Angin berhembus dingin di wajahku. Tanah 20 meter di bawahku akan jadi tempatku melepas nyawa jika aku lakukan sekarang. “Hidupmu masih panjang nak! Jangan putus asa! Ini bukan akhirnya!” Teriak bapak polisi di bawah. Haha. Bukan akhirnya. Ya, bagi mereka memang bukan. Bagiku juga bukan, pada awalnya. Dulu mungkin aku menganggap rendah orang yang membuang hidupnya begitu saja seperti ini. Mengakhiri sebelum seharusnya berakhir. Aku dulu berfikir orang-orang seperti itu berfikiran pendek. Namun itu semua sebelum aku mengalami hal yang sama. Ya…itu dulu…
Aku berjalan menyusuri jalan raya yang cukup ramai. Pagi itu tak setitikpun ada semangat yang menggerakkan tubuhku, hanya ada keterpaksaan. Tugas Presentasi, makalah dan ulangan, aku belum siap untuk hari ini. Yah paling tidak aku sudah menyelesaikan tugas merangkum untuk hari ini. Tetapi tatap saja, bisa kubayangkan wajah guru bak setan menceramahiku hari ini ketika tahu aku tak “menghargainya” dan “menganggap enteng” tugasnya. TIIIN! TIIIN! TIIIN! Klakson motor di belakangku. Aku menoleh. “Woi minggir sana, jangan ngalangin jalan! Dasar bego!” Teriak sang pengemudi. Aku kaget, lalu segera minggir ke samping kiri trotoar menjauhi jalan raya. Pengemudi itu langsung tancap gas, melesat kemudian menghilang di sela-sela mobil jauh di depan. Belum selesai, masih ada beberapa pengendara lain yang juga melintas di atas trotoar.
Heeeh. Kuelus dadaku mencoba sabar. Salah satu cara untuk menghadapi orang bodoh adalah dengan cara tidak menjadi bodoh juga. Kalau sudah terlanjur ikutan jadi bodoh, pasti akan kalah argumen karena kalah pengalaman dengan yang sudah lebih lama jadi orang bodoh. Ya itulah dunia ini. Tak mau kupikir panjang, kupercepat langkahku menuju sekolah.
Aku sampai beberapa menit lebih awal seperti biasanya, cukuplah. Kuberjalan melewati deret-deret kelas lain, menuju ke kelasku sendiri. Suasana di kelasku masih sepi, hanya beberapa murid yang sedang asik sendiri dibangku mereka, dan beberapa bangu bertas, yang pemiliknya entah di mana. Entah memang jam mereka semua mengikuti bagian bumi lain, atau memang mereka malas. Biarlah, yang penting aku harus tetap semangat. Aku tahu sebentar lagi masuk, kucoba membuka laptop kesayanganku, dan mengerjakan tugas presentasi itu.
Yah, tak terasa sebentar lagi bel masuk berbunyi. Seluruh sekolahan diselimuti nada-nada lagu daerah dan juga lagu kebangsaan. Beserta itu, rombongan murid datang berduyun-duyun. Kemudian, beberapa saat setelah lagu Indonesia Pusaka selesai diputar, berbunyilah bel masuk. Teman sebangkuku hari ini tidak masuk. It’s okay. Tapi yang jadi masalah adalah dia anggota kelompok presentasiku, dan membawa beberapa bagian slide presentasi. Duh, apa yang harus kulakukan nant? Ah tapi tak apa, aku yakin hari ini pasti tidak akan seperti hari kemarin, atau kemarinnya lagi. Tapi akan lebih baik lagi.
Kemudian, sang guru pkn pun datang. Senyumnya berkembang, terlihat riang. “Selamat pagi anak-anak!” sapanya, sambil berjalan ke meja guru untuk duduk. “Pagiiiiii pak!” sahut teman-temanku. “Sudah siap untuk presentasi?” tanya sang guru. Murid-murid pun mulai gaduh. Antara siap dan tidak siap. “Baiklah, kalau gitu segera kita mulai, ayo siapkan proyektornya!” Seru sang guru tanpa presetujuan.
Anak-anak lain mulai ramai bersiap-siap. Teman-teman sekelompokku mulai berdatangan ke arahku. “Gimana, udah selesai?” tanya Jabrik, yang entah mengapa dipanggil begitu. “Belum. Masih kurang.” Jawabku sambil terus menatap layar laptopku, mengerjakan. “Yaaaah.” Mereka semua berkata serempak kecewa. “Terus si Akmal kemana?” sambi tolah-toleh mencari jejak eksistensi teman sebangkuku itu. “Dia nggak masuk, udah dari kemaren kan.” Jawabku. “Adduuuh, terus gimana dong? Kamu sih ngerjain pake gak selesai!” keluh si Jabrik.
Kenapa aku yang disalahkan? “Ayo Jabrik, kelompokmu maju dulu!” perintah sang guru. “Maaf pak, tapi kami belum siap.” Kataku meminta keringanan. “Sudah, nggak ada alasan, ayo cepat!” bantah guruku. Dengan terpaksa kami maju. Mungkin ini saat yang tepat untuk improvisasi, mungkin saja kami bisa berhasil. Kutarik nafas panjang. I can and I will do this.
Setelah meniyapkan laptop aku bertanya pada temanku. “Ada yang mau buka? Ayo dong!” Mereka semua terdiam, hanya tolah-toleh tak mau tahu. Oke kalau begitu biar aku saja.
“Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.” Salamku dengan lantang memulai sesi presentasi. Selanjutnya aku menjelaskan subjek presentasi, dan memperkenalkan anggota kelompokku beserta nomor absen mereka.
“Ayo cepet yang presentasi siapa?” tanyaku. Mereka hanya menggeleng-gelengkan kepala tak mau. “Kamu aja dulu, kan yang bikin kamu, yang ngerti ya kamu doang, kita terakhir-terakhir aja.” Setelah itu aku mulai, aku lanjutkan meskipun dengan slide presentasi dengan desain jelek, dan polos tanpa animasi. Namun semuanya mulai hancur.
“Cepet gantian! Yang bagian ini aku nggak bisa.” Tapi tetap saja mereka tak peduli. Sang guru pun terlihat acuh tak peduli, aku mulai tak yakin asal-usul nilai kami darimana. Temanku tetap tak bergeming. Mau tak mau aku yang melanjutkan. Meski dengan terbata-bata, diiringi dengan tawa teman sekelas tiap aku melakukan kesalahan. Akhirnya sesi ini berakhir.
Sekarang saatnya mendengar penilaian guruku. Coretan demi coretan dibuatnya di lembar penilaiannya. “Materimu lumayan. Tapi bagian tengah hingga terakhir hancur. Teamworknyajuga payah. Kamu jangan serakah...”. Pundakku lemas mendengarnya. Kenapa aku bisa sampai sejelek ini di mata guru. “..hei! Kamu nggak mendengarkan saya ya?” sergahnya. “Ehhh Maaf pak.” Kataku. “Ya intinya kamu serakah, dari awal kamu terus yang presentasi, temanmu nggak kamu beri kesempatan untuk memberikan materi. Kamu mau memonopoli nilai ya? Nggak bisa!” katanya menghakimi tanpa ampun. “Maaf pak, saya enggak bermaksud sep...” kataku. “Sudah jangan alasan. Karena kamu seperti ini, nilaimu saya kurangi, sedangkan nilai temanmu saya tambah. Ayo kelompok berikutnya tampil!” Katanya.
Aku tak bergeming. Kenapa harus aku yang disalahkan. Apalagi setelah semua ini, aku bekerja sendiri. Aku merasa bagaikan pilar, sendiri menopang beban bangunan, tetapi ketika bangunan itu roboh, sang pilarlah yang disalahkan. Setelah itu aku tak berfikir lagi. Sisa pelajaran itu berlalu bagaikan mimpi, mimpi yang kelam.
Kriiiiiing. Bel istirahat berbunyi. Aku mencoba menenangkan diri. Kuambil air minum dan bekal makanku dari tas. Dengan perlahan aku menikmati waktu ini. Sampai kudengar suara bak malaikat, disertai tepukan lembut di pundak menyapaku. “Hayo! Bengong aja!” sapanya, sambil senyum-senyum. “Apa sih ganggu aja!” kataku sok jaim. “Hiii galak nih, kenapa? Kok lesu, udah 3 hari lho kamu gitu terus.” Serunya sambil duduk di bangku belakangku.
“Ah nggak papa kok, lagi males aja.”
“Masa?”
“Iya kok. Tapi… Eh ngomong-ngomong, kalo misalkan, misalkan nih ya. Udah kerja sendiri, mati-matian tapi nggak dihargai, malah disalah-salahin. Kamu gimana?”
“Oh itu masalahnya, mmmm.” Dia berfikir. “Ya gak usah dipikir, anggep aja angin kentut, makin kamu diem aja makin bau, mending pergi, lupain. Hehehe.” Guyonnya sambil meringis. Mau tak mau aku tersenyum. Ah, Risa selalu saja jadi oase di padang gurun. Nggak rugi punya teman kayak gini. “Hahaha, iya juga.” Kataku. Energi positif mulai mengalir lagi di pembuluh darahku. “Eh ke kantin dulu ya? Ikut nggak?” Ajaknya. “Enggak, makasih, udah bawa bekal nih.” “Oke oke, ati-ati ya nanti kesedak, hahaha.” Katanya sambil ngeloyor pergi keluar kelas.
Jam istirahat terasa cepat, atau mungkin karena aku makan sambil menikmati gubahan maestro favoritku, Yann Tiersen dari handphone jadulku. Samar-samar terdengar bunyi bel masuk. Kucopot earphone dari telingaku. Ya memang sudah waktunya masuk. Teman-temanku berduyun-duyun masuk ke kelas. Yang tadinya sepi mulai ramai dengan sibuknya masing-masing. Kukemasi barang-barangku tadi, dan kukeluarkan buku pelajaran.
Huuuuh. Kuhela nafas panjang. Kali ini tidak akan seperti tadi. Sambil menunggu guru bahasa inggris datang, aku baca-baca sedikit materi pada bab selanjutnya. Kudengar kasak-kusuk disekelilingku. Teman-temanku sibuk sendiri menyalin tulisan kecil-kecil di kertas sobekan. “Eh eh, apa itu?” tanyaku pada temanku. “Kunci jawaban, katanya hari ini ada tes dadakan bahasa inggris. Kuncinya dari dari kelas sebelah.” Jawabnya sambil matanya tak beralih sedikitpun dari kerjaannya.
Duh. Panik mulai menjalar dari kakiku. “Bab berapa yang dites?” tanyaku lagi. “Nggak tau, pokoknya nyontek aja, katanya anak kelas sebelah soalnya susah-susah.” Jawabnya. Aku tak siap untuk tes ini, karena aku kira hari ini mulai bab baru. Semalam aku tidak sempat belajar. Tapi mungkin saja yang dijadikan soal adalah bab yang sudah aku pahami. Tapi kalau tidak? Nilaiku jatuh lagi. Mungkin sekali-sekali nyontek nggak papa. Tapi nyontek berarti nilai yang didapat bukan hasil sendiri. Sama saja membanggakan nilai orang lain.
Belum sempat aku membuat keputusan. Guru bahasa inggris sudah datang. Teman-teman dengan sigap ketempat duduknya masing-masing. Beliau duduk, lalu membuka mapnya dan mengeluarkan sebendel kertas. “Hari ini ujian kejutan ya anak-anak!” serunya. Rupanya ujian kejutan tak begitu mengejutkan, setidaknya bagi sebagian besar temanku. “Alright then, 90 menit dari sekarang!” seru guruku tepat setelah kertas soal dibagikan.
Aku berdoa dalam hati, semoga kali ini berjalan lancar. Kufokuskan pikiran, dan kubaca soal pertama. Deng! Soal ini belum aku pelajari. Nggak apa-apa, soal berikutnya pasti bisa! Sial, sama susahnya. Tak terasa waktu terus berjalan. Waktu seakan mengejar ingin mencekikku. Bulir-bulir keringat membasahi kulitku. Otakku kosong, kulihat sekeliling, temanku sibuk sendiri mengeluarkan jurus-jurus pamungkas mereka. Sementara di meja guru, bukannya murid, justru laptoplah yang sedang asyik dipandangi.
Jiwaku bergolak. Antara sisi malaikat, dan sisi kebinatangan, mereka bertempur demi menentukan hal yang selanjutnya aku lakukan. Aku tetap pada pendirianku, tapi aku akan tertinggal satu langkah lagi karena nilai yang tak mungkin baik. Di sisi lain, aku bisa memastikan nilai, tetapi dengan cara yang tidak aku inginkan. Oh, kenapa harus serumit ini. Sial sial sial! Apa yang harus aku lakukan?! Tak terasa mataku berkaca-kaca. Kulirik lagi teman-temanku, mereka ada dalam dunia mereka sendiri. Lebih jauh kebelakang kutelusuri kelas, kulihat dia, Risa mengerjakan dengan santai. Sekali-sekali dia tampak berfikir, terkadang dia melihat langit-langit kelas, mungkin mencoba mengingat-ingat. Dia selalu seperti itu. Aku juga harus seperti itu, kucoba kembali menghadap lembaran keji ini.
