Sejak Badan Otorita Labuan Bajo Flores (BOPLBF) mendapatkan legitimasi khusus pengelolaan pariwisata di Labuan Bajo dan Taman Nasional Komodo (TNK) melalui Perpres No. 32/2018 tanggal 5 April 2018, Labuan Bajo dihantui oleh persoalan agraria dan ekologi. Satu hal problematis dari isi Perpres tersebut adalah mengatur perubahan status dan pemanfaatan 400 hektar hutan Bowosie Nggorang.
Kawasan hutan ini diubah menjadi kawasan pariwisata dengan skema penghapusan status hutan menjadi kawasan bukan hutan dan skema izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam (IUPSWA). Alih  fungsi hutan ini direncanakan akan terbagi dalam 4 zona, yakni, zona cultural distric, zona leisure district, zona wildlife district, dan zona adventure district.Â
Dalam pengembangannya, Kementrian Pariwisata melalui BOP - LBF akan menggandeng pihak swasta dengan memperlihatkan skema Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal dalam Negeri (PMDA) dengan nilai proyek sebesar Rp 100 milyar. Kawasan ini nantinya akan terhubung dengan Taman Nasional Komodo.
Muncul beragam komentar penolakan dari aktivis lingkungan, LSM, lembaga agama, kelompok masyarakat serta berbagai pihak. Sebagian besar berkomentar bahwa fakta ini memperlihatkan minimnya komitmen pemerintah terhadap pembangunan berbasis ekologi di kawasan pariwisata. Penolakan publik berkaitan dengan peran kawasan ini sebagai kawasan hutan tutupan berkomposisi batu gamping atau kawasan karst yang secara topografi terletak lebih tinggi dari kota Labuan Bajo dan perkampungan sekitarnya. Selain itu, di sekitaran kawasan hutan ini terdapat 14 mata air yang dipergunakan untuk pengairan sawah dan air bersih bagi beberapa wilayah adat, yakni kampung Lancang, Waemata, Kaper, Marombok, Nggorang, Watu langkas, dan Dalong.
Kacamata Laudato Si
Merujuk pada ensiklik Laudato Si karya Paus Fransiskus, apa yang sedang terjadi pada hutan Bowosie mengindikasikan bentuk perbudakan kapitalisme terhadap alam. Nilai-nilai kemanusiaan dan ekologis kalah dihadapan hukum dan orientasi pembangunan.Â
Alam sebagai rumah bersama bagaikan saudari yang berbagi hidup dengan manusia, sekarang sedang menjerit karena segala kerusakan yang akan ditimpakan padanya, karena tanggung jawab manusia menggunakan dan menyalahgunakan kekayaan yang telah diletakkan Allah di dalamnya.
Peralihan fungsi ini disebabkan karena hutan Bowosie dianggap sebagai tidak mempunyai nilai intrisik pada dirinya sendiri selain nilai instrumental ekonomis bagi kepentingan ekonomi atau direduksi sebagai objek laba semata. Paradigma ini membenarkan perilaku eksploitatif eksesif atas nama investasi sebagai komoditas ekonomi dan alat pemuas kepentingan investor dan kapitalis.
Problem lainnya adalah tendensi ini memunculkan degradasi kualitas hidup manusia. Degradasi ini terlihat dari sikap eksklusivitas manusia yang menutup diri terhadap keberadaan orang lain atau manusia untuk membangun kenyamanan bagi dirinya sendiri dan tidak peduli dengan sesama. Atau, pemerintah melalui BOPLBF lebih mengutamakan keuntungan dari investasi dibanding menjaga kestabilan ekologis bagi masyarakat lokal yang bersentuhan langsung dengan hutan.
Berhadap dengan  krisis ini, Paus Fransiskus mengajak umat Kristiani dan semua masyarakat dunia agar memandang hutan sebagai saudari dalam relasi holistik. Dalam bahasa Fritjof Capra disebut ecolitteracy, yang berarti "memelihara dan melindungi hutan dihayati juga sebagai memelihara dan melindungi diri sendiri, dan kehidupan manusia."Â
Menjaga hutan bukan semata-mata bertujuan hidrologis dan ekologis, tetapi mengintegrasikan moralitas dan etika sebagai buah dari ekspresi iman, yaitu tetang tanggung jawab manusia sebagai citra Allah untuk memelihara bumi.
Selain itu, ia juga mengajak umat Kristiani agar menghubungkan iman dengan kepedulian terhadap lingkungan. Iman yang mendalam kepada Sang Pencipta dapat menjadi jembatan penghubung untuk melestarikan dan merawat alam lingkungan. Hal ini perlu diaplikasikan karena iman adalah ekspresi sosial setiap pribadi untuk bertanggung jawab dalam penciptaan.Â
Iman diperlukan untuk membendung tendensi keterpusatan hidup pada manusia (antroposentrisme) dan penguasaan teknologi yang cenderung eksploitatif dan destruktif. Dengan menggagaskan kesadaran iman ini, setiap orang yang berkehendak baik mesti tahu bahwa upaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya saat ini mesti dibuat dengan tetap memperhatikan kelangsungan ekosistem dan hak-hak generasi mendatang.
Seruan Pertobatan
Alih fungsi hutan yang dilakukan oleh BOPLBF dengan tujuan investasi pada kawasan hutan Bowosie adalah bentuk kejahatan terhadap lingkungan, terhadap kehidupan dan dosa kepada Sang Pencipta. Oleh karena itu, adalah kemendesakan bagi BOPLBF untuk bertobat dari usaha investasinya, dan segenap elemen masyarakat harus bergandeng tangan secara tegas menolak kehadiran investasi tersebut. Mengutip Sonny Keraf, pertobatan ini bertumpu pada asas bahwa:
Pertama, hutan itu sendiri mengandung dan berarti kehidupan itu sendiri atau paling kurang yang memungkinkan kehidupan dapat berlangsung di dalamnya. Termasuk di dalamnya menyangkut interaksi saling pengaruh dan saling tergantung dalam satu kesatuan yang utuh baik di antara berbagai kehidupan maupun di antara berbagai kehidupan itu dengan ekosistem atau di antara setiap kehidupan dengan keseluruhan ekosistem tersebut.Â
Itu berarti jika masyarakat rela menyerahkan hutan Bowosie kepada BOPLBF, sama artinya dengan menyerahkan hidup dan martabatnya sebagai manusia. Masyarakat dengan cara yang lunak diperbudak oleh dalil-dalil pembangunan utopis.Â
Kedua, ada hubungan saling memengaruhi satu sama lain di antara berbagai kehidupan dan dengan ekosistem hutan untuk memungkinkannya tumbuh, berkembang dan hidup menjadi dirinya sebagaimana adanya, atau yang dikenal dengan web of life. Dalam proses saling berinteraksi itu, setiap organisme berubah dan menyesuaikan diri serta memengaruhi perubahan organisme lainnya termasuk ekosistemnya.Â
Jika hutan dirusakkan, kehidupan yang bertumpu pada hutan tersebut dengan sendirinya akan lenyap, yaitu mata air, satwa liar, dan daerah resapan air dan asupan oksigen. Tentu kemudian menimbulkan bencana alam.
Ketiga, alam adalah harta bersama yang diwariskan turun temurun sebagai titipkan Sang Pencipta untuk dijaga dan dilestarikan. Ketika tugas ini dilanggar, itu berarti dosa telah menjauhkan manusia dari penciptanya dan merenggangkan hubungannya dengan sesama dan ciptaan lain. Karena Sang Pencipta menganugerahkan bumi kepada seluruh umat manusia, agar menjadi sumber kehidupan bagi semua anggotanya, tanpa mengecualikan atau mengutamakan siapa pun.
Â
Penutup
Pembangunan pariwisata Labuan Bajo dan Taman Nasional Komodo harus mengedepankan pariwisata berkelanjutan yang berbasis ekologi integral, yang jelas berdimensi manusiawi dan sosial. Ini dimaksudkan agar pariwisata yang dibangun mengacu pada relasi yang khusus antara alam dan masyarakat yang menghuninya.Â
Hal itu mencegah  pemahaman terhadap alam sebagai sesuatu yang terpisah dari manusia atau hanya sebagai kerangka kehidupan manusia. Manusia adalah bagian dari alam, termasuk di dalamnya, dan terjalin dengannya. Dengan demikian, apapun yang mencakup dalam kawasan pariwisata ini tidak dibenarkan menjadi korban atau dianaktirikan untuk kepentingan ekonomi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H