Mohon tunggu...
aufa ubaidillah
aufa ubaidillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - pecinta kuliner

hobi membaca menulis dan mengamati manusia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Etika Tidak Membuktikan Apapun Dia Benar atau Salah

27 April 2016   12:04 Diperbarui: 27 April 2016   12:07 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

etika satuislam.org

Ekspresi acap kali dibenturkan dengan kebebasan menikmati. Silahkan telanjang sambil berbelanja ke pasar, tapi jangan salahkan pula jika pantat yang tidak terbungkus itu dilempar Terasi oleh pedagang pecel lele, karena yang telanjang cowok. Telanjang, pamer, mengumbar apapun dari tubuh kita adalah hak privasi, tetapi mata yang melihatnya juga mempunyai hak untuk menikmati. Maka jangan salahkan orang yang selalu berkata, dosa, tidak etis, tidak sopan, kebangetan, karena mereka memang tidak merasakan hak asasi kenikmatan yang seharusnya mereka dapatkan.

Pesan saya, Jangan langsung tuduh mereka tidak modern, kolot, katrok, mungkin saja karena kulitmu yang penuh panu itulah penyebabnya.

Ilustrasi membingungkan diatas hanyalah gambaran, betapa logika begitu lihai mencari pembenaran yang memang terasa benar, atau bahkan memang benar adanya.

Berbicara soal etika, sama halnya membicarakan definisi rasa manis gula. Tidak ada satupun manusia yang mampu mendevinisikan secara tepat apa itu rasa manis. Kecuali hanya jawaban yang tidak mewakili divinisi, contoh: apa definisi rasa manis? Manis itu adalah tidak asin. Terdengar parodi bukan! Jawaban yang seharusnya membutuhkan penjelasan yang mampu menerangkan secara lugas dan menutup kemungkinan adanya tafsir atas kalimat tersebut, malah dijawab dengan  kalimat negatif “tidak”.

Etika sudah menjadi bahasan ribuan tahun filsuf tempo dulu, jauh sebelum tahun masehi ditetapkan sebagai penanggalan resmi didunia. Kenapa harus etika? Karena kita manusia. Jawabannya Simpel sekali bukan! Seumur hidup belum pernah saya menemukan ayam berbeda cara makan ketika makan bulir padi, atau ketika mengais sisa nasi yang dibuang. Atau ayam jago yang tiba - tiba menghentikan kebiasaannya makan butir padi langsung dengan paruhnya, karena dianggap tidak sopan, tidak mewakili satupun etika dan tata kehidupan kehewanan. Dibelahan bumi manapun, tidak pernah ada satupun ayam makan memakai sendok.

so, saya harap anda tidak memperdebatkan contoh diatas dengan kepantasan atau kerasionalan, sebab tulisan ini memang memang tidak membuat anda lebih rasional.

Kembali soal etika, kita akan diajak berputar – putar seperti gasing tanpa bintang tujuh diatasnya. Semakin mendalam dan rasional pembahasan terkait etika, hanya akan ditemukan dua hal yang selalu menyapa, baik buruk, pantas dan tidak, norma dan adat, aturan dan hukuman dan berbagai konsekuensi.

Yang membuatnya menarik adalah, etika bersifat dinamis alias tidak kaku. Anjing adalah hewan yang tidak mempunyai dosa apapun, saya tidak tahu kenapa namanya sering dipakai untuk mengumpat orang, atau memanggil manusia “anjing sini lu” padahal saya tahu namanya bukan anjing, tapi Bull Dog. Atau “tai” yang notabenenya setiap hari pasti kita lihat, selalu ditunggu kehadirannya, dan membuat kita resah jika dia mau pergi dan kita tidak menemukan tempat untuk menyambutnya, sadisss. Apa salahnya ketika saya memanggil “tai” dengan suara lantang! Atau saya meneriakkan kata “Tai” berkali kali ditengah warung makan! Inilah permasalahanya, ambiguitas dalam menentukan kepantasan. Karena itulah manusia dibekali intuisi untuk melakukan tindakan yang tidak selalu harus dilogikakan, hanya perlu “perasaan” cukup dengan “menurut saya ini tidak pantas saya lakukan”.

Betapa sering kita mengatakan “dasar orang tidak beretika”, padahal dia tidak melakukan apapun yang melanggar hukum. Tetapi kenapa kita bisa memberinya label “tidak beretika”, lalu siapa yang telah mengajarkan kita versi ideal tentang etika!

Karena etika bersifat dinamis, dia bersifat subjektif dan relatif.  Etika dapat berubah cepat karena terus berinteraksi dengan kondisi dan lingkungan. Bagi orang pacaran, ciuman adalah hal wajar (bukti etika dinamis, terkait kepantasan, padahal 20 tahun lalu merupakan hal yang tabu dilakukan) jika dilakukan ditempat tertutup. Ketika saya diwarnet, pas didepan muka  ada pelajar SMP yang ciuman tanpa penutup apapun, anjing ini orang (kasihan si anjing dibawa bawa), dalam hati bilang “buset, gua nih orang, bukan seprei ”. Sambil sedikit berteriak, Saya tegurlah dia, anak siapa kamu! Dasar anak tidak sopan!, kenapa mendahului yang lebih tua, saya kan juga kepinging – nggak... nggak... nggak saya cuma bercanda – terbukti sudah bahwa etika sangat dinamis.

Bagi orang jawa timur khususnya Surabaya dan sekitarnya, ada umpatan yang khas dan selalu terdengar "Jancok". Jancok tidak melulu bernilai umpatan setara anjing (anjing lagi, anjing lagi), bagi saya dan warga surabaya pada umumnya dia lebih halus dan mempunyai semacam ikatan kekeluargaan yang kuat untuk mengungkapkan keakraban dan kedekatan emosional "jancok, gimana kabarmu, lama tidak bertemu". atau berarti memuji " jancok, istrimu cantik banget, ketemu dimana kamu" atau luapan amarah penuh emosi "jancok! kata katamu tidak enak didengar".  

Karena etika bersifat dinamis, subjektif dan sangat relatif, dia tidak bisa dijadikan patokan benar atau salah. Nilailah orang dari apa yang dia hasilkan, bukan dari apa yang dia bicarakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun