Mohon tunggu...
Audi Choiron
Audi Choiron Mohon Tunggu... -

Seorang mahasiswa arsitektur sekaligus seniman digital. Tapi sekarang nyoba nulis dan buat konten di youtube yang bermanfaat buat banyak orang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bagaikan Anak Elang

24 Desember 2016   23:12 Diperbarui: 24 Desember 2016   23:34 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Cepet gantian! Yang bagian ini aku nggak bisa.” Tapi tetap saja mereka tak peduli. Sang guru pun terlihat acuh tak peduli, aku mulai tak yakin asal-usul nilai kami darimana. Temanku tetap tak bergeming. Mau tak mau aku yang melanjutkan. Meski dengan terbata-bata, diiringi dengan tawa teman sekelas tiap aku melakukan kesalahan. Akhirnya sesi ini berakhir.

Sekarang saatnya mendengar penilaian guruku. Coretan demi coretan dibuatnya di lembar penilaiannya. “Materimu lumayan. Tapi bagian tengah hingga terakhir hancur. Teamworknyajuga payah. Kamu jangan serakah...”. Pundakku lemas mendengarnya. Kenapa aku bisa sampai sejelek ini di mata guru. “..hei! Kamu nggak mendengarkan saya ya?” sergahnya. “Ehhh Maaf pak.” Kataku. “Ya intinya kamu serakah, dari awal kamu terus yang presentasi, temanmu nggak kamu beri kesempatan untuk memberikan materi. Kamu mau memonopoli nilai ya? Nggak bisa!” katanya menghakimi tanpa ampun. “Maaf pak, saya enggak bermaksud sep...” kataku. “Sudah jangan alasan. Karena kamu seperti ini, nilaimu saya kurangi, sedangkan nilai temanmu saya tambah. Ayo kelompok berikutnya tampil!” Katanya.

Aku tak bergeming. Kenapa harus aku yang disalahkan. Apalagi setelah semua ini, aku bekerja sendiri. Aku merasa bagaikan pilar, sendiri menopang beban bangunan, tetapi ketika bangunan itu roboh, sang pilarlah yang disalahkan. Setelah itu aku tak berfikir lagi. Sisa pelajaran itu berlalu bagaikan mimpi, mimpi yang kelam.

Kriiiiiing. Bel istirahat berbunyi. Aku mencoba menenangkan diri. Kuambil air minum dan bekal makanku dari tas. Dengan perlahan aku menikmati waktu ini. Sampai kudengar suara bak malaikat, disertai tepukan lembut di pundak menyapaku. “Hayo! Bengong aja!” sapanya, sambil senyum-senyum. “Apa sih ganggu aja!” kataku sok jaim. “Hiii galak nih, kenapa? Kok lesu, udah 3 hari lho kamu gitu terus.” Serunya sambil duduk di bangku belakangku.

“Ah nggak papa kok, lagi males aja.”

“Masa?”

“Iya kok. Tapi… Eh ngomong-ngomong, kalo misalkan, misalkan nih ya. Udah kerja sendiri, mati-matian tapi nggak dihargai, malah disalah-salahin. Kamu gimana?”

“Oh itu masalahnya, mmmm.” Dia berfikir. “Ya gak usah dipikir, anggep aja angin kentut, makin kamu diem aja makin bau, mending pergi, lupain. Hehehe.” Guyonnya sambil meringis. Mau tak mau aku tersenyum. Ah, Risa selalu saja jadi oase di padang gurun. Nggak rugi punya teman kayak gini. “Hahaha, iya juga.” Kataku. Energi positif mulai mengalir lagi di pembuluh darahku. “Eh ke kantin dulu ya? Ikut nggak?” Ajaknya. “Enggak, makasih, udah bawa bekal nih.” “Oke oke, ati-ati ya nanti kesedak, hahaha.” Katanya sambil ngeloyor pergi keluar kelas.

Jam istirahat terasa cepat, atau mungkin karena aku makan sambil menikmati gubahan maestro favoritku, Yann Tiersen dari handphone jadulku.  Samar-samar terdengar bunyi bel masuk. Kucopot earphone dari telingaku. Ya memang sudah waktunya masuk. Teman-temanku berduyun-duyun masuk ke kelas. Yang tadinya sepi mulai ramai dengan sibuknya masing-masing. Kukemasi barang-barangku tadi, dan kukeluarkan buku pelajaran.

Huuuuh. Kuhela nafas panjang. Kali ini tidak akan seperti tadi. Sambil menunggu guru bahasa inggris datang, aku baca-baca sedikit materi pada bab selanjutnya. Kudengar kasak-kusuk disekelilingku. Teman-temanku sibuk sendiri menyalin tulisan kecil-kecil di kertas sobekan. “Eh eh, apa itu?” tanyaku pada temanku. “Kunci jawaban, katanya hari ini ada tes dadakan bahasa inggris. Kuncinya dari dari kelas sebelah.” Jawabnya sambil matanya tak beralih sedikitpun dari kerjaannya.

Duh. Panik mulai menjalar dari kakiku. “Bab berapa yang dites?” tanyaku lagi. “Nggak tau, pokoknya nyontek aja, katanya anak kelas sebelah soalnya susah-susah.” Jawabnya. Aku tak siap untuk tes ini, karena aku kira hari ini mulai bab baru. Semalam aku tidak sempat belajar. Tapi mungkin saja yang dijadikan soal adalah bab yang sudah aku pahami. Tapi kalau tidak? Nilaiku jatuh lagi. Mungkin sekali-sekali nyontek nggak papa. Tapi nyontek berarti nilai yang didapat bukan hasil sendiri. Sama saja membanggakan nilai orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun