Mohon tunggu...
ilham aufa
ilham aufa Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta, Penulis Lepas

Masih Belajar dan Terus Belajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tepuk Tangan Ibu

11 September 2016   12:00 Diperbarui: 11 September 2016   21:42 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu diantara kedua cucunya. Foto diambil 8 tahun lalu (dokumen pribadi)

Ibu selalu punya perintah yang dilupakan. Selagi ingat, ia selalu memanggil anak-anak yang tak jauh dari matanya. Jika dekat, ia cukup menunjuk apa yang diperintah. Jika tak kelihatan di mata, beliau cukup memanggil sebuah nama dari sekian deret nama anak-anaknya. Ada isyarat perintah lainnya yang agak sakral, Tepuk Tangan.

***

Kami sebenarnya saudara berenam. Empat laki-laki dan dua perempuan. Namun karena yang tertua sedang menempuh pendidikan di pesantren, maka aktivitas di rumah hanya berisi lima anak dan seorang ibu

Saya anak ketiga dari garis bapak, dan sekaligus menjadi anak kedua dari ibu. Kehidupan kami layaknya kehidupan warga masyarakat lainnya, kecuali kami adalah anak-anak yatim yang ditinggal bapaknya saat si sulung baru berusia tiga belas tahun, sementara yang paling kecil baru tiga bulan menghirup udara dunia.

Kami berenam yang belum tahu apa-apa tentang kehidupan dunia, harus diampu oleh ibu yang usianya juga masih belia untuk ukuran ibu rumah tangga sekarang. Waktu itu, beliau mungkin di sekitaran umur 26 tahun.

Kami tak pernah protes pada Tuhan, karena mungkin kami waktu itu tak tahu apa itu protes. Justru limpahan kasih sayang para tetangga dan teman-teman bapak yang silih berganti bersilaturahmi menenangkan dan menentramkan kami. 

Bapak mewujud dalam rupa kasih sayang orang-orang di sekitar kami yang tak pernah putus. Bahkan, itu terus terjadi sampai sekarang. Setelah 33 tahun yang lalu.

***

Ibu dengan segala aktivitasnya bekerja keras untuk kebahagiaan kami. Semua dikerjakan, semua dilakukan. Toh, pekerjaan halal banyak terbentang. Dan selalu saja rejeki datang silih berganti tak pernah putus.

Karena banyaknya pekerjaan yang dilakukan oleh sang Ibu, maka secara otomatis pekerjaan rumah tak sepenuhnya bisa diselesaikan. Anak-anaknyalah yang kemudian berperan penting membantu membereskan tugas-tugas “perumahan”. Cuci piring, menyapu lantai rumah, bersih-bersih halaman, lap kaca dan berbagai aktivitas rumah tangga.

Dasar sifat anak yang belum beranjak dewasa, selalu saja ada penolakan saat perintah itu menggema di dekat telinga. Meski pada akhirnya, harus tetap dikerjakan dengan muka kusut tanda tak ikhlas. 

Di lain waktu, kadang ada pekerjaan-pekerjaan rumah yang membuat rasa iri antar-saudara. Pasalnya, kadang tak sengaja terjadi penumpukan perintah terhadap satu anak. Sementara yang anak yang lainnya sedang asik dengan mainannya di sudut rumah.

Maka, segala jenis keluhan, aduan, omelan dan doa-doa lucu dari anak-anaknya itu selalu saja hadir setiap hari. 

“Kok aku lagi. Itu tuh mas lagi tiduran,”

“Tanganku cuma dua, bu. Yang ini belum selesai. Adek tuh lagi asik nonton TV mulu.”

“Ya Allah, kenapa seperti ada pelumas di lidah Ibu. Begitu mudahnya namaku selalu dipanggil ibu untuk menerima perintahmu. Adakah nama-nama saudaraku lainnya susah untuk diucapkan?”

Masih banyak kalimat-kalimat lain yang mewarnai kehidupan kami sehari-hari. Dan ibu hanya tertawa kecil saat mendengar ucapan anak-anaknya itu.

***

Akibat terlalu banyaknya pekerjaan yang dikerjakan, selalu saja ada yang banyak terlupakan oleh ibu. Saat teringat pada sesuatu yang terlupa, ada bunyi unik yang berasal dari arah ibu berada.

Kami baru sadar setelah sekian lama. Selalu ada suara tepuk tangan dari dalam kamar. Selalu berbunyi saat ibu persis selesai mengucap salam tanda berakhir shalat.

Tepuk tangan itu sakral. Tak ada yang berani menolak untuk menanggapi. Di antara kami, selalu sedia untuk datang ke kamar ibu untuk menanyakan tentang hal penting yang mesti dikerjakan. Jika tak ada yang menanggapi, maka tepuk tangan semakin keras, melebihi dua kali volume suara TV di tengah.

Namun, lagi-lagi kami adalah bocah yang masih senang dengan keasikan permainan. Saat anak-anak sedang berkumpul di ruang tengah, dan tiba-tiba ada suara tepuk tangan, sikap kami yang pertama adalah diam. Saling menunggu, memandang dan tersenyum kecil. Seakan ada kesepakatan, yang terdekat dengan kamar ibu, yang punya kewajiban untuk menghadap. Menghadap berarti siap melaksanakan perintah ini dan itu. Saat itu juga. 

Saat di antara kami sudah ada yang masuk ke kamar ibu, yang lain pun berhamburan dan cepat menghilang. Bukan menghindar dari perintah lanjutan dari ibu, karena itu pasti dosa. Tetapi memang sengaja memberikan kesempatan yang menemui ibu untuk melaksanakan perintahnya secara paripurna. Tanpa perlu membagi pahala dengan saudara-saudara lainnya. :)

I love you, bu’

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun