Sebelum pergi merantau dan bersekolah, ayah seperti menanamkan filosofi hidup, "hak ulayat nenek moyang kita bukan hanya daratan. Ulayat kita mencakup lautan. Jika tanah tidak memberi hasil, pergilah ke laut, di situ banyak makanan yang menunjang hidup. Begitu pula sebaliknya. Inilah alasan kita berdiam di pantai."
Lanjut ia berpesan: "kelak jika tanah tidak tersedia bagimu di daratan, jangan takut berdiam di laut. Itu juga rumah bagimu. Rawatlah isi yang berdiam di dalamnya." Â Â
20-an tahun berlalu, banyak perubahan terjadi. Aroma kampung telah menghilang. Kampung telah beranjak dewasa dan elok parasnya. Orang-orang pusat dan asing terpikat dengan daya tarik yang bersinar dari padanya. Aku yang kembali pun merasa terasing.
Tergoda dengan paras itu, berbondong-bondonglah mereka bangun rumah yang modelnya asing_di bibir-bibir bukit dan tebing, di pantai. Antara penghuni kampung dan pendatang tidak ada lagi batas, campur baur, tapi tidak mengenal satu dengan yang lain.
Kampung seperti amuba, membelah diri menjadi banyak perkampungan, yang menyambung satu dengan yang lain. Tidak dijumpai lagi jalan setapak, kambing dan babi juga berumah. Orang-orang pun enggan berjalan kaki. Katanya: kampungan.
Aku berjalan di sepanjang pantai yang lautnya telah surut, tanggalkan sandal, agar butir-butir pasir menusuk-nusuk saraf-saraf pada telapak. Amanat ayah dahulu: telapak kaki kita itu pusat saraf yang terhubung dengan bagian-bagian tubuh, jadi jika mau merawat saraf tersebut berjalanlah dengan kaki kosong.
Luka hati saksikan tumpuk-tumpuk sampah. Sepanjang pantai itu, plastik dan botol kaca bertebaran terdampar. Anjing-anjing warga yang kelaparan, mengais-ngais barang-barang itu mencari isinya. Di bawah pohon reo, ada tumpukan sampah yang tak habis dilahap oleh api. Aroma hangus bercampur bau busuk makanan yang tak sempat dilahap api, menyebar di sekitarnya.
Lalu aku terus berlangkah menuju dermaga kayu, penasaran dengan orang-orang yang duduk berdua, kadang bertiga. Semakin dekat, penasaranku semakin disembuhkan. Orang-orang itu sementara memancing.
BACA JUGA:Â Minotaur Labirin Labuan Bajo
Beberapa hari kemudian, rasa ingin tahu mendorong aku mencoba. Aku bersama seorang teman melangkahkan kaki ke pelabuhan. Dengan modal 10 ribu, sekantong ikan teri, kami jadikan umpan. Sepanjang malam duduk menanti ikan melahap umpan di kail.
2 jam berselang, senar teman mengencang seperti ditarik ikan. Wajah girang muncul, lalu dengan semangatnya ia menarik senar. Pupus. Yang didapatnya sepotong celana alas sobek. 5 menit kemudian, senarnya kembali mengencang, ia menarik senar itu dengan buru-buru. Lagi-lagi, yang didapatnya sampah, plastik kantong hitam.