Kubalik badan. Badanku berat karena semua perasaan ini. Kukemasi semua barang-barangku dan memasukkannya ke dalam tas. Dengan tak peduli ku mulai berjalan ke luar. Aku tak peduli lagi. Awalnya terseok-seok. Lalu berjalan tegak, tak terasa aku mulai berjalan cepat, yang akhirnya aku berlari. Aku berlari agar aku tak perlu diam dan berfikir. Aku berlari agar aku bisa melepas semua ini di belakangku.
Aku ingat dulu pernah mendengar. Seseorang yang beraura negatif, yang marah, lelah, dan pasrah cendrung menjadi individualis. Dirinya bahkan lebih besar dari alam semesta. Ya, itu benar. Tak kuhiraukan sedikitpun mereka lagi. Tak juga bapak penjaga gerbang sekolah yang mencurigaiku kabur dari sekolah. Ya aku egois, aku tak peduli, kuterus berlari.
Akhirnya diriku sampai. Angin lembut berhembus, mendinginkan kulitku yang basah oleh keringat. Langit biru nan cerah terasa bagaikan ejekan kepada hatiku yang kelam badai. Di depanku, terdapat struktur besi setinggi 25 meter. Kulepas tas punggungku. Dan sedikit demi sedikit aku panjat.
Aku mendapat tempat bersandar di bagian atas. Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku menangis. Aku sendiri. Bagai kapal tanpa navigator. Tanpa peta dan kompas. Terombang-ambing di samudra yang luas. Dengan ombak dan arus yang kejam. Dan akhirnya tenggelam lalu menjadi bangkai di dasar. Diingatpun tidak.
“Hei nak! Sedang apa di sana?!” teriak seorang bapak-bapak menegur. Aku tak peduli. Mereka bisa mengurus urusan mereka masing-masing. Tak terasa mulai banyak orang yang datang menyaksikan. Haruskah aku turun? Mungkinkah hidupku masih bisa masih perlu dilanjutkan? Fight or Flee. “Turun nak! Jangan loncat!” Teriak seseorang lagi dari bawah.
Angin berhembus dingin di wajahku. Tanah 20 meter di bawahku akan jadi tempatku melepas nyawa jika aku lakukan sekarang. “Hidupmu masih panjang nak! Jangan putus asa! Ini bukan akhirnya!” Teriak bapak polisi di bawah. Haha. Bukan akhirnya. Ya, bagi mereka memang bukan. Bagiku juga bukan, pada awalnya. Dulu mungkin aku menganggap rendah orang yang membuang hidupnya begitu saja seperti ini. Mengakhiri sebelum seharusnya berakhir. Aku dulu berfikir orang-orang seperti itu berfikiran pendek. Namun aku sudah merasakan. Aku sudah berfikir cukup lama.
Ketika kau tidak punya apa-apa, tak dapat apa-apa, dan bukan apa-apa, berarti itu saatnya untuk pergi. Aku berdiri, sambil tanganku memegang tiang besi di kananku. Angin berhembus lebih kencang. Lalu aku teringat, cerita tentang ibu dan anak elang.
Ketika anak elang masih kecil, mereka tentu saja belum bisa terbang. Tetapi sang ibu, mendorong mereka ke jurang, dan dalam kesempatan itu mereka akan belajar untuk terbang. Yang kemudian membuat mereka bisa menjelajah dunia dan berpetualang. Haruskah aku melompat? Aku tidak berniat melarikan diri, aku hanya ingin mencari tempat lain, di mana di sana ada sesuatu yang bisa aku perjuangkan.
Detik berikutnya aku sudah tak berpijak lagi. Angin dingin menerpa wajahku. Kupandang langit biru yang kian lama kian jauh. Aku. Bebas.
***
Terdengar isak tangis seorang gadis muda yang sedang duduk di sebuah bangku taman. “Sudah-sudah, ikhlasin aja. Kamu yang tabah ya.” Kata teman gadis itu menenangkan. Gadis itu masih tetap terisak-isak pilu. “Nggak ada gunanya menangisi. Mungkin dia memang sedang lemah batinnya.” Kata temannya lagi. Tapi gadis itu tahu bahwa itu tidak benar. “Nggak.” Katanya singkat. Hening sesaat. “Dia gitu, karena dia sudah berusaha kuat untuk waktu yang terlalu lama.”