Aku tak tahu bagaimana otakku melakukan itu. Beberapa menit selanjutnya terasa bagai di negeri Urashima Taro. Waktu begitu cepat. “Okay, the time is up! Please submit your paper now!” Ujar sang guru dalam bahasa inggris. Sial, masih ada beberapa soal yang belum aku kerjakan. Aku juga tak yakin jawaban yang lain 100% benar. I hope I can do this.
“Alright, let’s correct the answer! You, please dispense the paper to your friends!” Umum guru itu, yang kemudian menyuruhku membagikan kertas jawaban pada teman sekelasku. Aku bangkit dan mulai membagikan. Kulihat beberapa temanku cengengas-cengenges usil. Akhirnya semua selesai kubagikan, kusimpan 1 lembar untuk diriku sendiri mengoreksi. Ditandai dengan kunci jawaban yang ditulis guruku, waktu pengoreksian pun dimulai.
“Baik, saya absen lalu nanti kalian sebutkan nilainya ya!” Perintah guruku. “Iya bu!” Jawab teman-temanku. Kutarik nafas sekali lagi. Ya, harusnya aku tahu kalau akan jadi begini. Sekali lagi aku tertinggal. Tidak, lebih tepatnya terjatuh, sementara yang lain tetap berjalan. Mungkin kalau aku menyontek aku tidak akan seperti ini. Aku tidak perlu bingung memikirkan nilai jeblok, remidi, dan segala macamnya. Bodoh! Lagipula yang dilihat juga hasil jadinya. Seharusnya aku lebih pintar. Tiba-tiba aku dapat colekan di bahu dari teman belakangku. “Woi, namamu dipanggil tuh, bengong aja!” katanya. Kulihat ke meja guru, guruku melihatku dengan wajah masam. “20 bu!” kuteriakkan nilaiku. Siaaaaaal! “Haduuh, kamu ini, sudah nggak konsentrasi, nilai juga nggak memadai buat lulus KKM. Padahal temanmu yang lain paling jelek dapat nilai 70!” komentarnya. Rahangku mengeras. “Iya ibu.” Jawabku singkat. Aku tak tahu harus bagaimana lagi. Aaargh!
Sang guru meninggalkan kelas. Aku masih merenung menatap 2 digit angka ini. Kutarik nafas panjang sekali lagi. Entah kenapa aku merasa tertekan. Seakan-akan ada yang sedang menekan dadaku, sedangkan aku membawa karung berisi batu berat. “Nggak apa-apa, jalan masih panjang.” Lagi-lagi kutarik nafas panjang.
Kulihat jam tangan di pergelangan tanganku. Waktu menunjukkan pukul 12 lebih 10 menit, berarti jam istirahat kedua sudah dimulai. Mungkin ini saat yang cocok untuk menenangkan diri…lagi. Mungkin sedikit udara di luar kelas akan membantu. Tapi tepat sesaat setelah keluar dari ambang pintu kelas.
“Ciee cieee yang dapet bagus.” Goda mereka. Apa ini? Risa duduk dibangku di luar kelas, dikelilingi beberapa ‘temanku’. “Udah ngaku aja, dapet krepekan kan?” goda mereka lagi. “Enggak! Aku nggak nyontek sedikitpun! Kalian tuh yang curang!” Bantahnya dengan nada tinggi. Dia biasanya tak seperti ini. Tetapi ya, dia paling benci jika dituduh, apalagi dituduh curang. “Hih ngamuuuuk! Hahahaha.” Ejek mereka sambil tertawa. Setetes air mata membasahi pipinya. “Gak usah bantah deh, wong dia kok yang ngasih tau.” Kata mereka sambil menunjukku. Apa? Aku memangnya berbuat apa?
Risa menoleh padaku. Aku tak tahan melihat ekspresi wajahnya. “Kamu kenapa sih?! Masalahmu apa?!” bentaknya. Aku bingung. “Aku nggak tahu. Aku nggak ikutan kok. Dengerin dulu dong!” ujarku bingung demi membela diri. “Diem! Padahal aku kira kamu orang baik.” Ujarnya sambil berlalu. Aku tak tahu apa yang baru saja terjadi. Baru semenit berlalu dan aku sudah terperosok dalam. “Oooooohhh. Marahan nieeee! Hahahaha.” Ejek mereka. Sial! Kupandang mereka, seakan ada bara api di mataku.
Aku mual. Aku mual karena semua emosi yang bercampur aduk. Sedih, tak berdaya, dan amarah. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku tak tahu apa yang terjadi. Tetapi ada satu yang kutahu. Aku tahu bahwa tak ada lagi alasan bagiku untuk tetap diam.
Kubalik badan. Badanku berat karena semua perasaan ini. Kukemasi semua barang-barangku dan memasukkannya ke dalam tas. Dengan tak peduli ku mulai berjalan ke luar. Aku tak peduli lagi. Awalnya terseok-seok. Lalu berjalan tegak, tak terasa aku mulai berjalan cepat, yang akhirnya aku berlari. Aku berlari agar aku tak perlu diam dan berfikir. Aku berlari agar aku bisa melepas semua ini di belakangku.
Aku ingat dulu pernah mendengar. Seseorang yang beraura negatif, yang marah, lelah, dan pasrah cendrung menjadi individualis. Dirinya bahkan lebih besar dari alam semesta. Ya, itu benar. Tak kuhiraukan sedikitpun mereka lagi. Tak juga bapak penjaga gerbang sekolah yang mencurigaiku kabur dari sekolah. Ya aku egois, aku tak peduli, kuterus berlari.
Akhirnya diriku sampai. Angin lembut berhembus, mendinginkan kulitku yang basah oleh keringat. Langit biru nan cerah terasa bagaikan ejekan kepada hatiku yang kelam badai. Di depanku, terdapat struktur besi setinggi 25 meter. Kulepas tas punggungku. Dan sedikit demi sedikit aku panjat.
Aku mendapat tempat bersandar di bagian atas. Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku menangis. Aku sendiri. Bagai kapal tanpa navigator. Tanpa peta dan kompas. Terombang-ambing di samudra yang luas. Dengan ombak dan arus yang kejam. Dan akhirnya tenggelam lalu menjadi bangkai di dasar. Diingatpun tidak.
“Hei nak! Sedang apa di sana?!” teriak seorang bapak-bapak menegur. Aku tak peduli. Mereka bisa mengurus urusan mereka masing-masing. Tak terasa mulai banyak orang yang datang menyaksikan. Haruskah aku turun? Mungkinkah hidupku masih bisa masih perlu dilanjutkan? Fight or Flee. “Turun nak! Jangan loncat!” Teriak seseorang lagi dari bawah.
Angin berhembus dingin di wajahku. Tanah 20 meter di bawahku akan jadi tempatku melepas nyawa jika aku lakukan sekarang. “Hidupmu masih panjang nak! Jangan putus asa! Ini bukan akhirnya!” Teriak bapak polisi di bawah. Haha. Bukan akhirnya. Ya, bagi mereka memang bukan. Bagiku juga bukan, pada awalnya. Dulu mungkin aku menganggap rendah orang yang membuang hidupnya begitu saja seperti ini. Mengakhiri sebelum seharusnya berakhir. Aku dulu berfikir orang-orang seperti itu berfikiran pendek. Namun aku sudah merasakan. Aku sudah berfikir cukup lama.
Ketika kau tidak punya apa-apa, tak dapat apa-apa, dan bukan apa-apa, berarti itu saatnya untuk pergi. Aku berdiri, sambil tanganku memegang tiang besi di kananku. Angin berhembus lebih kencang. Lalu aku teringat, cerita tentang ibu dan anak elang.
Ketika anak elang masih kecil, mereka tentu saja belum bisa terbang. Tetapi sang ibu, mendorong mereka ke jurang, dan dalam kesempatan itu mereka akan belajar untuk terbang. Yang kemudian membuat mereka bisa menjelajah dunia dan berpetualang. Haruskah aku melompat? Aku tidak berniat melarikan diri, aku hanya ingin mencari tempat lain, di mana di sana ada sesuatu yang bisa aku perjuangkan.
Detik berikutnya aku sudah tak berpijak lagi. Angin dingin menerpa wajahku. Kupandang langit biru yang kian lama kian jauh. Aku. Bebas.
***
Terdengar isak tangis seorang gadis muda yang sedang duduk di sebuah bangku taman. “Sudah-sudah, ikhlasin aja. Kamu yang tabah ya.” Kata teman gadis itu menenangkan. Gadis itu masih tetap terisak-isak pilu. “Nggak ada gunanya menangisi. Mungkin dia memang sedang lemah batinnya.” Kata temannya lagi. Tapi gadis itu tahu bahwa itu tidak benar. “Nggak.” Katanya singkat. Hening sesaat. “Dia gitu, karena dia sudah berusaha kuat untuk waktu yang terlalu lama.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H