkir biru senja itu.
Membuat Warung “PiTruk” (Kopi TubRruk) sebenarnya bukan cita-cita Naomi. Tapi semata-mata hanya untuk bertemu seseorang yang suka kopi tubruk. Lelaki yang membuat Naomi merasa nyaman seharian. Sudah setahun ini Naomi membuka warung di rumahnya, tentu dengan seijin ibu-yang bersyukur semakin lama semakin ramai saja Warkop itu. Mungkin karena Naomi sangat ramah melayani pembeli dan gorengannya yang selalu panas cocok di lidah pelanggannya. Gurih dan renyah selalu.
Apa yang dilihat orang lain, kesan pertama bertemu Naomi adalah selalu ceria, ramah, dan sabar. Tapi beda ketika warung kopi tubruk itu sudah tutup sekitar jam sembilan malam. Raut Naomi akan berubah menjadi keruh, berkerut dan diam. “Aku kangen Mas Setya, Bu”, jawaban itu yang selalu dilontarkan Naomi ketika ibunya bertanya. Perempuan setengah tua itu hanya bisa mengambil nafas panjang. Dia hanya bisa mengelus rambut anak perempuannya.
Ada satu keyakinan Naomi, dengan social media, membuat fanpage di Facebook, akan membuat seseorang datang ke warungnya. Ya, Naomi telah membuat halaman suka di Facebook dengan nama Kopi Tubruk Happiness. Yup, dengan harapan kopi tubruk yang secangkir itu, akan membuat peminumnya selalu diliputi kebahagiaan dan semangat hidup. Itu filosofinya menurut Naomi. Seseorang yang ditunggu itu adalah Setya. Lelaki yang merupakn sudara kembarnya. Sosok penghobi kopi tubruk sejak kecil. Dulu, dia pernah kena step saat usia setahun, membuat ibu sering menyuruh Setya minum kopi, yang katanya bisa mengusir step (kejang karena panas tinggi). Kopi murahan yang diseruput Setya seminggu atau dua bulan sekali itu, sukses membuat Setya tidak step lagi, tapi malah ketagihan! Setiap mau ujian sekolah, dia selalu minta kopi dengan alasna supaya nggak ngantuk saat belajar.
*****
Saat SD, kita hidup bersama di sebuah rumah mungil sederhana, dengan seorang ayah yang PNS guru SD, sedangkan ibu hanya menjadi ibu rumahan biasa. Kadang juga menerima pesanan kue untuk tetangga yang punya hajat. Bikin donat, pastel atau apem untuk selamatan. Sampai musibah itu datang.
Punya anak kembar tidak selalu menyenangkan. Semua serba dobel. Segala kebutuhan harus disiapkan dua. Tak jarang, buku-buku sekolah pun hanya beli salah satu saja bergantian. Si Naomi dibelikan yang buku cetak asli , sedangkan Setya harus menerima buku fotokopian saja. Supaya menghemat pengeluaran keluarga.
Kata-kata selentingan tetangga , berhembus juga ke telinga orangtuaku. Bukan ayah dan ibu tidak pernah mendengar, tapi semua diabaikan. “Anak laki dan perempuan yang kembar itu, adalah ibarat pengantin. Dia harus dijodohkan”. Satu kalimat yang sederhana, tapi bikin telinga merah membara. Terlebih kami mendengar dengan kuping sendiri. Ketika kami berkumpul dan mendengar ada tetangga yang bicara lumayan keras di teras rumah. “Dipisah saja mereka, Jeng. Nanti kalau sudah waktunya mereka harus dipertemukan, dijodohkan”. Agak berbisik mulut kurang ajar itu di telinga Ibu. Perempuan itu hanya bisa mendengus kesal. Kepalaku juga seperti ditampar rasanya. Mitos yang menyakitkan. Itulah yang kita rasakan. Padahal banyak yang tahu kalau itu incest, kan? Dilarang agama dan tidak baik untuk kesehatan.
Naomi dan Setya kini punya perasaan sama yang bergemuruh. Ada rasa benci dan menyesal mengapa dilahirkan kembar dengan jenis kelamin yang berbeda. Dan apakah mereka harus menikah nanti? Apa akibatnya kalau tidak menikah? Perasaan anak-anak memang sukar di tebak, apalagi anak kembar. Namun ibu dengan sabar memberikan wejangan, bahwa kata-kata orang-orang itu tidak usah dipikirkan dan ditanggapi. Yang penting belajar saja. Nanti malah menganggu prestasi belajar saja.
*****