Mohon tunggu...
Auda Zaschkya
Auda Zaschkya Mohon Tunggu... Penulis - Perempuan. Pernah jadi wartawati.

Realita adalah Inspirasiku Menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

I Love You With The Amor Platonicus, Dear!

5 Oktober 2013   06:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:58 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1380920595464798209

Sahabat, merangkap adikku Maria, belum kembali ke kota ini, sebab ia masih harus ikut dalam rekonstruksi pasca meletusnya gunung Sinabung beberapa minggu lalu. Hariku semakin kesepian di rumah ini, sejak ibuku kembali ke kampung halamannya. Sementara aku, masih di kota ini bersamanya, Hendra yang masih kucintai. "Ah... lagi-lagi dia." Rutukku dalam hati. Aku kesal, bayangannya saja yang menemani hariku. Namun, tetap saja wujudnya tak dapat kumiliki.

Baiklah, mungkin banyak yang berkata bahwa ini adalah suatu kesalahan yang akan membunuhku. Lalu, apa yang dapat kulakukan? Katakanlah aku bodoh. Aku tahu, kekeliruanku amatlah besar. Dan ketika harus kulakukan kealpaan itu lagi, bahkan berulang kali, maka aku harus siap-siap mengebiri perasaanku dengan meninggikan logikaku agar tak memberi kesan bodoh di hadapan mereka yang melihat keintiman kami.

*

Mungkin lagu Benci untuk mencinta dari Naif harus sering kudengarkan demi mengalahkan sekaligus menampar egoisnya perasaan, dan kembali menjalankan kehidupanku berdasarkan logika, seperti sebelum aku mengenal si Hendra ini. Bila perlu, aku yang akan membunuh perasaanku sendiri. Namun, tolong.. jangan tanyakan, "mengapa tak secepatnya saja?" Karena memang tak segampang itu. Semua butuh proses yang sejatinya tak mudah. Berulang kali kuresapi lirik lagu tersebut, bukannya makin tegar. Yang ada, semakin menambah galau dan, ya... jangankan melupakanmu, membencimu saja, aku tak mampu, Ndra"

*

Aku tahu, tak mudah memang menyimpan rasa ini. Ia terkadang bergola, hingga hampir saja kata-kata itu terlontar saat di cafe, kemarin. Suara gemuruhnya bagaikan gempa yang tersaji sebelum Tsunami, yang berhasil mengantarkan kita ke pantai barat Sumatera beberapa tahun lalu sebagai relawan.

Ya... Saat itu, kau baru saja kembali ke negeri langganan korupsi ini. Sekembalinya wujudmu ke negeri ini, sesungguhnya adalah kebahagiaan terbesarku, ketika mampu kutatap wajah khas timur tengah yang kau miliki. Ya... apapun yang khas dari negeri para nabi itu adalah kesukaanku. Terutama kau, Hendra. Satu nama ini selalu mengusik hariku, bukan hanya saat ini. Tak hanya namamu, pemikiranmu yang sangat idealis itu amat kukagumi. Namun, logikamu yang seakan ingin membuka topeng para penjilat di kantor ini, sesungguhnya tak disukai oleh mereka yang iri akan keberhasilanmu.

Dan aku? Aku tak mampu diam saja melihat kepongahan mereka. Sedapat mungkin, aku memprioritaskan diri untuk melindungimu. Namun, kecurangan mereka yang kadang tak bisa kutolerir, malah membuatku semakin ketakutan. Aku takut, kebodohan mereka akan membahayakan nyawamu. "Ya tuhan... Ini yang teramat mengkhawatirkanku akan makhluk ciptaanMu itu." Lirihku.

Aku tak ingin sesuatu yang buruk menimpamu. Makanya, sebisa mungkin, menghindarkanmu dari para penjilat itu adalah usahaku untuk melindungimu. Maaf jika caraku salah. Aku hanya tak ingin kau disakiti oleh mereka, apalagi kau adalah tangan kanan pimpinan kita. Tentunya ini akan menambah kebencian mereka terhadapmu. Mereka yang tak sanggup, bahkan tak mau membanting-banting logikanya ketika beradu argumen dengan sosok kritis sepertimu, bisa saja berbuat bodoh.

*

Ketika tengah mendengarkan riuhnya hujan malam ini, pikiranku kembali ke saat itu. Saat pertama kali kita ditugaskan bersama, menjadi relawan dulu. Saat kau baru saja kukenal. Tadinya, memang perasaanku padaku hanya sebatas kekagumanku ketika melihat kecakapanmu, sungguh tak lebih dari itu. Sejauh itu pula, kau kuanggap sangat piawai dalam menyelesaikan berbagai masalah. Saat kekagumanku kurasakan akan meningkat, cepatku kendalikan rasanya, and guest what? Aku berhasil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun