Mohon tunggu...
Auda Zaschkya
Auda Zaschkya Mohon Tunggu... Penulis - Perempuan. Pernah jadi wartawati.

Realita adalah Inspirasiku Menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

I Love You With The Amor Platonicus, Dear!

5 Oktober 2013   06:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:58 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1380920595464798209

Sebelumnya :

- Let Me Love You By Myself, Dear!

- Je t'aime. Still Thinking of You, Dear!

***

Let me love you and i will love you, Until you learn to love yourself

Let me love you and all your trouble. Dont be afraid, girl let me help

(Ne-Yo ; Let me Love You)

[caption id="attachment_292622" align="aligncenter" width="200" caption="http://penanies.blogspot.com/"][/caption] *

Sepertinya, lirik lagu itu yang dapat menggambarkan pasrahnya perasaanku kepadamu, sang penawan hati yang tak pernah tahu akan isi hatiku. Tak mungkin juga, dapat kugunakakan teori aktualisasi diri sang Maslow demi mununjukkan cintaku padamu, sang pujaan hati yang kerap menemaniku menikmati black coffee di cafe depan kantor ini. Ya... Mungkin, perhatianku padamu, sedikit demi sedikit akan membuka matamu, suatu saat nanti. Mungkin saat ini, kau sedang tak ingin mengenal cinta akibat kandasnya hubunganmu dengan seorang perempuan, sebelum mengenalku. Tak ada gunanya, tangisan piluku selalu, padahal kau belum tentu sempat memikirkanku, bukan?

***

Siang tadi, cuaca begitu terik di kotaku. Namun, sungguh berbanding terbalik dengan suasana hatiku. Rasanya, tak seorangpun dapat membayangkannya, manakala logikaku masih harus berkalang perasaan. Perasaan yang begitu dalam ini tanpa sengaja diperkosa secara bengis oleh pilihan penting dan tidak penting. Maria pernah berkata bahwa, pilihan yang tengah kupilih membuatku tersesat. Ah,,, adik, aku merindukanmu.

Sahabat, merangkap adikku Maria, belum kembali ke kota ini, sebab ia masih harus ikut dalam rekonstruksi pasca meletusnya gunung Sinabung beberapa minggu lalu. Hariku semakin kesepian di rumah ini, sejak ibuku kembali ke kampung halamannya. Sementara aku, masih di kota ini bersamanya, Hendra yang masih kucintai. "Ah... lagi-lagi dia." Rutukku dalam hati. Aku kesal, bayangannya saja yang menemani hariku. Namun, tetap saja wujudnya tak dapat kumiliki.

Baiklah, mungkin banyak yang berkata bahwa ini adalah suatu kesalahan yang akan membunuhku. Lalu, apa yang dapat kulakukan? Katakanlah aku bodoh. Aku tahu, kekeliruanku amatlah besar. Dan ketika harus kulakukan kealpaan itu lagi, bahkan berulang kali, maka aku harus siap-siap mengebiri perasaanku dengan meninggikan logikaku agar tak memberi kesan bodoh di hadapan mereka yang melihat keintiman kami.

*

Mungkin lagu Benci untuk mencinta dari Naif harus sering kudengarkan demi mengalahkan sekaligus menampar egoisnya perasaan, dan kembali menjalankan kehidupanku berdasarkan logika, seperti sebelum aku mengenal si Hendra ini. Bila perlu, aku yang akan membunuh perasaanku sendiri. Namun, tolong.. jangan tanyakan, "mengapa tak secepatnya saja?" Karena memang tak segampang itu. Semua butuh proses yang sejatinya tak mudah. Berulang kali kuresapi lirik lagu tersebut, bukannya makin tegar. Yang ada, semakin menambah galau dan, ya... jangankan melupakanmu, membencimu saja, aku tak mampu, Ndra"

*

Aku tahu, tak mudah memang menyimpan rasa ini. Ia terkadang bergola, hingga hampir saja kata-kata itu terlontar saat di cafe, kemarin. Suara gemuruhnya bagaikan gempa yang tersaji sebelum Tsunami, yang berhasil mengantarkan kita ke pantai barat Sumatera beberapa tahun lalu sebagai relawan.

Ya... Saat itu, kau baru saja kembali ke negeri langganan korupsi ini. Sekembalinya wujudmu ke negeri ini, sesungguhnya adalah kebahagiaan terbesarku, ketika mampu kutatap wajah khas timur tengah yang kau miliki. Ya... apapun yang khas dari negeri para nabi itu adalah kesukaanku. Terutama kau, Hendra. Satu nama ini selalu mengusik hariku, bukan hanya saat ini. Tak hanya namamu, pemikiranmu yang sangat idealis itu amat kukagumi. Namun, logikamu yang seakan ingin membuka topeng para penjilat di kantor ini, sesungguhnya tak disukai oleh mereka yang iri akan keberhasilanmu.

Dan aku? Aku tak mampu diam saja melihat kepongahan mereka. Sedapat mungkin, aku memprioritaskan diri untuk melindungimu. Namun, kecurangan mereka yang kadang tak bisa kutolerir, malah membuatku semakin ketakutan. Aku takut, kebodohan mereka akan membahayakan nyawamu. "Ya tuhan... Ini yang teramat mengkhawatirkanku akan makhluk ciptaanMu itu." Lirihku.

Aku tak ingin sesuatu yang buruk menimpamu. Makanya, sebisa mungkin, menghindarkanmu dari para penjilat itu adalah usahaku untuk melindungimu. Maaf jika caraku salah. Aku hanya tak ingin kau disakiti oleh mereka, apalagi kau adalah tangan kanan pimpinan kita. Tentunya ini akan menambah kebencian mereka terhadapmu. Mereka yang tak sanggup, bahkan tak mau membanting-banting logikanya ketika beradu argumen dengan sosok kritis sepertimu, bisa saja berbuat bodoh.

*

Ketika tengah mendengarkan riuhnya hujan malam ini, pikiranku kembali ke saat itu. Saat pertama kali kita ditugaskan bersama, menjadi relawan dulu. Saat kau baru saja kukenal. Tadinya, memang perasaanku padaku hanya sebatas kekagumanku ketika melihat kecakapanmu, sungguh tak lebih dari itu. Sejauh itu pula, kau kuanggap sangat piawai dalam menyelesaikan berbagai masalah. Saat kekagumanku kurasakan akan meningkat, cepatku kendalikan rasanya, and guest what? Aku berhasil.

Namun, betapa mengecewakan ketika setelah berusaha kunetralisirkan, lama-kelamaan rasa itu semakin menjadi-jadi. Namun, sebagai perempuan timur, lagi-lagi logikaku berkalang perasaan. Aku dituntun untuk mengebiri rasaku padamu demi mempertahankan reputasi kita di kantor ini. Sakit memang, ketika aku diharuskan untuk meninggikan logikaku dan berusaha mengkaramkan perasaanku padamu sedalam Titanic. Kau tak pernah tahu, bukan? Ya... Mungkin sebaiknya memang kau tak perlu tahu tentang perasaanku sekarang. Karena aku perempuan timur yang masih sangat konvensional.

Te amo, Dear! Aku merasakan cinta disekujur tubuh ini. Aku tak ingin kau tersakiti. Aku pun merasakan perihnya jika kau terkuliti. Namun, sumringahku ketika kulihat ada rekan kita yang membodohi dirinya hanya untuk menentang kebijakanmu. Dan kau, tetap saja berjalan di atas poros keidealisan dirimu sendiri.

*

I never let go. I will give my shoulders for you, Dear. Let me love you by myself, eventhough i know, it will hurts me, because you don't love me yet. Maybe, this is the way to show to you that i really wanna be with you. Or maybe, i will beside you until you love yourself, Dear. And after all, i will go from you, if you ask me, and surely I know it will hurts me.

*

Aku tak mampu mengungkapkan rasaku padamu, sebab aku takut akan merusak persahabatan kita. Meniadakan cinta ini,tak mungkin kulakukan. Sebab, 'Amor Platonic' ni begitu kuat menyerangku. Ada yang pernah berkata bahwa cinta itu ketulusan memberi, walaupun tak mampu juga menampik bahwa mengharapkan apresiasi. Namun, bukan berarti harus kugunakan teori aktualisasi Maslow demi mengungkap realitas bahwa aku mencintaimu, bukan?

Ya... baiknya aku tetap diam dan menikmati cintaku sendiri.

-TAMAT-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun