Mohon tunggu...
Audrey Pasha
Audrey Pasha Mohon Tunggu... Penulis - Pelajar

Hobi: menulis, travelling

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perjodohan

12 Oktober 2023   16:14 Diperbarui: 23 Oktober 2023   11:16 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Pixabay/ Myriams-Fotos)

Dua cangkir minuman pembuka dihidangkan di atas meja marmer. Ruangan berwarna putih dengan gaya minimalis, dua buah kursi mahal yang didatangkan dari Itali, juga lampu kristal yang menggantung indah.

Bulan purnama memantul dari kaca pembatas, bersinar cerah, menyentuh dedaunan yang menghijau di sepanjang taman, seolah mendukung pertemuanku dengan Anthony, pria tampan yang dipilih ayahku untuk menjadi suami. Perjodohan yang tidak masuk akal.

Gaun berwarna merah darah dengan belahan dada rendah sepanjang mata kaki, dilengkapi kalung berliontin batu permata berwana senada. Rambutku yang ikal tergerai panjang menutupi punggung. Aku bukanlah wanita buruk rupa. Kulitku berwarna kuning langsat, mataku teduh menyiratkan kelembutan seorang wanita. Tubuhku ramping dengan lekukan yang menawan, bibirku merah jambu dengan senyuman yang hangat.

Aku dipuja banyak pria, diinginkan banyak orang tua untuk segera dipinang. Kecerdasanku di atas normal. Aku memiliki perusahaan di banyak negara. Aku memiliki banyak uang, memiliki kekuasaan atas hidupku sendiri. Aku memiliki segalanya, segala yang diinginkan oleh wanita seusiaku di luar sana.

Namun semua itu tidak ada artinya di mata ayahku. Ia memandangku seperti gadis manja yang membutuhkan pendamping. Seorang pria yang mencintaiku dengan tulus, memperlakukanku seperti ayahku memperlakukan ibuku, dan itu semua omong kosong belaka. Sepanjang hidup yang kujalani hingga saat ini, aku tidak pernah bertemu dengan pria yang memiliki hati seputih salju. Semua pria yang mendekatiku adalah untuk sebuah kepentingan belaka. Kepentingan untuk bekerjasama menghasilkan pundi-pundi uang. Kepentingan untuk menumpang pada ketenaranku.

Entah berapa banyak pria yang diperkenalkan ayahku kepadaku. Mereka didatangkan dari segala penjuru, yang kurasa adalah anak dari teman-temannya, atau mungkin pemilik perusahaan yang kebetulan memiliki kerjasama bisnis.

Aku tidak membutuhkan semua itu. Aku tidak membutuhkan suami, aku tidak membutuhkan pria untuk mendampingiku. Aku sudah memiliki segalanya dan jika aku kesepian, aku bisa menghubungi siapapun yang kumau untuk menemaniku. Uang bisa menyelesaikan segalanya.

Anthony adalah pria kesekian yang dihadirkan oleh ayahku. Ia yang mengatur pertemuanku dengan pria yang saat ini duduk di hadapanku. Pria berkemeja putih dengan kancing yang dibiarkan terbuka di bagian atas, memperlihatkan dadanya yang berotot, berkulit bersih, dan beraroma maskulin.

Wajahnya terlihat dingin. Matanya menatapku tak berkedip, seolah hendak menantangku bertarung. Kurasa ia pun terpaksa mengundangku datang ke kediamannya. Ayahku mungkin membayar mahal atas pertemuan malam ini.

Aku membalas tatapannya. Aku bukanlah perempuan penakut. Aku memiliki senjata api yang kusimpan di dalam tas, juga sebilah pisau yang kusembunyikan di balik gaunku. Kapanpun pria itu hendak menyerangku, pada saat itulah aku akan memberinya pelajaran berharga yang tidak akan pernah ia lupakan sepanjang hidupnya.

Tiga orang pelayan berpakaian formal datang membawa baki berisi makanan. Aku bahkan belum meneguk minuman pembuka. Anthony masih dalam posisinya, menatap tajam, seolah gencatan senjata akan segera dimulai.

Makanan mahal yang dihidangkan di atas meja tidak membuatku bergeming. Aku bahkan tidak akan mencicipinya sebelum Anthony melakukannya. Aku memiliki banyak musuh, aku orang terpandang dan disegani, siapapun bisa saja membunuhku dengan racun. Dan aku tidak suka berspekulasi secara sembrono. Aku harus memastikan keselamatanku terutama setelah Anthony melarang pengawal pribadiku memasuki ruangan ini bersamaku.

Pria bertampang dingin itu mengambil sepotong daging asap untuk diletakkannya di atas piring. Sembari menusukkan garpunya, ia menatapku tajam. Kurasa ia tahu jika aku mencurigai makanan itu beracun. Anthony memasukkan potongan daging ke dalam mulutnya lalu mengulaskan senyuman licik ke arahku.

