Sebenarnya apa tujuanku mengatakan hal itu kepada Opi? Berharap Opi mengatakan hal itu kepada Rina, kemudian Rina membatalkan pernikahannya dengan Fathir?
Kalau itu harapanku, itu adalah harapan bodoh yang sempat kupikirkan. Aku mengenal Rina yang penurut, terlebih kepada kedua orang tuanya. Tak mungkin Rina melalukan itu. Ah,, aku melakukan hal bodoh lagi !
Rina telah menikah dan harus melaksanakan kewajibannya sebagai istri Fathir mulai hari ini. Aku telah melihat kebahagiaan mereka, namun disaat aku mengatakan selamat kepada Rina dan Fathir pada resepsi pernikahan mereka siang tadi yang kudatangi seorang diri, aku melihat sedikit genangan air mata di mata Rina.
Aku yang memegang tissue saat itu, langsung memberikan tissue kepada Rina seraya berkata, “Na, jangan menangis, hapus air matamu, karena ini hari bahagiamu. Jangan biarkan para tamu di resepsi ini melihat tangismu.”
“Aku berusaha Za. Aku mohon maaf padamu atas kesalahanku. Aku menangis karena aku masih sangat mencintaimu.” Sungguh, terharu ketika kudengar kata cinta itu dari bibir Rina yang sempat ia bisikkan di telingaku sebelum aku meninggalkan pesta itu.
Setelah menyalami keduanya, aku pun pulang ke rumah. Tak terasa aku menitikkan air mataku di dalam kamar. Aku tahu, lelaki tak boleh menangis, namun saat-saat sendiri seperti ini adalah saat yang tepat untukku tumpahkan sesak di dadaku apalagi tadi aku melihat Rina dan mendengar kata cinta darinya.
***
Setahun setelah hari pernikahan itu, aku menerima SMS berupa kata-kata perpisahan dari Rina yang tak dapat ku balas lagi.
“Za, hari ini aku berangkat ke Australia, menemani suamiku yang akan melanjutkan pendidikannya. Mungkin di ulang tahun kelima putraku nanti, aku baru kembali ke kota ini.Do’aku untukmu Za. Segeralah cari penggantiku ya Za, menikahlah. Salam sayang, Rina”.
Seusai membaca SMS dari Rina, aku mencoba menghubunginya namun nomornya sudah tidak aktif lagi.
***