Di lain waktu, kadang ada pekerjaan-pekerjaan rumah yang membuat rasa iri antar-saudara. Pasalnya, kadang tak sengaja terjadi penumpukan perintah terhadap satu anak. Sementara yang anak yang lainnya sedang asik dengan mainannya di sudut rumah.
Maka, segala jenis keluhan, aduan, omelan dan doa-doa lucu dari anak-anaknya itu selalu saja hadir setiap hari.
“Kok aku lagi. Itu tuh mas lagi tiduran,”
“Tanganku cuma dua, bu. Yang ini belum selesai. Adek tuh lagi asik nonton TV mulu.”
“Ya Allah, kenapa seperti ada pelumas di lidah Ibu. Begitu mudahnya namaku selalu dipanggil ibu untuk menerima perintahmu. Adakah nama-nama saudaraku lainnya susah untuk diucapkan?”
Masih banyak kalimat-kalimat lain yang mewarnai kehidupan kami sehari-hari. Dan ibu hanya tertawa kecil saat mendengar ucapan anak-anaknya itu.
***
Akibat terlalu banyaknya pekerjaan yang dikerjakan, selalu saja ada yang banyak terlupakan oleh ibu. Saat teringat pada sesuatu yang terlupa, ada bunyi unik yang berasal dari arah ibu berada.
Kami baru sadar setelah sekian lama. Selalu ada suara tepuk tangan dari dalam kamar. Selalu berbunyi saat ibu persis selesai mengucap salam tanda berakhir shalat.
Tepuk tangan itu sakral. Tak ada yang berani menolak untuk menanggapi. Di antara kami, selalu sedia untuk datang ke kamar ibu untuk menanyakan tentang hal penting yang mesti dikerjakan. Jika tak ada yang menanggapi, maka tepuk tangan semakin keras, melebihi dua kali volume suara TV di tengah.
Namun, lagi-lagi kami adalah bocah yang masih senang dengan keasikan permainan. Saat anak-anak sedang berkumpul di ruang tengah, dan tiba-tiba ada suara tepuk tangan, sikap kami yang pertama adalah diam. Saling menunggu, memandang dan tersenyum kecil. Seakan ada kesepakatan, yang terdekat dengan kamar ibu, yang punya kewajiban untuk menghadap. Menghadap berarti siap melaksanakan perintah ini dan itu. Saat itu juga.