Jangan sok tahu kalau memang benar-benar tak tahu. Kalau Anda tak benar-benar tahu, tanyalah dan lengkapi pengetahuanmu. Bila tak peduli, dan sok mengerti. Anda akan tahu akibatnya.
**
Mulanya adalah niat baik. Sebagai suami yang penuh kasih sayang terhadap keluarga, maka sekurang apapun yang dimiliki, tak baik itu muncul terlihat di hadapan pasangan hidup kita. Maka, saat istri sedang tak enak badan, maka tugas sebagai suami menjadi bertambah. Berperan sebagai bapak dan ibu bagi anak-anaknya yang sedang sehat-sehatnya.
Kejadiaannya beberapa tahun lalu. Saat itu sedang bulan puasa. Bagi saya dan anak-anak saya, mungkin juga bagi yang lainnya, puasa adalah bulan kehangatan untuk keluarga. Sahur adalah waktu bersama, berbuka pun adalah penantian seluruh penghuni keluarga.
Di saat sehat, semua berjalan normal. Sesuai dengan tugasnya, sang Bapak tetap bekerja, namun durasi kepulangan lebih dipercepat sebelum azan magrib berkumandang. Malam bertarawih mengajak sang kecil yang laki-laki, dilanjutkan tadarus bersama bapak-bapak se-RT sembari titip sayang pada istri untuk memaklumi jika pulang malam.
Sang istri pun sama. Bangun tidur untuk menyiapkan sahur di saat saya dan anak-anak masih lelap. Membangunkan seluruh penghuni keluarga di saat masakan sudah terhidang. Siang istirahat secukupnya. Di waktu sore, siapkan makanan berbuka sembari mencari tambahan remah-remah.
Nah, saat istri sedang tak bisa maksimal menjalankan tugasnya, adalah peran suami untuk menutupi ketidakmampuannya. Kalaulah sahur, bisa makan seadanya. Cukup dengan ayam bumbu yang sebenarnya tinggal digoreng. Atau sebelum tidur tengok takaran nasi,apakah cukup untuk satu keluarga.
Di saat berbuka, tentu juga harusnya tak ada bedanya. Namun sebenarnya, lebih mudah dalam hal lauk dan pauk. Keberadaan pasar dadakan sore di sekitaran masjid besar di komplek kami,memudahkan memilih aneka lauk, dari yang biasa sampai yang luar biasa. Dari yang murah sampai yang agak-agak mahal sedikit.
Gorengan tentu menjadi menu wajib. Tak boleh disia-siakan, meski yang menikmati cuma saya sahaja.
Maka dibungkuslah lima buah macam pembelian di beberapa lapak yang ada. “Saya rasa lebih dari cukup,”ungkap saya.
Dengan penuh semangat, sembari membonceng anak-anak yang sore itu turut serta, kembalilah kita ke rumah yang jaraknya tak seberapa. Anak-anak seperti biasa tetap ceria di sore menjelang berbuka itu sembari menikmati keramaian lalu lalang pejalan dan pedagang.
Istriku yang sedang dalam pesakitan menyambutku dengan riang. Raut mukanya penuh dengan kebahagiaan, melihat aku dan anak-anakku menyelesaikan tugasnya untuk menyiapkan makan berbuka.
Dengan berbinar-binar, dibukalah bungkusan itu satu per satu.
Alis sebelah kanan istri tib-tiba sedikit naik ke atas. “Lho kok tahu semua?”
“Masa sih?” tanya saya.
“Lha ini apa? Tahu Goreng, Tahu petis, Sayur Tahu, Orek Tahu, Tahu Mentah”
“????”
***
Hikmahnya, (satu) Bertanyalah lebih dahulu apa saja yang pantas untuk disajikan sebelum ditentukan. (dua) Ternyata apapun yang kita suka, kadang tak bisa disatukan waktu, apalagi dalam satu meja. (tiga) Pengetahuan suami terhadap pekerjaan istri itu terbatas, maka cukuplah untuk mengetahui pekerjaan pasanganmu, atau kalaulah tak mengerti, mintalah mereka beraktivitas dengan "sepengetahuan" suami, agar suami punya pengetahuan dan tahu akan istrimu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H