Tiga orang pelayan berpakaian formal datang membawa baki berisi makanan. Aku bahkan belum meneguk minuman pembuka. Anthony masih dalam posisinya, menatap tajam, seolah gencatan senjata akan segera dimulai.
Makanan mahal yang dihidangkan di atas meja tidak membuatku bergeming. Aku bahkan tidak akan mencicipinya sebelum Anthony melakukannya. Aku memiliki banyak musuh, aku orang terpandang dan disegani, siapapun bisa saja membunuhku dengan racun. Dan aku tidak suka berspekulasi secara sembrono. Aku harus memastikan keselamatanku terutama setelah Anthony melarang pengawal pribadiku memasuki ruangan ini bersamaku.
Pria bertampang dingin itu mengambil sepotong daging asap untuk diletakkannya di atas piring. Sembari menusukkan garpunya, ia menatapku tajam. Kurasa ia tahu jika aku mencurigai makanan itu beracun. Anthony memasukkan potongan daging ke dalam mulutnya lalu mengulaskan senyuman licik ke arahku.
"Makanan ini tidak beracun. Aku bukan orang bodoh yang akan membunuhmu di kediamanku, Nona Margareth."
Aku menatapnya tajam, membalasnya dengan senyuman memikat penuh rayuan, lalu mengambil sepotong daging asap di hadapanku, untuk kupindahkan ke piring porselin. Aku menyantap potongan daging itu, bukan karena lapar, namun memberi sedikit penghormatan bagi tuan rumah.
"Daging asap berbumbu rempah. Koki yang pintar." Ucapku memberi pujian. Bukan untuk Anthony, melainkan sang juru masak. Aku tidak sedang berbasa-basi. Aku akan mengatakan apapun yang ingin kukatakan, tak peduli apakah orang lain akan menyukai ucapanku, atau tidak.
"Kau wanita yang sangat menawan, Nona Margareth. Aku tidak tahu mengapa sampai saat ini kau belum memiliki kekasih. Atau kurasa, kau sudah memilikinya namun menyembunyikannya dari ayahmu."
"Pujian yang dilontarkan dengan tatapan tajam seperti seekor srigala tentu saja tidak akan terdengar indah." Sembari memasukkan sepotong daging, aku kembali melirik Anthony, sekedar untuk melihat reaksinya. Tidak ada. Mimik wajahnya masih tetap sama. Arogan, dingin, dan memikat.
"Aku akan menerimamu sebagai istri. Tentu saja ada syarat yang harus kau penuhi."
Aku tercekat. Ucapan yang sangat merendahkan harga diriku sebagai perempuan. Aku sama sekali tidak ingin menjadi istrinya, bahkan kekasihnya pun tidak. Ayahku pasti sudah melakukan kesalahan dengan memperkenalkan pria arogan ini kepadaku.
"Bukan syarat yang sulit. Aku hanya meminta kesetiaanmu. Karena wanita sepertimu, bisa saja membawa pria lain ke atas tempat tidurku. Kau hanya perlu merogoh sakumu lalu membayarnya."