"Makanan ini tidak beracun. Aku bukan orang bodoh yang akan membunuhmu di kediamanku, Nona Margareth."

Aku menatapnya tajam, membalasnya dengan senyuman memikat penuh rayuan, lalu mengambil sepotong daging asap di hadapanku, untuk kupindahkan ke piring porselin. Aku menyantap potongan daging itu, bukan karena lapar, namun memberi sedikit penghormatan bagi tuan rumah.

"Daging asap berbumbu rempah. Koki yang pintar." Ucapku memberi pujian. Bukan untuk Anthony, melainkan sang juru masak. Aku tidak sedang berbasa-basi. Aku akan mengatakan apapun yang ingin kukatakan, tak peduli apakah orang lain akan menyukai ucapanku, atau tidak.

"Kau wanita yang sangat menawan, Nona Margareth. Aku tidak tahu mengapa sampai saat ini kau belum memiliki kekasih. Atau kurasa, kau sudah memilikinya namun menyembunyikannya dari ayahmu."

"Pujian yang dilontarkan dengan tatapan tajam seperti seekor srigala tentu saja tidak akan terdengar indah." Sembari memasukkan sepotong daging, aku kembali melirik Anthony, sekedar untuk melihat reaksinya. Tidak ada. Mimik wajahnya masih tetap sama. Arogan, dingin, dan memikat.

"Aku akan menerimamu sebagai istri. Tentu saja ada syarat yang harus kau penuhi."

Aku tercekat. Ucapan yang sangat merendahkan harga diriku sebagai perempuan. Aku sama sekali tidak ingin menjadi istrinya, bahkan kekasihnya pun tidak. Ayahku pasti sudah melakukan kesalahan dengan memperkenalkan pria arogan ini kepadaku.

"Bukan syarat yang sulit. Aku hanya meminta kesetiaanmu. Karena wanita sepertimu, bisa saja membawa pria lain ke atas tempat tidurku. Kau hanya perlu merogoh sakumu lalu membayarnya."

Bodoh sekali. Aku bahkan tidak pernah berpikir untuk membayar seorang pria hanya demi memuaskan hasratku. Mereka, siapapun yang kuinginkan, akan datang dengan sukarela. Margareth adalah wanita tercantik yang diinginkan semua pria.

Lagipula, Anthony memang sedang menghinaku. Pandangan matanya menyusuri tubuhku yang terlihat dari posisinya, lalu kembali ke mataku yang melihatnya dengan tatapan mengancam. Aku ingin sekali mengiris kulitnya dan menyerahkannya pada anjing mungil berbulu coklat yang duduk di sudut ruangan.

"Jika kau bersedia memenuhi syarat yang kuajukan, malam ini juga aku akan menghubungi ayahmu. Aku akan meminta asisten pribadiku untuk menyusun jadwal pernikahan kita secepatnya. Minggu depan kurasa adalah pilihan yang sangat baik."

Aku meneguk secangkir minuman yang tidak lagi hangat. Acara makan malam sudah selesai. Tidak ada lagi yang perlu dilanjutkan. Aku didatangkan ke tempat ini hanya untuk mendapatkan hinaan.   

"Tuan Anthony, terima kasih atas makan malamnya. Aku bukanlah wanita yang pantas untuk kau nikahi. Aku memiliki banyak kekasih, aku tidur dengan pria manapun yang kuinginkan, dan aku benci pada anjing, terutama yang berbulu coklat." Sembari melirik anjing yang meringkuk malas di sudut ruangan, aku berdiri, melangkah berjalan menuju pintu.

"Tidak semudah itu keluar dari ruanganku, Nona Margareth."

Saat aku hendak melangkah melewati Anthony, tangannya meraih pinggangku, lalu menarikku padanya. Aku berusaha berdiri, menjaga keseimbangan agar tidak terjatuh di pangkuannya. Menghadapkan tubuhku ke arah Anthony yang masih duduk di posisinya, aku menantangnya untuk bertarung.

"Apa yang kau inginkan? Aku tidak punya banyak waktu."

Anthony berdiri. Posisi kami berhadapan, beradu mata, dengan tanganku yang bersiap melakukan serangan. Senjata api atau pisau bukanlah masalah bagiku. Aku adalah petarung bebas, wanita yang diam-diam merayap di jalanan sempit untuk mencari para lintah yang menghisap darah orang miskin.

"Ayahmu memintaku untuk menikahimu. Tentu saja aku butuh waktu untuk mempertimbangkannya. Kau bukan wanita ideal untuk dijadikan sebagai seorang istri."

Darahku mendidih. Jantungku berdegup menahan amarah, tanganku terkepal hendak menghantam tubuhnya yang menggoda. Anthony sangat sempurna. Pria yang bisa membawaku pada kesenangan duniawi.

"Aku tidak pernah berkeinginan untuk menikah, apalagi menjadi istri seorang pria sepertimu. Kukira kau sudah mengirim orang untuk mencari tahu tentang diriku."

"Aku tidak meminta pendapatmu, Margareth. Oh, maaf. Nona Margareth. Aku tidak peduli apakah kau mau menikah atau tidak. Aku hanya peduli pada keinginanku semata, sama seperti yang kau lakukan selama ini kepada keluargamu, juga rekan-rekanmu."

"Lalu apa keinginanmu?" Menatap tajam ke arah Anthony, sembari mencuri pandang ke lekukan tubuhnya yang menggoda penglihatanku. Sempurna. Aku bahkan menyukai aroma parfumnya.

"Menikahimu." Pria sombong itu membalas tatapanku, menelusuri lekukan tubuhku dengan matanya yang tajam, lalu berhenti sesaat, menatap bibirku yang lembab.

"Jangan bercanda. Aku bahkan tidak mengenalmu. Aku juga bukan orang yang peduli pada keinginan siapapun, persis seperti yang kau sangkakan kepadaku."

"Aku memiliki kekayaan yang jauh lebih besar darimu, Nona Margareth. Aku bahkan bisa membeli perusahaanmu kapanpun aku mau. Tidak seorangpun bisa mencegah keinginanku."

"Aku tidak peduli dengan kekayaanmu, Anthony. Aku sudah kehilangan respek kepadamu, jadi kurasa, aku tidak perlu memanggilmu dengan sebutan tuan."

"Aku suka saat kau menyebut namaku dengan bibirmu yang indah, Margareth."

"Aku tidak berniat menjual perusahaanku jadi aku tidak takut pada ancamanmu."

"Wanita kesepian."

"Kau salah, Anthony. Bahkan aku teramat sibuk sampai aku harus mengatur waktu untuk sekedar bertemu dengan teman-temanku."

"Karena kau menghabiskan waktu di lorong sempit untuk mengirim orang-orang jahat itu pada kematiannya? Karena kau harus menyelamatkan para gadis yang diperjualbelikan oleh orang tuanya yang keparat? Karena kau harus membawa orang lumpuh ke rumah sakit agar mendapatkan perawatan yang layak? Karena kau harus menolong bayi tak berdosa yang dibuang di tempat sampah?"

Anthony meneduhkan pandangannya, melangkah setapak mendekat padaku, hingga tidak ada ruang lagi bagiku untuk sekedar melepaskan amarahku karena segala pengetahuannya yang lengkap tentang pekerjaanku selama ini.

"Bagaimana kau tahu semua itu?" Ucapanku terdengar begitu lirih, sembari mendongakkan wajahku ke arah Anthony. Begitu dekat, begitu hangat, begitu menggoda.

"Aku tahu apapun tentangmu, Margareth. Kau menampilkan dirimu yang arogan di hadapan kaum kelas atas untuk menciptakan batas, namun kau menampilkan dirimu yang apa adanya saat bersama kaum bawah. Menikahlah denganku. Aku tidak akan melarangmu melakukan kesenanganmu, Margareth. Aku tidak akan merasa jijik saat kau bergelung bersama orang-orang yang dipandang rendah hanya karena mereka miskin."

Aku terdiam. Kupandangi Anthony yang begitu lekat, kupelajari garis wajahnya, kusentuh dadanya yang bidang. Dan saat kudapati sebuah bekas luka di bagian lehernya, aku teringat pada seorang pria yang menyelamatkanku dari tusukan senjata tajam sang penjagal di lorong gelap.

"Anthony. Kau?"

Pria yang menyembunyikan wajahnya di balik topeng, menyelamatkanku dari kematian, dan membawaku menjauh dari tempat yang paling berbahaya di kota ini. Pria yang memiliki kesamaan denganku. Arogan, dingin, dan memikat.

"Kemiskinan, kemalangan, penderitaan bukanlah hal yang mereka inginkan, Anthony. Nasiblah yang menjadikan mereka harus menjalani hidup seperti demikian. Demikian juga kekayaan, kesenangan, dan kegembiraan yang kita jalani saat ini. Semua hanyalah karena nasib baik, dan aku ingin membaginya bersama mereka yang belum seberuntung kita."

Kubiarkan pria itu menarik pinggangku. Malam ini, aku memutuskan untuk menerima pinangannya. Menemukan sosok pria yang memahami pekerjaanku yang berbahaya dan dipandang aneh oleh kalanganku bukanlah hal yang mudah. Dan ayahku, selalu tahu apa yang aku inginkan selama ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun