Pendahuluan
     Sejak kecil, Ibu saya telah mengajarkan kepada saya bahwa apabila saya membaca suatu berita maka saya harus membaca beberapa referensi lainnya. Kemudian, apakah berita tersebut disertai disertai nama penulis , institusi dan referensi yang jelas. Lalu , apakah penulis maupun institusinya serta referensinya terpercaya dan mempunyai reputasi yang baik.
     Lebih lanjut, apakah berita tersebut dibandingkan dengan beberapa referensi lainnya saling terkait dan mendukung atau sebaliknya bertolak belakang. Barulah, saya dapat menyimpulkan apakah berita tersebut mendekati kebenaran atau tidak.
     Itulah sebabnya, jika saya membaca suatu berita di koran atau mass media lainnya, apalagi berita di internet yang dapat direkayasa dengan cepat tanpa pemeriksaan editor, saya tidak percaya begitu saja. Saya pasti mencari referensi atau bukti lainnya untuk membuktikan kebenaran berita tersebut.
     Begitu pula dengan berita – berita yang terkait dengan Bapak Basuki Tjahaja Purnama atau yang sering dipanggil dengan sebutan Pak Ahok.
     Banyak berita yang telah beredar, baik di koran maupun internet yang menyatakan bahwa sejak Pak Jokowi bertugas sebagai Gubernur Propinsi DKI Jakarta pada tahun 2012 yang dilanjutkan oleh Pak Ahok pada tahun 2014 maka telah terdapat perubahan yang signifikan di Jakarta di beberapa bidang. Bahkan, pemerintahan wilayah lainnya pun seperti Detabek tidak mau ketinggalan dan mulai menerapkan perbaikan yang telah dilakukan Pemprov DKI selama 4 tahun terakhir ini. Â
     Saya membaca berita-berita tersebut , apalagi yang berhubungan dengan infrastruktur, transportasi umum dan kebersihan , dengan skeptis mengingat sejak kecil saya telah membaca berita-berita semacam itu di tiap berjalannya pemerintahan yang baru maupun lama baik di pusat maupun daerah.  Kenyataan yang saya sering temukan di lapangan adalah tidaklah sebagus dengan yang diberitakan.
Infrastruktur
     Pada bulan April 2016, saya terjebak macet di Jl. Rawajati Timur yang terletak di Kalibata, Jakarta selama hampir 2 jam. Padahal , jalan tersebut biasanya cukup dilalui selama kurang lebih 10 menit walau harus melintas rel commuter line sekalipun.
     Ternyata , kemacetan bersumber dari adanya lubang di JL. Purbaya , tepat di dekat rel commuter line . Sehingga , baik mobil maupun motor harus menghindari lubang jalan tersebut satu persatu sebelum melintas rel commuter line. Saya hanya dapat menghela napas panjang dan berpikir keras untuk alternatif jalan lainnya jika saya harus ke Kalibata lagi pada keesokan harinya.
     Namun , keesokannya, saya terpaksa harus melewati lagi jalan tersebut. Dengan cemas, saya memutar balik mobil dari arah Jl. Raya Pasar Minggu untuk pergi ke arah Jl. Purbaya. Betapa kagetnya saya, ketika mobil dan motor melintas jalur rel commuter line dengan lancar.
      Ternyata, lubang jalan di jalan tersebut telah ditambal dengan semen dan aspal !
Belum pernah, saya mengalami hal seperti itu di wilayah Jabodetabek dimana perbaikan jalan dilakukan secepat itu.
Berarti, penerapan program aplikasi Qlue dari Pemprov DKI Jakarta yang dimulai pada tahun 2015, yang telah saya baca di koran dan mass media lainnya , ternyata berjalan dengan semestinya.
Transportasi Umum & Kebersihan
      Kendaraan umum adalah alternatif saya yang terakhir jika hendak bepergian di wilayah Jabodetabek. Selain jadwalnya tidak jelas dan tepat waktu , kebersihan dan keamanannya memprihatinkan serta pada umumnya, para penumpang tidak tertib dalam antrian dan jarang yang mempunyai etika dan sopan santun untuk memberikan tempat duduk terutama kepada para bapak dan ibu lanjut usia.
      Pada bulan Juli 2016, saya dan Ibu saya bepergian ke Cianjur untuk pertama kalinya  dengan commuter line dari stasiun Lenteng Agung ke Bogor , kemudian dilanjutkan dengan kereta api ke Cianjur. Lalu, pada bulan Januari 2017, saya dan Ibu saya naik commuter line dari stasiun Lenteng Agung ke stasiun Sawah Besar di dekat Kota Tua, Jakarta.
      Dalam bayangan saya, stasiun-stasiun ini pasti penuh sesak dan hiruk pikuk serta kebersihannya tidak keruan. Ternyata, baik stasiun Lenteng Agung dan stasiun Sawah Besar sudah lumayan bersih dan tertib untuk standar Jabodetabek, daripada sebelumnya, baik dari pelataran parkir sampai area peron.
       Lalu, tidak ada lagi penumpang yang duduk di atap kereta dan berdiri menjulurkan kepala keluar pintu gerbong yang terbuka. Bahkan, terdapat petugas di gerbong khusus perempuan untuk menjaga keamanan.
       Walau masih berdesak-desakan di dalam gerbong tersebut, namun beberapa penumpang ternyata mau memberikan tempat duduk kepada Ibu saya. Bahkan,ada yang menawarkan tempat duduknya ke saya yang sudah beruban  , walau saya belum mencapai 50 tahun sekalipun . Tentu saja , saya tolak tawaran tersebut karena saya masih sehat dan bisa berdiri dengan lama. Â
       Demikian juga , ketika saya dan Ibu saya naik busway dari halte Sawah Besar menuju Blok M. Kondisi halte dan busnya cukup bersih untuk standar Jabodetabek dan terdapat petugas yang mengarahkan duduknya penumpang sehingga ketertiban berjalan dengan semestinya. Ibu saya pun mendapat tempat duduk dari seorang penumpang dan lagi-lagi saya pun ditawari tempat duduk dan tentu saja saya tolak.
       Namun, yang sangat mengejutkan saya adalah ketika sedang menunggu busway di halte Sawah Besar. Untuk pertama kalinya , sejak saya kecil, saya melihat sungai / kali Batang Hari yang mengalir di antara Jl. Hayam Wuruk dan Jl. Gajah Mada di Jakarta,  sudah tidak banyak sampah lagi bahkan tidak terhirup bau yang busuk dari kali tersebut !
       Kalaupun, airnya berwarna coklat, hal itu disebabkan oleh endapan lumpur hasil erosi di wilayah pengaliran sebelumnya. Sungguh amat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya dimana bau busuk dari kontaminasi limbah di sungai / kali Batang Hari , dapat terhirup walau di dalam mobil yang tertutup kaca sekalipun !
Akhir Kata
       Saya tidak pernah berbicara langsung dengan Pak Ahok, jadi saya tidak dapat menilai  esensi yang dikatakan oleh Pak Ahok walau dengan intonasi suara yang keras, kasar atau halus sekalipun. Karena , banyak esensi yang baik tersembunyi di balik intonasi suara yang keras dan kasar tetapi banyak esensi yang jahat tersamarkan oleh intonasi suara yang halus dan manis.
       Banyak berita telah menyatakan  bahwa Pak Ahok tidak bijak dan kasar dalam bertutur kata. Terus terang, saya tidak pernah mengerti dengan jelas hal yang sedang dibicarakan oleh Pak Ahok jika saya melihatnya di televisi karena penuturannya dalam Bahasa Indonesia tidak keruan strukturnya.  Saya harus melihat tayangan televisi berulang kali baru memahami perkataannya.
      Namun, yang saya tahu pasti adalah, yaitu, saya telah melihat dengan mata kepala sendiri dan tidak lagi mendengar dari orang lain atau hanya dengan membaca dari berita, bahwa memang benar Pemprov DKI dibawah kepemimpinan Pak Ahok telah memperbaiki beberapa bidang seperti infrastruktur, transportasi umum dan kebersihan di Jakarta khususnya,  walau kecil dan sederhana sekalipun , dengan hasil  yang lebih baik , dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya.
      Karena , siapa yang setia dalam perkara kecil , akan setia dalam perkara besar.
Siapa yang tidak setia dalam perkara kecil, tidak akan setia dalam perkara besar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H