Akhir-akhir ini banyak sekali terjadi kerusuhan akibat gangster di Surabaya. Saat orang lain tertidur, mereka beraksi di jalanan. Mereka memiliki anggota yang sangat banyak dan entah apa yang dibelanya, sedikit tersenggol saja mereka tidak segan-segan untuk membacok bahkan menghilangkan nyawa dari musuhnya.
Mirisnya gangster-gangster di Surabaya ini rata-rata beranggotakan anak muda. Anak-anak yang masih remaja dan baru dewasa yang masih mencari jati dirinya. Mereka masih mudah terbawa pengaruh negatif dari lingkungan-lingkungannya.
Mereka biasanya membawa senjata tajam saat beraksi di jalanan. Sajam yang dibawa biasanya celurit. Hal yang sangat sering ditemukan, gangster membawa sajam berupa celurit. Tidak hanya celurit, gangster-gangster ini juga membawa petasan.
Gangster identik dengan massanya yang banyak. Gangster di Surabaya sering kali beramai-ramai dalam melakukan aksinya. Tidak pernah sendirian, sehingga mereka bisa berbuat seenaknya di malam hari.
Gangster juga identik dengan motornya, motornya yang kencang dengan knalpot yang berisik selalu mewarnai malam hari di kota Surabaya ini dan dengan massanya yang banyak, tentunya selalu ramai saat gangster itu lewat.
Entah mengapa, gangster biasanya dikaitkan dengan perguruan-perguruan silat yang ada di Indonesia. Terutama di Surabaya, nama perguran-perguruan silat pun ikut terbawa ketika ada oknum dari perguruan tersebut yang terlibat dalam kasus gangster atau kekerasan yang dilakukan.
Perguruan di Surabaya, akhir-akhir ini sangat ramai diminati oleh remaja-remaja di Surabaya. Dengan lingkungan yang nyaman bagi remaja-remaja ini, mereka merasa diterima di perguruan tersebut dan seperti memiliki keluarga di dalamnya. Memang betul hal ini bagus, tetapi tidak sepatutnya anak lebih merasa diterima di lingkungan luar atau lain daripada di lingkungan rumah bahkan keluarganya sendiri.
Mereka di perguruan tersebut berjuang bersama-sama untuk mendapatkan gelar dari perguruan tersebut. Sehingga, rasa kekeluargaan mereka sangat kental. Banyak sekali kasus ketika ada satu orang dari 'keluarganya' yang terkena masalah, mereka akan membantunya dan hal ini biasanya berkaitan dengan gangster yang marak terjadi di Surabaya.
Oknum-oknum dari perguruan silat inilah yang biasanya merusak nama dari perguruan silat itu sendiri. Alih-alih mewariskan budaya Indonesia dan budaya bangsa, oknum-oknum ini malah merusak budaya itu sendiri.
Dalam pandangan hukum sendiri, perbuatan gangster-gangster tersebut dapat dikenakan beberapa pasal yang dapat memberatkan mereka. Pasal-pasal yang bisa dikenakan untuk kasus gangster adalah Pasal 170 KUHP yang mengatur tentang pengeroyokan, yaitu penggunaan kekerasan terhadap orang atau barang secara terang-terangan dan bersama-bersama. Sanksi yang dikenakan adalah penjara paling lama lima tahun enam bulan. Kemudian, terdapat Pasal 358 KUHP yang mengatur tentang tindak pidana pengeroyokan yang dilakukan oleh lebih dari dua orang dan mengakibatkan korban luka parah atau mati. Selain itu juga terdapat beberapa pasal lain yang dapet memberatkan seperti Pasal 335 KUHP, Pasal 56 KUHP, Pasal 351 KUHP, Pasal 354 KUHP, Pasal 221 ayat (1) KUHP.
Memang tidak selalu gangster berhubungan dengan perguruan silat, tapi karena maraknya perguruan silat di Indonesia, tidak jarang juga ditemukan gangster-gangster yang ternyata oknum dari salah satu perguruan silat di Indonesia.
Saya punya pengalaman tentang ini, di lingkungan saya, ada beberapa teman saya yang mengikuti perguruan silat. Memang teman saya satu ini justru menjadi contoh baik bagi perguruan silat ini. Teman saya yang sudah mempunyai gelar di perguruannya, tetapi selalu rendah hati dan tidak menyombongkan akan gelar itu. Dia juga tidak merasa superior akan gelarnya sendiri, dan selalu membantu teman-temannya tanpa membawa nama dari perguruan silatnya. Entah dia yang hatinya baik atau memang itu yang diajarkan di perguruannya, terlepas dari itu dialah yang memberikan saya pandangan bahwa nama perguruan-perguruan silat yang sudah tidak bagus lagi di mata orang-orang Surabaya, ternyata tidak seburuk itu. Masih ada juga yang memang mengamalkan nilai-nilai kesenian, keindahan, dan keluhuran dari silat-silat yang dipelajarinya. Masih ada juga yang memanfaatkan ilmunya untuk kebaikan dengan membantu yang dirasa perlu dibantu. Masih ada juga yang benar-benar bijak dalam menggunakan ilmu-ilmu yang dipelajarinya.
Menurut saya, jika ditanya tentang solusi akan hal ini, tentunya akan sangat susah dan tidak semudah itu untuk menemukannya. Terlalu banyak faktor yang bisa menjadikan anak gampang terpengaruh dan mengikuti hal-hal yang seharusnya tidak diikuti. Terlalu banyak faktor juga yang membuat oknum-oknum perguruan silat merasa perguruannya lah yang paling superior dan menggunakan ilmunya untuk hal-hal yang tidak seharusnya.
Yang saya rasa paling masuk akal dan rasional untuk dilakukan adalah dengan mengedukasi orang tua sebelum mereka menjadi orang tua. Mereka harus tau bahwa seringkali anak menjadi rebel dan tidak penurut karena perlakuan orang tuanya yang salah. Seringkali juga anak merasa lebih diterima di lingkungan luar karena tidak diterima dan tidak diapresiasi di lingkungan rumahnya. Mungkin menurut saya, akar dari permasalahan ini adalah orang tua-orang tua yang tidak atau belum siap menjadi orang tua, tetapi terpaksa untuk menjadi orang tua. Sehingga yang menjadi korban adalah anak-anaknya atau bahkan orang lain sekalipun.
Mungkin sudah saatnya untuk mengedukasi anak-anak muda bahwa menjadi orang tua tidak hanya memberi makan dan membesarkan anaknya. Ada tanggung jawab yang besar di dalamnya sehingga menjadi apa anak kita kedepannya bergantung pada benar atau salah kita dalam mendidiknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H