Dini hari, sebelum ayam bangun, Bertus tergesa-gesa ayunkan langkah tinggalkan kampung. Ia menjinjit-jinjit seperti kucing keluar rumah, tidak berisik di antara gang-gang rumah dan gubuk. Ia takut, jangan-jangan orang melihat dan menangkapnya. Bawaannya hanya pakaian di tubuh dan tas di punggung.
Ia menuruni perbukitan kapur, berkelok-kelok, dan berbatuan tajam. Bagi dirinya, ini sudah biasa. Kaki dan lilitan urat di sekujur tubuhnya sudah telaten memanggul beban dan nasib. Pikirannya hanya tertuju ke dermaga Reo. Di situ, dari yang didengarnya kemarin dari tetangga, kapal menuju Surabaya akan berangkat pagi-pagi.
Di punggungnya, ijasah S1 dan uang 15 juta dari orang-orang PT sudah bisa menjamin hidupnya di tanah rantau. Keputusannya ini adalah yang terbaik. Ia tidak mau mati sia-sia di sini, dan menanggung malu atas perjuangannya. Ia tahu, usahanya tidak akan pernah bisa meyakinkan warga kampungnya untuk menerima orang-orang PT. Warganya lebih percaya dengan Gereja dibanding dirinya.
Sebelum naikkan kaki di tangga kapal, ia ambil Hp-nya membuka aplikasi e-katolik dan mendapatkan kitab Mazmur 91. Seperti ingin melepaskan segala kutukan, bencana, dan kesialan, ia membaca Kitab itu dengan kidmat.
"Tempat perlindunganku dan kubu pertahananku, Allahku, yang kupercayai. Sungguh, Dialah yang akan melepaskan aku dari jerat penangkap burung, dari penyakit sampar yang busuk".
***
"Pokoknya aku jual bagianku di Golo Lolok. Toe ngance todo apa-apa nitu. Konem weri sampe ngger wa ulu, toe keta kin," Bertus serukan keputusannya di hadapan pertemuan kampung di mbaru gendang.
"Bertus, lancang sekali kamu. Apa kamu tidak sadar, caramu itu tidak menghargai leluhurmu. Ingat pesan bapa, kita tidak pernah diperintahkan untuk menjualkan tanah. Semiskin apapun kita, tanah tidak akan pernah menjadi alat tukar untuk mendapatkan uang," Sipri menerangkan nasihat ayah dan leluhur dengan marah-marah. Nasihat yang turun temurun dituturkan.
Bertus dan Sipri tetap berbeda pendapat. Akibat pertemuan itu, warga Satar Lolok terbelah menjadi dua kubu. Mereka berbeda pendapat tentang tanah yang berisi batu-batu putih dan hitam, yang selama ini diinjak-injak dan diremehkan. Di dalam rumah, ayah dan anak, kakak dan adik, antara para tetua, masing-masing berpihak pada pilihannya. Sejak itu pun, di sore hari, halaman natas yang biasanya ramai bertanding voli, yang dihiasi kejar-kejaran anak-anak, dan yang berseri-seri dengan keakraban para tetua, berubah sepi dan diam. Kampung seolah-olah tanpa penghuni.
Golo Lolok, lingko milik warga Satar Lolok, memang tidak bisa ditanami tanaman pertanian. Dari permulaan leluhur menghuni, tak ada yang berkebun di sana. Dan, sekeras apapun usaha dan peralatan pacul, skop, bancik, dan kope yang digunakan, barang-barang itu tidak akan mempan menembusi tanah. Golo Lolok ibarat tanah mati, yang dibiarkan terlantar di antara lingko-lingko lainnya.
Golo Lolok, bila dipandang mata dari sudut kampung, mulai dari kakinya di pantai, hingga di puncak tertinggi, akan terlihat jelas hamparan batu-batu menutupi tanah putih itu. Tumbuhannya hanya varietas tahan panas, yang tumbuh tanpa ditanam, seperti alang-alang, rumput liar, lamtoro, bidara, kaweng, kesambi, dan jati. Hanya saat musim hujan, warnanya sedikit berubah, oleh rumpun-rumput yang menghijau.